Ada kekhawatiran bahwa ledakan-ledakan itu mengarah pada tahap kekerasan baru setelah masa yang relatif tenang sejak kudeta tahun lalu. Polisi Thailand menyatakan belum mengidentifikasi tersangka dalam pengeboman ganda di pusat perbelanjaan Siam Paragon.
Bom, yang diletakkan di balik sebuah trafo listrik, membuat panik para pejalan kaki dan calon penumpang, dan menyebabkan penutupan sebuah stasiun kereta api besar selama 30 menit pada Minggu (1/2) malam.
Ledakan-ledakan tersebut juga merusak sebuah kantor kecil pusat registrasi publik di Otorita Metropolitan Bangkok, yang diperkirakan akan ditutup untuk perbaikan selama satu pekan.
Kepala kepolisian nasional, Somyot Pumpanmuang, mengatakan, bom-bom pipa rakitan itu dilengkapi pengatur waktu untuk memicu ledakan.
Kepala kepolisian Thailand itu mengatakan, “Berdasarkan lokasi dan materi bom, ledakan itu tidak dimaksudkan untuk melukai atau membunuh siapapun. Bom-bom itu dimaksudkan untuk mengancam dan menciptakan kekacauan.”
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha telah memerintahkan pihak berwenang untuk memeriksa rekaman CCTV dan menyatakan tidak ada peringatan sebelumnya mengenai serangan tersebut.
Pemimpin junta tersebut Senin (2/2) mengatakan kepada wartawan bahwa insiden itu menunjukkan undang-undang keadaan darurat harus dipertahankan karena “ada orang-orang jahat yang mengganggu perdamaian.”
Perdana Menteri Thailand itu juga bertekad akan mencari cara-cara untuk “menghukum keras” siapapun yang bertanggungjawab atas serangan itu.
Sumber-sumber di kedua kubu politik Thailand yang berseberangan sependapat bahwa serangan bom itu dimaksudkan untuk mengirim pesan politik.
Mereka yang tidak mendukung pemerintah militer Thailang kemungkinan besar akan dipersalahkan, meskipun belum ada kelompok yang mengaku bertanggungjawab dan tidak ada bukti mengenai penolakan terorganisir terhadap kudeta.
Pada hari Senin, muncul spekulasi di media sosial bahwa kemungkinan para pendukung junta yang mendalangi pengeboman itu untuk menjustifikasi dilanjutkannya pemberlakuan undang-undang keadaan darurat.
Militer telah berkuasa di negara itu sejak Mei tahun lalu, sewaktu pemerintah sipil digulingkan - aksi terbaru dalam serentetan panjang kudeta selama beberapa dekade ini di Thailand.
Pengeboman hari Minggu malam di luar pusat perbelanjaan mewah bertingkat 10, dengan 270 lebih toko di dalamnya, merupakan insiden kekerasan pertama sejak kudeta 22 Mei.
Dilanjutkannya pemberlakuan undang-undang keadaan darurat dikritik pekan lalu oleh diplomat paling senior Amerika yang mengunjungi Thailand sejak kudeta militer itu.
Dalam pidatonya di sebuah universitas di Bangkok, Asisten Menteri Luar Negeri Amerika untuk urusan Asia Timur dan Pasifik Daniel Russel, juga menyatakan prihatin karena “proses politik junta tampaknya tidak mewakili seluruh unsur dalam masyarakat Thailand.”
Russel membuat berang sebagian anggota pemerintah militer dengan pernyataannya bahwa pemakzulan mantan perdana menteri Yingluck Shinawatra oleh Majelis Legislatif Nasional yang para anggotanya ditunjuk serta dakwaan-dakwaan pidana terhadap Yingluck menimbulkan kesan di luar Thailand bahwa “langkah-langkah ini mungkin berlatar belakang politik.”
Russel bertemu dengan Yingluck, serta mantan perdana menteri lainnya dari Partai Demokrat, dan menteri luar negeri junta, seorang jenderal purnawirawan. Tetapi Russel tidak bertemu dengan Perdana Menteri Prayuth, yang melancarkan kudeta tak berdarah tahun lalu sewaktu menjabat panglima militer.