Isu Iklim
- Associated Press
PM Australia: Oposisi akan Ingkari Target Emisi Gas Rumah Kaca Jika Menang Pemilu
Perdana Menteri Anthony Albanese pada Senin (10/6) mengatakan bahwa Partai Liberal akan mengingkari target ambisius Australia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada 2030 jika partai oposisi itu memenangkan pemilu yang dijadwalkan dalam waktu satu tahun.
Albanese menjadikan tindakan Australia terhadap perubahan iklim sebagai isu dalam pemilu yang dijadwalkan pada bulan Mei mendatang sebagai tanggapan atas komentar yang disampaikan Peter Dutton, pemimpin partai oposisi konservatif itu, kepada surat kabar Australia The Weekend.
Dutton mengatakan dalam sebuah wawancara dengan surat kabar tersebut bahwa dia menentang rencana pemerintah Partai Buruh yang berhaluan kiri-tengah untuk mengurangi emisi sebesar 43% di bawah tingkat tahun 2005 pada akhir dekade ini, dengan mengatakan “tidak ada gunanya menyetujui target yang tidak memiliki prospek untuk mencapainya.”
Albanese mengatakan Australia akan mencapai target tersebut meskipun ada perkiraan dari Otoritas Perubahan Iklim, sebuah lembaga pemerintah, pada November lalu yang memperkirakan penurunan yang bisa dicapai adalah antara 37% dan 42%.
“Peter Dutton meninggalkan aksi iklim. Keputusannya untuk mengabaikan target tahun 2030 berarti dia meninggalkan Perjanjian Paris,” kata Albanese kepada wartawan, mengacu pada perjanjian yang dibuat oleh pemerintah negara-negara tersebut pada konferensi iklim PBB di Paris pada 2015.
“Jika Anda meninggalkan Perjanjian Paris, Anda akan mendukung Libya, Yaman, dan Iran, dan melawan semua mitra dagang utama kita dan semua sekutu penting kita,” kata Albanese.
Juru bicara oposisi bidang iklim dan energi, Ted O'Brien, mengatakan Dutton mengakui bahwa Australia tidak akan memenuhi target 43% yang ditetapkan Parlemen dalam undang-undang pada September 2022. Parlemen menjadikan target tersebut sebagai undang-undang untuk mendongkrak tingkat kesulitan bagi pemerintahan di masa depan yang menginginkan perubahan iklim dan energi dengan target yang tidak seambisius itu.
Partai Liberal akan mengungkapkan target pengurangan emisi gas rumah kacanya pada tahun 2030 menjelang pemilu berikutnya, yang mungkin akan ditetapkan oleh Albanese pada akhir tahun 2024, kata O’Brien.
“Kami benar-benar berkomitmen terhadap Perjanjian Paris. Kami benar-benar berkomitmen untuk mencapai nol bersih pada tahun 2050, dan kami memiliki rencana untuk mencapainya,” kata O’Brien kepada Australian Broadcasting Corp.
“Apa yang telah kami lakukan adalah menyerukan Partai Buruh untuk mundur” karena membuat undang-undang tentang janji yang tidak dapat ditepati oleh pemerintah, tambah O’Brien.
Anggota parlemen oposisi memberikan suara menentang target pengurangan sebesar 43% yang ditetapkan undang-undang.
Pemerintahan Partai Liberal sebelumnya berjanji di Paris pada tahun 2015 bahwa Australia akan mengurangi emisi antara 26% dan 28% pada tahun 2030. Partai tersebut tetap berkuasa hingga kalah dalam pemilihan umum pada tahun 2022 dari pemerintahan Albanese.
Partai Liberal belum mengubah target tahun 2030 sejak pertemuan Paris itu namun telah menyamakan janjinya dengan Partai Buruh untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050.
Kedua kubu politik mengusulkan jalan yang berbeda untuk mencapai target tahun 2050.
Partai Buruh mengusulkan lebih banyak energi terbarukan seperti listrik yang dihasilkan oleh tenaga surya dan angin, sementara Partai Liberal mengusulkan listrik yang dihasilkan oleh tenaga nuklir. [ab/uh]
See all News Updates of the Day
Di Bawah Trump, Peraturan Perubahan Iklim AS akan Berubah
Mantan anggota DPR Lee Zeldin telah dinominasikan oleh presiden terpilih Donald Trump sebagai Kepala Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA). Reporter VOA Veronica Balderas Iglesias mengkaji kredibilitas Zeldin dan bagaimana prioritas EPA terkait peraturan perubahan iklim, kemungkinan akan berubah.
Lee Zeldin adalah mantan anggota Kongres dari Partai Republik selama empat periode dari negara bagian New York dan pendukung lama Presiden terpilih Donald Trump. Zeldin siap menjadi kepala Badan Perlindungan Lingkungan AS berikutnya.
Pria berusia 44 tahun ini meraih gelar sarjana hukum dari Albany Law School dan bertugas aktif selama empat tahun di Angkatan Darat AS. Ia sudah menikah dan memiliki anak perempuan kembar.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada 11 November, Trump mengumumkan pencalonan Zeldin, dengan mengatakan bahwa mantan anggota kongres tersebut akan “melancarkan kekuatan bisnis Amerika, dan pada saat yang sama mempertahankan standar lingkungan tertinggi.”
Zeldin mengatakan kepada Fox News bahwa dia bersemangat untuk menerapkan agenda ekonomi Trump. “Ada peraturan-peraturan yang diadvokasi oleh kelompok sayap kiri negara ini melalui kekuatan regulasi yang pada akhirnya menyebabkan dunia usaha bergerak ke arah yang keliru,” ujarnya.
Di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden dari partai Demokrat, EPA memprioritaskan produksi energi bersih dan terbarukan, serta membatasi produksi minyak dan gas dalam upaya mengekang emisi dan melawan perubahan iklim.
Presiden terpilih Trump membayangkan formula yang berbeda. “Kami akan mengatasi setiap rintangan birokrasi untuk segera mengeluarkan persetujuan untuk pengeboran baru, jaringan pipa baru, kilang baru, pembangkit listrik baru, dan segala jenis reaktor.”
Zeldin menyuarakan posisi serupa ketika dia gagal mencalonkan diri sebagai gubernur New York pada tahun 2022.
“Kita harus membatalkan larangan negara terhadap ekstraksi gas alam yang aman; menyetujui permohonan-permohonan instalasi saluran pipa baru,” kata Zeldin.
Pencalonan Zeldin muncul ketika PBB memperbarui seruannya kepada negara-negara untuk beralih dari bahan bakar fosil untuk memerangi pemanasan global.
Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan, "Suara yang Anda dengar adalah detak jam. Kita berada dalam hitungan mundur terakhir untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius dan waktu tidak berpihak pada kita."
Peraturan perubahan iklim diperkirakan akan dibatasi di tingkat federal di bawah kepemimpinan Zeldin. Para analis mencatat bahwa saat ini, negara bagian-negara bagian dapat memilih untuk memberlakukan peraturan mereka masing-masing dan konsumen dapat memilih solusi ramah lingkungan secara individual. [ab/uh]
- Associated Press
Studi: Gunung Api Aktif Terbesar di Amerika Serikat Tunjukkan Tanda Peringatan Sebelum Meletus Tahun 2022
Para ilmuwan tidak dapat mengetahui secara pasti kapan sebuah gunung api akan meletus, tapi mereka dapat melihat tanda-tandanya. Itu terjadi dua tahun lalu pada gunung api aktif terbesar di dunia yang terletak di Hawaii, Amerika Serikat, yang disebut Mauna Loa.
Dua tahun lalu, Mauna Loa, gunung api aktif terbesar di dunia, meletus. Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan hal itu akan terjadi sebelumnya.
Sekitar dua bulan sebelum Mauna Loa memuntahkan lava cair berwarna jingga menyala, para ahli geologi mendeteksi gempa bumi kecil di dekatnya, disertai tanda-tanda lainnya. Mereka pun memberikan peringatan kepada penduduk di Pulau Besar Hawaii, di mana gunung api itu berada.
Kini, sebuah studi mengenai lava gunung api tersebut mengonfirmasi lini masa mengenai kapan batuan cair di bawah tanah mulai bergerak.
Komposisi kimia dari batuan-batuan kristal tertentu dalam lava menunjukkan bahwa sekitar 70 hari sebelum letusan, sejumlah besar batuan cair telah bergerak dari kedalaman sekitar 3-5 kilometer di bawah puncak gunung ke kisaran 2 kilometer atau kurang di bawahnya, menurut studi tersebut.
Temuan itu sesuai dengan lini masa yang diamati oleh para ahli geologi pada petunjuk-petunjuk lainnya.
Kendra Lynn, ahli geologi riset di Observatorium Gunung Berapi Hawaii, sekaligus salah satu penyusun penelitian baru di Nature Communications, mengatakan, “Sekitar 70 hari sebelum letusan, kami melihat perubahan yang bersamaan di hampir semua set data pemantauan kami. Jadi, semuanya berubah pada saat yang sama. Dan pascaletusan, ketika kami memeriksa kristal-kristal olivin yang keluar dari gunung berapi, kristal-kristal itu merekam bukti aktual tentang di mana magma berada dan kapan ia bergerak sebelum terjadinya letusan. Dan bukti-bukti tersebut juga selaras dengan penanda 70 hari sebelum letusan terjadi.”
Penggelembungan tanah dan peningkatan aktivitas gempa bumi di dekat gunung berapi terjadi karena magma bergerak naik dari lapisan kerak Bumi yang lebih rendah untuk mengisi ruang di bawah gunung api tersebut, urai Lynn.
Ketika tekanan cukup tinggi, magma menembus batuan permukaan yang rapuh dan menjadi lava. Akibatnya, letusan pun dimulai di Gunung Mauna Loa pada 27 November 2022.
“Volume magma yang cukup besar bergerak ke bagian paling dangkal dari gunung api ini. Dan begitu tekanan cukup tinggi, kami yakin magma itu runtuh begitu saja dan letusan pun lantas dimulai,” imbuh Kendra Lynn.
Kemudian, para peneliti mengumpulkan sampel batuan vulkanik untuk dianalisis.
Sebelum 2022, Mauna Loa terakhir kali meletus pada tahun 1984.
Sebagian besar gunung berapi Amerika Serikat yang dianggap aktif oleh para ilmuwan ditemukan di Hawaii, Alaska, dan di daerah Pantai Barat.
Di seluruh dunia, terdapat sekitar 585 gunung api yang dianggap aktif.
Para ilmuwan tidak bisa memprediksi letusan, tapi mereka bisa membuat “prakiraan,” kata Ben Andrews, yang mengepalai program gunung api global di Smithsonian Institution. Andrews tidak terlibat dalam penelitian terbaru.
Andrews membandingkan prakiraan letusan gunung api dengan prakiraan cuaca, yang pada intinya merupakan “kemungkinan” yang sudah diteliti bahwa suatu peristiwa akan terjadi.
Selain itu, data yang lebih baik mengenai perilaku suatu gunung api dapat membantu para peneliti menyempurnakan prakiraan aktivitas gunung tersebut di masa mendatang, kata para ahli.
Ben Andrews mengatakan,“Pada dasarnya data-data itu memberikan batasan. Batasan waktu yang sangat bermanfaat mengenai jalannya proses ini, dan itulah hal yang hampir tidak pernah kami miliki, yaitu batasan waktu yang sangat baik tentang berapa lama beberapa proses (erupsi gunung api) ini mungkin berlangsung.” [rd/ab]
Sumut Lanjutkan Pencarian 7 Orang Setelah Bencana Tanah Longsor dan Banjir Tewaskan 15 Orang
Tanah longsor dan banjir bandang merusak rumah-rumah, masjid dan sawah. Akses jalan terputus di beberapa desa, dan ekskavator digunakan dalam mencari para korban dan orang-orang yang hilang.
Para petugas penyelamat Indonesia mencari tujuh orang yang masih hilang empat hari setelah hujan lebat mengguyur provinsi Sumatera Utara, menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor yang menewaskan 15 orang, kata seorang pejabat, Selasa (26/11).
Sebelas orang tewas karena tanah longsor di Kabupaten Karo, Padang Lawas dan Tapanuli Selatan, dan empat lainnya tewas karena banjir bandang di Deli Serdang setelah cuaca buruk terjadi hari Sabtu, kata juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari.
Sekitar seratus petugas penyelamat bersama dengan polisi dan militer masih mencari tujuh orang yang hilang, tetapi mereka terhadang oleh hujan terus menerus, lanjutnya.
“Hujan masih turun mulai dari siang hingga malam. Ini adalah kendala utama sewaktu kami berusaha menemukan orang-orang yang hilang,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa upaya pencarian akan dilanjutkan hingga Sabtu.
Tanah longsor dan banjir bandang merusak rumah-rumah, masjid dan sawah. Akses jalan terputus di beberapa desa, dan ekskavator digunakan dalam mencari para korban dan orang-orang yang hilang.
Badan penanggulangan bencana itu memperingatkan warga di provinsi Sumatera Utara untuk mengantisipasi kemungkinan banjir dalam beberapa pekan mendatang karena diperkirakan hujan lebat akan terus turun, kata Abdul. Tanah longsor kerap terjadi di Indonesia, terutama pada musim hujan. Risiko tanah longsor kerap meningkat karena penggundulan hutan dan penambangan liar skala kecil di tempat-tempat terpencil. [uh/ab]
- Rio Tuasikal
Indonesia Promosi “Carbon Trading” di COP29, Dicermati Pengamat dan Aktivis
Dalam KTT Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, pemerintah Indonesia mempromosikan perdagangan karbon untuk merespons perubahan iklim. Pemerintah mengklaim cara ini efektif dan diminati negara-negara lain. Namun upaya ini dipertanyakan pengamat dan aktivis lingkungan.
Kesepakatan Iklim COP29 $300 Miliar Picu Kemarahan dan Harapan
Negara-negara berkembang dan terbelakang memperdebatkan target baru pendanaan ramah lingkungan dan secara konsisten menyerukan pendanaan iklim dalam bentuk hibah publik.
Kemarahan dan frustrasi dari negara-negara berkembang yang rentan terhadap dampak iklim, kemungkinan akan berlanjut setelah pertemuan puncak perubahan iklim di Azerbaijan, COP29 berakhir.
Negara-negara yang ikut dalam KTT itu menawarkan target keuangan dunia sebesar $300 miliar untuk membantu negara-negara miskin mengatasi perubahan iklim, sebuah kesepakatan yang oleh banyak negara-negara penerimanya dikecam sebagai hal yang sangat tidak memadai.
Negara-negara maju, yang secara historis merupakan penghasil emisi yang bertanggung jawab atas pemanasan global, pada hari Minggu sepakat menjanjikan $300 miliar per tahun, hingga tahun 2035 bagi negara-negara berkembang untuk mencegah dampak terburuk perubahan iklim. Angka itu kurang dari seperempat jumlah $1,3 triliun yang dibutuhkan setiap tahun untuk mengurangi emisi dan membangun ketahanan di negara-negara rentan.
Dana $300 miliar itu juga merupakan peningkatan sebesar $200 miliar per tahun dari perjanjian yang ditetapkan sejak tahun 2009 dan akan berakhir masa berlakunya.
Kekecewaan dan kemarahan besar dari negara-negara berkembang dan terbelakang diungkapkan pada sidang penutupan, di mana beberapa perwakilan nasional menyebut penerapan paket pendanaan baru itu “menghina.”
“Kami sangat kecewa,” kata perunding India Chandni Raina, yang menyebut angka tersebut “sangat buruk.”
Peserta dari Kuba, Pedro Luis Pedroso, menggambarkan kesepakatan itu sebagai “kolonialisme lingkungan hidup,” dan menyatakan bahwa jika memperhitungkan inflasi saat ini, pendanaan yang dijanjikan adalah lebih rendah dari $100 miliar yang disepakati pada tahun 2009.
Perunding Bolivia menyebut kesepakatan itu “menghina” negara-negara berkembang.
Beberapa perwakilan negara Barat lebih optimistis.
“COP29 akan dikenang sebagai era baru pendanaan iklim,” kata perunding iklim utama UE, Wopke Hoekstra, sambil menyebut jumlah target itu “ambisius” dan “dapat dicapai.”
Beberapa pakar mengatakan kepada VOA, struktur dan komposisi kesepakatan bernilai $300 miliar itu lebih penting daripada angka keuangan sebenarnya. Kesepakatan akhir itu memungkinkan sumber dana negara dan swasta digunakan untuk mendukung upaya-upaya persiapan iklim di negara-negara berkembang.
Para perunding dari negara-negara berkembang menyatakan keprihatinan mereka bahwa sumber-sumber pendanaan swasta bisa datang dalam bentuk pinjaman yang lebih banyak. Fakta ini bisa membuat utang negara-negara miskin makin menumpuk. Mereka lebih menyukai pendanaan dalam bentuk hibah.
Negara-negara berkembang dan terbelakang memperdebatkan target baru pendanaan ramah lingkungan dan secara konsisten menyerukan pendanaan iklim dalam bentuk hibah publik. Perundingan yang penuh ketegangan selama seminggu terakhir itu ditambah dua hari dan mencakup setidaknya satu episode, di mana para perunding dari negara-negara kepulauan kecil dan beberapa negara termiskin di dunia, keluar dari ruang pertemuan dengan negara-negara kaya, sebagai bentuk protes. Mereka menegaskan bahwa suara dan pandangan mereka tidak didengar. [ps/ab]
Forum