Jutaan orang mengungsi dan berada di ambang kelaparan. Kekerasan seksual dan etnis terus terjadi. Infrastruktur telah hancur. Itulah kondisi di Sudan seperti yang dilaporkan oleh para pekerja bantuan. Mereka mengatakan perang selama satu tahun antara dua jenderal yang bersaing di negara itu telah membawa bencana, namun dunia telah mengabaikannya.
Negara di Afrika timur laut itu sedang mengalami “salah satu bencana kemanusiaan terburuk dalam sejarah” dan “krisis pengungsi internal terbesar di dunia,” kata PBB.
Sudan juga berada pada ambang kelaparan yang akan menjadi “krisis kelaparan terburuk di dunia.”
Para pekerja bantuan menyebutnya sebagai “perang yang terlupakan” yang memengaruhi negara berpenduduk 48 juta jiwa itu, dan lebih dari setengahnya menurut mereka membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Para ahli melihat pertempuran belum akan berakhir. Perang dimulai pada 15 April tahun lalu antara panglima militer Abdel Fattah al-Burhan dan mantan wakilnya Mohamed Hamdan Daglo, yang memimpin para militer yang disebut sebagai Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF).
Sejak itu, ribuan orang telah terbunuh, termasuk hingga 15.000 orang di satu kota di Darfur Barat saja, menurut para ahli PBB.
Lebih dari 8,5 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk mencari keselamatan di tempat lain di Sudan atau melintasi perbatasan dengan negara-negara tetangga.
Perang ini “brutal, menghancurkan dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir,” kata pakar veteran Sudan, Alex de Waal.
Namun bahkan jika kekerasan berhenti sekarang, “negara tersebut telah runtuh, dan jalan untuk membangunnya kembali masih panjang dan penuh tantangan,” kata de Waal.
Sebelum pemboman dan penjarahan dimulai, Sudan sudah menjadi salah satu negara termiskin di dunia.
Namun PBB mengatakan bahwa pada bulan Januari, skema respons kemanusiaan badan itu hanya mendapat pendanaan sebesar 3,1 persen dan hampir tidak mampu menjangkau satu dari setiap 10 orang yang membutuhkan. [lt/ab]
Forum