Menurut pengamat pertambangan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwandi Arif, dengan mengelola kekayaan sumber daya alam sendiri, selain hasil dari pengelolaan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia kembali ke Indonesia, juga dapat menyerap banyak tenaga kerja lokal.
Selain itu, ditambahkannya upaya tersebut juga mengurangi kemungkinan terganggunya hubungan baik dengan pihak asing yang berinvestasi di Indonesia karena adanya perbedaan persepsi mulai dari upah pekerja hingga berbagai kewajiban yang harus dijalankan.
Kepada VoA di Jakarta Sabtu, pengamat pertambangan dari ITB, Irwandi Arif berpendapat dengan berbagai pengalaman dan kemauan keras maka Indonesia akan mampu mengelola sektor pertambangan di dalam negeri sendiri yang pada intinya banyak hal positif yang akan didapat untuk bangsa dan masyarakat dibanding jika harus terus menerus melibatkan pihak asing.
Untuk mampu merealisasikan upaya tersebut diingatkannya harus dimulai dari tekad pemerintah sehingga masyarakat memiliki tanggung jawab dan rasa percaya diri sehingga secara otomatis akan mendukung pemerintah.
"Gimana strategi kita untuk mengadakan itu, buktinya perusahaan nasional kita mampu kok, kalau kita lihat Bumi Resource mereka mampu kok cari dana sana, cari ini, dari modal sendiri digabung dengan dana pinjaman ternyata jalan kemudian tambang-tambang yang lain, BUMN juga, SDM kita cukup kok, teknologi-teknologi baru mereka sanggup, sekarang bagaimana mengatasi cadangannya,” ujar Irwandi Arif.
Penegasan Irwandi Arif tersebut menyikapi gejolak yang kembali terjadi di PT. Freeport di Tembaga Pura,Timika Papua dalam tiga minggu terakhir ini karena tuntutan para pekerja mengenai upah yang dinilai tidak layak.
Bahkan, untuk meredam gejolak yang ada dan kemungkinan akan terus terjadi menurutnya renegosiasi kontrak karya harus segera dilakukan pemerintah sehingga iklim investasi kondusif dan berhasil mengundang investasi baru untuk masuk ke Indonesia. Meski diakuinya proses renegosiasi kontrak karya tidak mudah namun ia optimistis dapat dilakukan untuk mencari solusi terbaik bagi seluruh pihak.
Proses renegosiasi kontrak karya tidak mudah juga diungkapkan Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM, Thamrin Sihite dalam diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Untuk mencari solusi terbaik bagi seluruh pihak menurutnya pemerintah Indonesia akan mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Sementara itu berbagai kontrak karya termasuk Freeport dilakukan dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Pertambangan Umum.
“Kontrak itu kan artinya dua pihak, kita setuju untuk bernegosiasi, nah ini ada antara investasi juga kita sangat memerlukan di Indonesia kan, jadi kita jangan sampai melawan kontrak, ini namanya tidak sepihak, jadi kita renegosiasi tapi base kita adalah undang-undang nomor 4,” kata Thamrin Sihite.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara diamanatkan bahwa pemerintah memiliki wewenang untuk melakukan renegosiasi yang mencakup prinsip luas wilayah, divestasi, pengelolaan lingkungan, royalti dan kewajiban menggunakan jasa dalam negeri.
Kontrak Karya Freeport dengan pemerintah Indonesia dimulai sejak tahun 1967 berlaku selama 30 tahun. Pada tahun 1989 pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan izin eksplorasi tambahan dan sebelum habis masa berlaku kontrak karya pada tahun 1997 pada tahun 1991 kembali dilakukan penandatanganan kontrak karya berlaku 30 tahun ditambah dengan 2 kali perpanjangan masing-masing selama 10 tahun. Melalui proses tersebut artinya kontrak karya Freeport akan berakhir pada tahun 2041.