Kecenderungan masyarakat Indonesia yang murah hati dan gemar menyumbang, memudahkan lembaga masyarakat mengumpulkan dana sosial. Kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang terkuak beberapa waktu lalu, membuka tabir pengelolaan dana publik yang tidak selamanya lurus. Di Yogyakarta, kasus serupa dalam skala lebih kecil juga terjadi, dan ada kemungkinan kondisi serupa dipraktikkan oleh segelintir Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia.
Kegiatan Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan Yogyakarta disebut berhasil mengumpulkan hingga Rp800 juta. Sejumlah aktivis pergerakan di Kota Gudeg meminta Perkumpulan Simponi yang mengelola dana itu, menerapkan transparansi dan akuntabilitas. Salah satu aktivis yang mendesak transparansi pengelolaan dana publik itu adalah Elanto Wijoyono.
“Jadi ini akan menjadi momentum penting bagi gerakan masyarakat sipil dan juga aksi-aksi humanitarian, yang sekarang mungkin sedang menghadapi beberapa pertanyaan besar dari publik. Apalagi kemarin baru saja ada kasus ACT dan sebagainya. Ketika kita bicara aksi kemanusiaan, bukan berarti kemudian kita meninggalkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas,” kata Elanto di Yogyakarta, Rabu (20/7).
Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan Yogyakarta mulai digulirkan sebagai inisiatif kolektif pada Oktober 2020. Tujuannya adalah membantu buruh perempuan di empat pasar besar di Yogyakarta agar terjamin makan siang mereka selama bekerja. Ribuan penyumbang berpatisipasi, termasuk artis Dian Sastrowardoyo, yang mengirimkan dana Rp30 juta.
Para aktivis di Yogyakarta memanfaatkan skema keterbukaan informasi yang disediakan negara, melalui Komisi Informasi. Karena itulah, mereka mengajukan kasus ini sebagai sengketa informasi publik ke Komisi Informasi Daerah (KID) Yogyakarta. Menurut catatan KID, kasus ini menjadi yang pertama di Yogyakarta, dan kemungkinan di Indonesia, di mana LSM diminta untuk membuka laporan keuangannya kepada publik.
KID Yogyakarta menggelar sidang perdana sengketa informasi publik ini, Rabu (20/7), dengan dihadiri pemohon, yang dalam hal ini adalah para pegiat pergerakan di Yogyakarta, dan termohon dari Perkumpulan Simponi.
Perkumpulan Simponi sendiri, yang secara hukum berkedudukan di Jakarta, berusaha meyakinkan bahwa tidak ada pengelolaan dana yang keliru. Melalui salah satu pengacaranya, Benedictus Panca Darma Nursetyawan, mereka menyatakan laporan pertanggungjawaban (LPJ) sedang disusun.
“Ada, ada.., memang sebenarnya itu sudah diagendakan. Terkait dengan permintaan informasi dari saudara pemohon itu kan minta laporan keuangan, LPJ sampai 31 Desember 2021 sedangkan gerakan dapur umum itu selesai pada tanggal 18 Maret 2022,” kata Panca kepada VOA, Rabu (20/7).
“Laporan keuangan baru proses pembuatan dan memang sudah dijadwalkan (pelaporannya-red) dengan paguyuban dari buruh gendong sendiri,” tambah Panca.
Transparansi Dana Publik
Elanto Wijoyono adalah bagian tidak terpisahkan dari Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan Yogyakarta. Dalam upaya menerapkan transparansi penggunaan sumbangan publik ini, dia mewakili kolektif relawan, donatur dan pegiat gerakan Yogyakarta.
Kepada VOA dia mengatakan, dapur umum itu berawal dari inisiatif kolektif yang diselenggarakan sejak Oktober 2020. Awalnya dirancang sebagai kegiatan skala kecil, tetapi seiring waktu, skalanya terus membesar karena komitmen publik untuk menyumbang juga membesar.
Kegiatan dapur umum tentu sangat bermanfaat, tetapi Elanto mengingatkan, penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas.
“Kita berharap ke depan, gerakan masyarakat sipil, di Yogyakarta maupun di Indonesia, bisa lebih punya perhatian pada isu-isu akuntabilitas dan transparansi. Sehingga ketika melakukan gerakan-gerakan humanitarian, termasuk seperti dapur umum ini, tidak memberikan ruang sedikit pun pada potensi-potensi penyelewengan dana atau mungkin penyalahgunaan aset dan sebagainya,” tegas Elanto.
Elanto menggarisbawahi, transparansi dan akuntabilitas tidak hanya bisa dituntut dari instansi pemerintah atau lembaga negara yang memang memakai dana publik. Menurutnya, pegiat dalam isu-isu publik, termasuk di gerakan masyarakat sipil, juga harus konsisten dalam menjaga nilai-nilai itu. Jika kelak terbukti ada penyalahgunaan wewenang atau maladministrasi, ini bisa mendorong evaluasi menyeluruh gerakan masyarakat sipil di Indonesia.
Elanto juga memandang, publik tidak cukup menjadi penyumbang, tetapi juga harus aktif memantau ke mana sumbangan yang mereka berikan disalurkan. Setidaknya, itu bisa dilakukan dengan meminta laporan keuangan dari lembaga, di mana mereka mengirim sumbangan.
Keterbukaan Informasi Menjadi Hak
Direktur LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, kepada VOA mengatakan, akses informasi adalah hak asasi. Karena itu, pada prinsipnya lembaga yang menghimpun dana dari publik memiliki kewajiban melaporkan pemanfaatan dana itu kepada masyarakat.
“Wajib, sifatnya wajib. Karena ini pertanggungjawaban kepada publik juga. Salah satunya mempublikasikan laporan keuangan. Kemudian yang kedua, tidak menutupi ketika ada masyarakat yang ingin meminta atau mengakses dokumen-dokumen bersifat publik itu,” kata Julian.
Dokumen secara umum dikategorikan menjadi dua, yaitu dokumen yang dikecualikan dan dokumen yang bersifat informasi publik.
“Nah, laporan keuangan itu merupakan salah satu dokumen publik yang harusnya dibuka,” ujarnya.
Tidak sekedar berbicara, Julian mencontohkan LBH sebagai lembaga yang menerapkan konsep ini. Secara rutin, mereka menerbitkan Catatan Akhir Tahun yang memuat laporan pertanggungjawaban program, kegiatan maupun laporan keuangan.
Salah satu manfaat dari transparansi dan akuntabilitas, menurut Julian, adalah kepercayaan dari masyarakat.
LSM adalah Badan Publik
Kasus ini merupakan pembelajaran luar biasa terkait pentingnya transparansi informasi di badan publik. Komisioner KID DIY, Sri Surani, memastikan bahwa LSM ada di bawah ketentuan yang mengharuskan penerapan transparansi.
“Karena tadi, pengertian badan publik adalah semua lembaga yang dia dalam aktivitas operasionalnya mendapatkan dana dari APBN, APBD sumbangan masyarakat dan sumbangan dari luar negeri. Sehingga LSM itu adalah bagian dari badan publik,” kata Sri Surani.
Sesuai Undang-Undang 14/2008, badan publik memiliki sejumlah kewajiban, salah satunya kewajiban menyampaikan kepada publik, terkait informasi publik yang dimiliki.
“Informasi publik itu sesuatu yang dihasilkan, dikelola dan disimpan, dan itu kemudian wajib disampaikan kepada publik,” tegasnya.
Laporan keuangan adalah sikap paling sederhana yang bisa diterapkan untuk transparan kepada publik. Saat ini, prosesnya sangat mudah karena laporan keuangan dapat diunggah di situs lembaga bersangkutan agar dapat diketahui masyarakat.
“Ada sebagian kawan LSM yang sudah melakukan itu dan kita apresiasi. Tetapi, jangankan LSM, badan publik negara saja menurut kita belum “bagus” dalam transparansi. Itu kalau kita bicara tentang teladan, seharusnya memang yang mendapat dana dari anggaran negara dulu, baik APBN maupun APBD,” tambahnya. [ns/ab]
Forum