Tautan-tautan Akses

Pencegahan Aksi Terorisme Jadi Fokus Operasi Tinombala di Sulteng


Waka Polda Sulteng Brigjend Nurwindiyanto memberikan keterangan pers seusai memimpin pelaksanaan apel pasukan Operasi Lilin Tinombala 2019 di Mapolda Sulteng, 18 Desember 2019. (Foto: VOA/Yoanes Litha)
Waka Polda Sulteng Brigjend Nurwindiyanto memberikan keterangan pers seusai memimpin pelaksanaan apel pasukan Operasi Lilin Tinombala 2019 di Mapolda Sulteng, 18 Desember 2019. (Foto: VOA/Yoanes Litha)

Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah dalam Operasi Lilin Tinomba 2019 menerjunkan 3.788 personel gabungan dalam rangka pengamanan perayaan Natal dan Tahun Baru 2020. Mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerawanan, Polda Sulawesi Tengah fokus pada upaya pencegahan aksi terorisme.

Ancaman aksi terorisme menjadi kewaspadaan utama Polri dalam pengamanan Natal dan Tahun Baru di Sulawesi Tengah. Wakil Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Brigjend Nurwindiyanto , yang berbicara kepada wartawan seusai memimpin apel pasukan operasi Lilin Tinombala (18/12), mengatakan, keberadaan kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di hutan pegunungan Kabupaten Poso dan Parigi Moutong masih merupakan ancaman keamanan yang diantisipasi pihaknya.

“Tentunya kita sesuai dengan karakteristik kerawanan daerah, yah tentunya kita lebih mengarah ke terorisme, pencegahan terorisme,” ungkap Brigjend Nurwindiyanto.

Operasi Lilin Tinombala dalam rangka pengamanan Natal dan Tahun Baru di Sulawesi Tengah akan efektif berlaku pada 23 Desember 2019.Dalam operasi itu Polda Sulawesi Tengah mengerahkan 3.788 personel gabungan yang terdiri dari 1.739 polisi, 445 personel TNI dan 1.604 anggota kamtibmas. Polda Sulteng juga mendirikan 57 pos pengamanan serta 23 pos pelayanan masyarakat di sejumlah wilayah di Sulawesi Tengah.

Waka Polda Sulteng Brigjend Nurwindiyanto memeriksa pasukan dalam kegiatan gelar apel pasukan Operasi Lilin Tinombala 2019 di depan Mapolda Sulteng, 18 Desember 2019. (Foto: VOA/Yoanes Litha)
Waka Polda Sulteng Brigjend Nurwindiyanto memeriksa pasukan dalam kegiatan gelar apel pasukan Operasi Lilin Tinombala 2019 di depan Mapolda Sulteng, 18 Desember 2019. (Foto: VOA/Yoanes Litha)

Hingga kini upaya pengejaran masih dilakukan terhadap kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang disebut polisi bertanggung jawab atas penyerangan Pos Polisi di desa Salubanga, Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong. Seperti yang telah diwartakan sebelumnya, lima pelaku menyerang Pos Sekat Alfa 16 pada kamis siang (13/12) dan menewaskan Polisi anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah. Para pelaku melarikan diri setelah terlibat baku tembak dengan polisi yang berada di Pos tersebut.

Brigjend Nurwindiyanto mengakui petugas dilapangan dihadapkan pada situasi luasnya hutan pegunungan yang menjadi tempat kelompok MIT bergerak sekaligus bersembunyi. Kelompok itu juga memiliki penguasaan medan di hutan pegunungan wilayah itu.

“Sebenarnya kendalanya, semuanya kalau menurut saya situasinya, yang eksternal nggak ada masih yang internal karena orang ini dengan pembenaran-nya dia bisa, dia menguasai wilayah, yah dua kabupaten dan tentu masih banyak yang masih berempati, pastilah. Pasti ada yang mensupport karena mungkin tekanan” ungkap Nurwindiyanto

Operasi Lilin Tinombala mulai berlaku dari 23 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020. Operasi itu mewaspadai 12 kerawanan diantaranya aksi terorisme, kejahatan konvensional, kemacetan lalu, kenaikan harga sembako dan bencana alam.

Analisa Pengamat

Kepala Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik (P4K) Universitas Tadulako, Muhammad Marzuki (19/12) menilai aksi terbaru MIT itu sebagai upaya balas dendam terhadap polisi yang selama ini terdepan dalam melakukan pengejaran dan penindakan terhadap kelompok itu.

Aksi itu juga memberikan pesan bahwa keberadaan mereka belum berakhir, dan sistem evolusi kepemimpinan di dalam MIT sudah selesai.

“Proses masalah kepemimpinan di MIT itu sudah selesai, sehingga mulai menjalankan gerakan-gerakan jihadis mereka. Mereka sebenarnya sedang menjadikan Polisi sebagai sasaran utama dan ketika polisi lengah mereka akan melakukan serangan itu” kata Marzuki.

Penyematan pita merah tanda operasi Lilin Tinombala 2019 kepada petugas perwakilan TNI, Polisi, Dinas Perhubungan satuan Polisi Pamong Praja, 18 Desember 2019. (Foto: VOA/Yoanes Litha)
Penyematan pita merah tanda operasi Lilin Tinombala 2019 kepada petugas perwakilan TNI, Polisi, Dinas Perhubungan satuan Polisi Pamong Praja, 18 Desember 2019. (Foto: VOA/Yoanes Litha)

Menurut Marzuki, meskipun telah digelar sejak tahun 2016, Operasi Tinombala yang telah diperpanjang berulangkali itu belum dapat mengakhiri keberadaan MIT. Operasi itu belum mampu menyentuh jantung pertahanan dan wilayah pergerakan MIT yang berbasis di gunung Biru di Kabupaten Poso, bahkan bisa sampai di wilayah Kabupaten Parigi Moutong dan kawasan lemba Ntongoa di Kabupaten Sigi.Selain itu, masih ada kendala komunikasi dan pendekatan yang diperlukan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam menangulangi terorisme,khususnya MIT.

“Mereka (polisi) tidak sampai ke jantung dari MIT ini, jadi mereka tidak langsung menyentuh kawasan yang dikuasai oleh MIT, kan pendekatan mereka (MIT) gerilya. Gerilya ini kan bergerak ke sana kemari, sementara kepolisian kita tidak mempunyai kemampuan menghadapi sistem gerilya karena itu dikuasai oleh militer.”

Marzuki menekankan model gerilya oleh kelompok MIT pimpinan Ali Kalora itu tidak dapat dilumpuhkan dengan pendekatan operasi polisional yang konvensional, tapi harus dibarengi dengan pendekatan yang lebih komprehensif yang melibatkan banyak pihak, agar ruang gerak MIT bisa dipersempit. [yl/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG