Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan penyiksaan yang dialami oleh Sumiati tergolong sangat luar biasa. Ia meminta agar kasus Sumiati ini ditangani secara serius, dengan mengerahkan diplomasi sekaligus pembentukan tim khusus.
Hal ini untuk memastikan TKI asal Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, mendapatkan perawatan serta pengobatan yang terbaik. Demikian yang disampaikan Presiden ketika membuka sidang kabinet terbatas bidang politik, hukum, dan keamanan, di Jakarta, hari Selasa. Kepala Negara juga menginginkan penegakan hukum yang seadil-adilnya, demi perlindungan TKI dan TKW yang berada di luar negeri.
Usai sidang kabinet, Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, menjelaskan kepada pers, bahwa berdasarkan informasi dari Konsulat Jenderal Indonesia di Madinah, kondisi Sumiati saat ini stabil namun mengalami luka fisik dan juga luka dalam karena penganiyaan yang luar biasa.
“Pejabat Konsulat Jenderal kita semenjak tadi malam bersama beliau dan sudah melihat secara langsung kondisinya. Konsulat kita juga sudah menunjuk seorang dokter Indonesia, yang sudah berpraktek di Arab Saudi selama lima tahun, untuk menjadi dokter yang mendampingi Ibu Sumiati selama perawatan, Di samping itu, seperti yang disampaikan Presiden, akan ada satu tim yang ditunjuk,” jelas Menlu Natalegawa.
Selain menangani perawatan medis Sumiati yang berusia 23 tahun itu, Kementerian Luar Negeri juga fokus pada proses hukum lebih lanjut terhadap majikan yang menganiaya Sumiati.
Menurut Menlu Natalegawa, pemerintah Arab Saudi ikut mengecam dan menganggap peristiwa tersebut melanggar nilai-nilai perikemanusiaan, dan menyatakan akan segera memproses kasus tersebut.
“Sebagaimana pemerintah Indonesia mengecam apa yan gsudah terjadi pada Ibu Sumiati, juga dilakukan oleh Saudi Arabia. Dalam arti kata mereka memberikan jaminan akan ada langkah hukum kepa majikan yang memperlakukan Sumiati dengan tidak baik bahka tanpa perikemanusiaan tersebut,” kata Menlu.
Sementara itu, pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Profesor Hikmahanto Juwana, mengatakan kepada VOA, hari Rabu, situasi dan kondisi jutaan TKI dan TKW Indonesia begitu terancam, karena tiga negara tujuan utama mereka; yaitu Singapura, Malaysia, dan Arab Saudi, tidak satupun meratifikasi Konvensi internasional Perlindungan Terhadap Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Sementara dokumen ini sudah diratifikasi Indonesia pada tahun 2006.
Jalan keluar yang diusulkan adalah kerjasama bilateral dengan negara-negara tujuan pekerja migran. Cara ini sekaligus dapat menekan secara hukum, jika terjadi pelanggaran hukum.
“Kenapa perjanjian bilateral penting? Karena kalau multilateral mereka akan enggan, karena perlindungan tidak hanya untuk buruh asal Indonesia tetapi juga buruh negara-negara lain. Padahal fokusnya kan Tenaga Kerja Indonesia,” kata Profesor Hikmahanto Juwana.
Maka, meskipun pembentukan tim khusus bagi penuntasan kasus Sumiati didukung, jaminan keadilan bagi jutaan TKI dan TKW masih tanda tanya besar, demikian Hikamahanto Juwana.