Setelah dua tahun melakukan moratorium atau penghentian sementara pengiriman pembantu rumah tangga ke Malaysia, akhirnya pemerintah Indonesia memutuskan akan mencabut kebijakan moratorium tersebut pada pertengahan bulan Juli ini.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Jumhur Hidayat, Selasa di Jakarta menjelaskan pencabutan moratorium ini dilakukan karena pemerintah Malaysian dan Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman (MOU).
Nota tersebut telah mengatur pemberian hak libur seminggu sekali dan juga peraturan yang memberikan hak bagi para TKI untuk memegang paspor mereka, bukan dipegang majikan seperti yang selama ini terjadi.
MOU tersebut juga mengatur mengenai struktur gaji. Jumhur Hidayat mengatakan, "Kita moratorium selama dua tahun persis. Itu alot, selama dua tahun ada berlangsung 36 kali pertemuan. Akhirnya mereka menyetujui paspor boleh dipegang oleh TKI. Kedua, ada hak cuti satu kali dalam satu minggu dan dengan upah yang layak, kira-kira 600 ringgit atau kira-kira 1,5 juta per bulan. Dan, itu berhasil. Dua minggu ke depan sudah resmi, kita akan membuka moratorium ke Malaysia."
Indonesia telah menghentikan pengiriman penata laksana rumah tangga ke Malaysia untuk sementara waktu sejak Juni 2009. Salah satu penyebabnya banyaknya kasus-kasus penyiksaan pekerja rumah tangga asal Indonesia di Malaysia.
Analis Kebijakan Migrant Care, Wahyu Susilo, mengatakan diperlukan tim monitoring untuk memantau pelaksanaan isi Mou tersebut. "Saya kira dibutuhkan tim monitoring baik dari Indonesia maupun Malaysia, bukan hanya dari pihak pemerintah tetapi juga dari pihak masyarakat sipil. Kalau diperlukan juga pihak-pihak lembaga internasional misalnya seperti IOM, ILO atau pun Badan HAM PBB untuk urusan perlindungan buruh migran," ujar Susilo.
Sementara itu, peneliti bidang sosial dari The Indonesian Forum, Lola Amalia, menilai moratorium pengiriman pembantu rumah tangga ke Malaysia seharusnya jangan dicabut. Alasannya, karena pemerintah Indonesia belum maksimal dalam melakukan perbaikan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri.
Lola Amalia mengatakan, "Moratorium itu dibuka setelah revisi Undang-undang tahun tahun 2004 yaitu tentang penempatan dan perlindungan TKI karena sebenarnya itu payung hukum yang sangat strategis untuk kita melindungi TKI kita. Nah masalahnya didalam UU itu lebih dari separuh pasalnya itu tentang penempatan tapi bukan tentang perlindungan. Undang-undang kanpayung hukum yang tertinggi, selama itu tidak ada, saya rasa itu juga masih perlu dipertanyakan kenapa itu harus dibuka dulu."
Data dari Migrant Care menyebutkan saat ini jumlah TKI yang berada di luar negeri sekitar 6 juta orang, dan 80 persen dari mereka adalah perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.