Setelah hampir dua setengah tahun memberlakukan pengiriman pembantu rumah tangga (PRT) ke Malaysia, pemerintah Indonesia memutuskan akan mencabut kebijakan moratorium tersebut pada 1 Desember tahun ini.
Juru Bicara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dita Indah Sari, kepada VOA di Jakarta, Rabu (26/10) menjelaskan pencabutan moratorium ini dilakukan karena pemerintah Malaysia dan Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman (MOU).
MOU tersebut mengesahkan pemberian hak libur seminggu sekali, gaji minimal 700 ringgit atau sekitar 1,9 juta rupiah yang ditransfer melalui bank dan TKI akan berhak memegang paspornya sendiri dan tidak disimpan majikan seperti yang selama ini terjadi.
Lebih lanjut, Dita mengungkapkan dalam kesepakatan tersebut juga mengatur soal potongan gaji TKI yang tidak boleh melebihi 1.800 ringgit selama bekerja di Malaysia dan juga biaya penempatan TKI yang tidak boleh melebihi 4.400 ringgit.
Selain itu, MOU tersebut, kata Dita, juga mengatur mekanisme pengawasan bersama antara pemerintah Indonesia dengan Malaysia. "Salah satu tugas satgas bersama ini adalah melakukan verfikasi permohonan permintaan kerja yang diajukan oleh agen di sana, memastikan kualifikasi majikannya, rekam jejak majikannya," ujar Dita. "Yang kedua, adalah melakukan verfikasi agen. Jadi sudah bikin aturan bahwa seorang agen di Malaysia hanya boleh bekerjasama dengan PPTKIS (Perusahaan Pelaksana Penempatan TKI Swasta) di Indonesia. Tidak boleh lebih. Kalau lebih, nanti dikhawatirkan menjadi trafficking (perdagangan manusia).
Selain telah menandatangani kesepakatan bersama, pencabutan moratorium ini, menurut Dita, juga disebabkan karena selama moratorium diberlakukan, banyak masyarakat Indonesia yang mencoba bekerja ke Malaysia melalui jalur ilegal.
Menurut Dita, pihaknya juga akan memberikan pengawasan yang ketat di dalam negeri terkait pengiriman TKI.
Analis Kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan diperlukan tim monitoring untuk memantau pelaksanaan isi Mou tersebut. "Saya kira dibutuhkan tim pemantau baik dari Indonesia maupun Malaysia. Bukan hanya dari pihak pemerintah tetapi juga dari pihak masyarakat sipil. Kalau diperlukan, juga pihak-pihak lembaga internasional misalnya seperti IOM, ILO atau pun Badan HAM PBB untuk urusan perlindungan buruh migran."
Sementara itu peneliti bidang sosial dari The Indonesian Forum, Lola Amalia, menilai moratorium pengiriman pembantu rumah tangga ke Malaysia seharusnya jangan dicabut terlebih dahulu. Karena, menurutnya, pemerintah Indonesia belum maksimal dalam melakukan perbaikan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri.
"Moratorium itu dibuka setelah revisi Undang-undang tahun tahun 2004 yaitu tentang penempatan dan perlindungan TKI, karena sebenarnya itu payung hukum yang sangat strategis untuk kita melindungi TKI kita," ujar Lola. "Masalahnya, di dalam UU itu lebih dari separuh pasalnya adalah tentang penempatan, tapi bukan tentang perlindungan. Undang-undang payung hukum yang tertinggi, selama itu tidak ada. Saya rasa itu juga masih perlu dipertanyakan, kenapa itu harus dibuka dulu."
Indonesia telah menghentikan pengiriman pembantu rumah tangga ke Malaysia untuk sementara waktu sejak Juni 2009. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya kasus-kasus penyiksaan pekerja rumah tangga asal Indonesia di Malaysia.