Bermula dari pernyataan Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera dalam sebuah diskusi, yang kemudian bergulir menjadi tanda pagar #2019GantiPresiden, buku, kaos, spanduk, dan terus dideklarasikan dari satu daerah ke daerah lain setelah mendapat sambutan banyak kalangan.
Dalam salah satu acara di Kompas TV akhir Agustus lalu, Mardani Ali Sera – sambil menunjukkan buku tentang gerakan itu – mengatakan gerakan itu berangkat dari keresahan masyarakat atas kesulitan ekonomi.
Baca juga: Deklarasi 2019 Ganti Presiden di Surabaya, Dibubarkan Masyarakat dari Berbagai Elemen
“Tagar ini tidak ada apa-apanya ketika pemerintah mampu membuat harga sembako terjangkau, harga telur 11 ribu rupiah, harga listrik murah,” tandasnya.
Deklarasi #2019GantiPresiden Disambut Pro-Kontra
Mardani Ali Sera dan Neno Warisman mendeklarasikan gerakan ini di Jakarta, yang kemudian dengan cepat meluas ke daerah-daerah lain berkat dukungan simpatisan pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Tidak semua warga menyambut deklarasi gerakan ini karena tentangan keras muncul di sebagian daerah.
Kelompok warga yang tidak setuju pendeklarasian itu mencegat tokoh-tokoh yang datang di bandara atau terminal. Tak jarang aparat keamanan turun tangan untuk mencegah terjadinya bentrokan antara yang pro dan kontra gerakan ini.
Politikus Partai Gerakan Indonesia Raya Ahmad Riza Patria, dalam sebuah diskusi bertema “Pro-Kontra Gerakan #2019GantiPresiden” di Jakarta hari Selasa (4/9) menilai pemerintah berlebihan menyikapi gerakan itu, dengan menurunkan aparat keamanan dalam jumlah besar untuk melarang atau membubarkan massa gerakan itu.
Riza Patria menegaskan gerakan #2019GantiPresiden bukan bentukan Prabowo karena gerakan ini sudah ada jauh sebelum Prabowo maju menjadi calon presiden untuk Pemilihan Umum 2019. Menurutnya ini gerakan biasa yang merupakan bentuk kekecewaan terhadap kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
"Wajar masyarakat itu mengkritik, memprotes, mengeluh, itu biasa. Nggak usah ditakuti. Sekarang kok sampe segininya. Kubu petahana kok sampe sedemikian, menghalangi, tidak memberi izin, mempersekusi. Inilah potret demokrasi kita yang harus kita perbaiki," ujar Riza.
Riza Patria menekankan ketidakadilan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap Gerakan #2019GantiPresiden justru dapat menjadi bumerang bagi penguasa.
Larangan Deklarasi #2019GantiPresiden Berangus Kebebasan Berpendapat?
Hal senada disampaikan Ray Rangkuti, peneliti Lingkar Madani (Lima), yang tidak sepakat dengan pelarangan, penghadangan, dan intimidasi terhadap Gerakan #2019GantiPresiden karena jelas memberangus kebebasan berpendapat.
"Yang perlu ditumbuhkan pada bangsa ini sebenarnya bukan semangat menghentikan, harus diarahkan pada cara-cara diskusi yang sehat, cara-cara diskusi yang logis. Lebih membuka wawwasan publik apa yang sebenarnya tengah diwacanakan," tukas Ray.
Namun sebaliknya, politisi yang kini menjadi Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresiden Ali Mochtar Ngabalin menilai gerakan 2019GantiPresiden merupakan gerakan makar yang harus dihentikan. Ia membantah asumsi adanya upaya memberangus kebebasan berpendapat yang disampaikan simpatisan gerakan ini, karena menurutnya setiap pihak sedianya menghormati aturan, termasuk aturan menyampaikan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab.
"Kalau anda menyebut #2019Gantipresiden itu artinya pukul 00.00 Januari 2019 ganti presiden. Ini masalah tidak mempunyai tanggung jawab publik dalam mengedukasi rakyat Indonesia," kata Ngabalin.
Bentrokan di antara dua kelompok massa pendukung dan penolak deklarasi #2019GantiPresiden sempat terjadi di beberapa daerah, antara lain di Surabaya, Pekanbaru, Palembang, dan Bangka-Belitung. [fw/em]