Pemerintah Indonesia berencana memulai kembali proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) di tiga lokasi di Sumatera dan Kalimantan. Proyek ini berpeluang didanai oleh Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau BPI Danantara. Rencana itu menjadi salah satu instruksi Presiden Prabowo Subianto saat menggelar rapat terbatas bersama Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional beberapa waktu lalu.
Pendiri Indonesian Climate Justice Literacy, Firdaus Cahyadi, menilai rencana pemerintah tersebut tidak tepat. Pasalnya, batu bara adalah energi kotor sejak dari hulu atau proses pertambangan hingga hilirnya atau pembakarannya.
Menurutnya, emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim yang dihasilkan oleh gasifikasi batu bara lebih tinggi daripada LPG atau Liquid Petroleum Gas. Emisi GRK, kata Firdaus, terjadi sejak dari hilir, proses ekstraksi batu bara sebagai bahan baku hingga di hilirnya proses produksi DME.
Gagasan pendanaan Danantara ini ungkapnya harus ditolak. Organisasi lingkungan hidup Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), misalnya, menurut Firdaus mengungkapkan bahwa emisi GRK yang dihasilkan dari produk DME lima kali lebih besar dari produksi LPG dengan jumlah sama, yaitu 824.000 ton CO2 ekuivalen per tahun.
“Batu bara itu adalah bagian dari energi fosil. Apapun yang dihasilkan energi fosil akan menyebabkan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim dan juga di hulunya, di pertambangannya akan merusak lingkungan dan juga menimbulkan konflik sosial. Publik harus mulai bersuara untuk menolak pendanaan Danantara untuk hilirisasi batu bara,” ujarnya kepada VOA, Selasa (11/3).
Ironisnya, ungkap Firdaus, pada saat masyarakat baik nasional maupun internasional memiliki kesadaran lingkungan hidup dengan menjauhi energi kotor batu bara, pemerintah justru ingin memperpanjang penggunaan batu bara melalui solusi palsu gasifikasi batubara. Dia menilai pendanaan Danantara untuk hilirisasi batu bara bertujuan untuk menyelamatkan industri batu bara, bukan untuk kepentingan mayoritas masyarakat Indonesia.
Menurut Firdaus, bukan kali ini saja pemerintah berupaya menyelamatkan bisnis batu bara yang mulai ditingkalkan secara internasional. Sebelumnya, lanjut Firdaus, pemerintah juga menyelamatkan industri batu bara dengan membagi-bagi konsesi tambang batu bara kepada organisasi massa.
Peneliti Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang juga pengajar hukum pertambangan di Universitas Nasional, Dr. Ismail Rumadhan mengatakan pemerintah harus berhati-hati dan melakukan pertimbangan yang tepat jika ingin mengambil kebijakan untuk membiayai proyek hilirisasi batu bara.
Hal ini, ungkap Ismail, perlu dilakukan agar tidak terjadi menguatnya dugaan dan kecurigaan publik atas tidak transparansinya Danantara dalam mengelola dana yang dihimpun dari badan usaha milik negara (BUMN) dan efisiensi anggaran yang telah berdampak pada berbagai program pemenuhan kebutuhan dasar dan pelayanan publik.
Terlepas dari pertimbangan kepentingan bisnis dan ekonomi lanjutnya bahwa hilirisasi batu bara dapat membantu pengembangan energi alternatif, seperti gasifikasi batu bara dan pembuatan bahan bakar cair. Meski demikian ungkapnya perlu diingat bahwa urgensi membiayai proyek hilirisasi batu bara harus diimbangi dengan pertimbangan lingkungan dan sosial. Pemerintah lanjutnya harus memastikan bahwa proyek tersebut tidak hanya menguntungkan industri, tetapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan.
“Dengan adanya proyek hilirisasi batu bara, kebutuhan akan eksploitasi batu bara akan meningkat. Perusahaan tambang dapat melakukan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan proyek hilirisasi batu bara. Tentu ini dampaknya sangat besar terhadap kerusakan sosial dan ekologis,” ujarnya.
Dampak lainnya kata Ismail adalah kemunginan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Perusahaan tambang dapat melakukan penyalahgunaan wewenang untuk memperoleh kebutuhan yang lebih besar.
Kepala Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional Bahlil Lahadalia mengatakan proyek ini bertujuan untuk mengolah batu bara berkalori rendah sehingga bisa mengurangi impor elpiji atau LPG.
Pendanaan ini lanjutnya akan berasal dari anggaran negara dan perusahaan swasta nasional. Hal ini relatif berbeda dari rencana pengembangan DME sebelumnya yang bergantung pada investor asing. Dengan skema baru ini, tambahnya, pemerintah ingin memastikan proyek DME tidak lagi bergantung pada keinginan investor asing yang bisa mundur di tengah jalan.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump pernah menyebut batu bara merupakan sumber energi penting bagi Amerika. Dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos beberapa waktu lalu, Trump mengusulkan pembangunan pembangkit listrik baru yang dapat menggunakan batu bara sebagai cadangan energi, terutama untuk memenuhi kebutuhan listrik.
Mengutip The New York Times, Trump mengeklaim Amerika Serikat memiliki cadangan batu bara terbesar di dunia yang dapat diandalkan jika terjadi ganggunan pada pasokan gas dan minyak. Namun, penggunaan batu bara di Amerika Serikat telah mengalami penurunan drastis dalam dua dekade terakhir. Pada 2023, batu bara hanya menyumbang 16 persen dari total kebutuhan listrik Amerika Serikat, kalah jauh dibandingkan gas alam, energi terbarukan dan nuklir yang lebih efisien dan murah. [fw/lt]
Forum