Hasil studi Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau, bersama Pusat Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, menunjukkan prevalensi perokok anak dan remaja yang masih tinggi dan cenderung meningkat karena perbedaan aturan antara berbagai jenis zat adiktif seperti alkohol.
Menurut studi yang berjudul “Penguatan Kebijakan Perlindungan Anak dari Produk Zat Adiktif, Studi Perbandingan Kebijakan Pengendalian Minuman Beralkohol dan Produk Tembakau” yang dirilis pada selasa (25/7), tingginya konsumsi rokok di kalangan ramaja karena pengaturan penjualan produk tembakau lebih longgar dibandingkan dengan aturan penjualan minuman beralkohol.
Perwakilan tim peneliti, Gina Sabrina, mengatakan ada sejumlah alasan untuk tidak memperketat pengaturan penjualan rokok, antara lain tentang sumber pemasukan negara, lapangan pekerjaan jutaan orang, hingga kesejahteraan petani tembakau.
“Peran-peran terhadap pengendalian tembakau itu hampir semua diambil alih, lebih banyak didominasi oleh Kementerian Kesehatan, dan juga BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan). Setengah-setengah lah. Sepertinya ini juga nanti perlu didorong bagaimana sinergitas ini juga terjadi dalam pengendalian tembakau," katanya.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka prevalensi perokok anak dan remaja meningkat menjadi 9,1 persen pada 2018, dari 7,2 persen pada 2013. Sebaliknya, angka konsumsi minuman beralkohol yang sama-sama mengandung zat adiktif berkisar tiga persen di kalangan anak dan remaja.
Rendahnya tingkat konsumsi minuman beralkohol, kata Gina Sabrina, tidak lepas dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang komprehesif, mulai hulu hingga hilir yang disertai sanksi tegas. Sedangkan pengaturan produk tembakau cenderung lebih longgar.
“Kalau prevalensi perokok anak dan remaja terus mengalami peningkatan. Bayangkan ke konsumsi minuman itu jumlahnya sangat rendah, bahkan kemudian cukup stagnan di situ-situ saja. Kalau kita lihat angkanya ternyata berdasarkan Riskesdas 2018 angkanya sangat rendah, yaitu hanya tiga persen, dan bahkan angka tiga persen itu juga didominasi oleh konsumsi minuman beralkohol tradisional,” kata perwakilan tim peneliti, Gina Sabrina.
Adhi Wibowo Nurhidayat dari Seksi Psikiatri Adiksi, Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia, mengatakan perlindungan anak dari zat adiktif sangat penting. Hal ini tidak lepas dari bahaya zat adiksi bagi tumbuh kembang serta kesehatan anak. Bagi anak yang kecanduan zat adiktif seperti yang ada pada rokok, minuman beralkohol dan narkoba, akan memiliki risiko serta dampak yang sama buruknya bagi kesehatan bila tidak diantisipasi lebih dini.
“Orang merokok, dia satu batang nanti dua batang. Itu jelas toleransi. Kalau tidak merokok asam (rasanya), tidak bisa mikir. Itu adalah putus zat, sakau, ingin menggunakan terus menerus rokok. Menyebabkan orang itu impotensi, cacat janin, kanker paru, tetap orang merokok. Ini adalah kriteria-kriteria di kedokteran, yang menyasar zat-zat adiktif, jadi kriteria itu semua ada pada rokok, alkohol dan narkoba," jelasnya.
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany, mengatakan pengendalian produk tembakau harus menjadi gerakan bersama dengan pemahaman yang sama dari para pihak. Kondisi ini kata Hasbullah Thabrany, harus disikapi secara serius oleh pemerintah selaku pemangku kebijakan, serta semua pihak, yang menginginkan hadirnya generasi penerus Indonesia yang sehat dan bebas dari risiko dampak buruk zat adiktif.
“Sebetulnya, harusnya kita belajar dari kondisi yang sama, karena untuk asap rokok atau nikotin, efeknya juga berlangsung sangat lambat, masyarakat tidak merasakan. Akademik, tenaga-tenaga ilmiah mulai memahami, bisa mengetahui, tetapi para pejabat masih belum satu paham, masih banyak yang terjebak pada kondisi-kondisi, ‘oh, ini sumber dana, oh ini nanti mengganggu pertanian tembakau, oh ini hal yang memberikan pekerjaan’, yang belum mempunyai satu suara yang bagus," katanya. [pr/ft]
Forum