Tautan-tautan Akses

Isu Iklim

PBB: Tingkat CO2 di Atmosfer Capai Rekor Tertinggi Baru

FILE - Kebakaran hutan di Goleta, California, 13 Oktober 2021. (Ringo H.W. Chiu/AP)
FILE - Kebakaran hutan di Goleta, California, 13 Oktober 2021. (Ringo H.W. Chiu/AP)

Badan pengawasan cuaca PBB, Senin (28/10) mengatakan berbagai gas rumah kaca telah terakumulasi di atmosfer “lebih cepat daripada yang pernah terjadi selama masa keberadaan manusia” dalam dua dekade terakhir.

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan dalam buletin gas rumah kaca tahunannya bahwa konsentrasi karbon dioksida mencapai level tertinggi baru yakni 420 bagian per juta (ppm) pada tahun lalu, naik 2,3 ppm dari tahun sebelumnya, dan telah meningkat 11,4 persen hanya dalam waktu 20 tahun.

“Kita belum pernah melihat tingkat CO2 seperti ini dalam sejarah kemanusiaan. Terakhir kali kita melihat 400 bagian per juta CO2 di atmosfer adalah 3 hingga 5 juta tahun yang lalu,” kata petugas ilmiah senior WMO, Oksana Tarasova. "Pada saat itu, suhu bumi 3 hingga 4 derajat lebih hangat, dan permukaan laut 10 hingga 20 tahun lebih tinggi.”

Laporan itu memperingatkan bahwa sudah ada tanda-tanda kenaikan suhu bumi mendorong “balasan” berbahaya yang akan semakin meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Peningkatan konsentrasi CO2 tahun lalu, yang merupakan peningkatan tahunan terbesar kedua dalam satu dekade terakhir, bisa jadi disebabkan oleh lonjakan kebakaran hutan; dengan karbon yang dilepaskan dari musim kebakaran hutan terburuk yang pernah terjadi di Kanada melebihi emisi tahunan mayoritas negara besar.

Konsentrasi CO2 sekarang 51 persen lebih tinggi daripada tingkat pra-industri. Sementara metana, gas rumah kaca kuat lainnya, 165 persen lebih tinggi daripada tahun 1750, kata WMO. [th/em]

See all News Updates of the Day

Pasca Banjir Dahsyat, Kota Valencia Berjuang Memulai Kembali Sekolah

Ruang kelas di Sekolah Juan XXIII, di Catarroja, Valencia, Spanyol, rusak akibat banjir, 11 November 2024. (Eva Manez/REUTERS)
Ruang kelas di Sekolah Juan XXIII, di Catarroja, Valencia, Spanyol, rusak akibat banjir, 11 November 2024. (Eva Manez/REUTERS)

Ribuan siswa di kawasan Valencia, di timur Spanyol, kembali ke sekolah hari Senin (11/11), dua minggu setelah banjir dahsyat menewaskan lebih dari 200 orang dan meluluhlantakkan kota-kota di daerah itu.

Kontroversi soal penanganan banjir yang dilakukan pemerintah regional masih terus bergulir, dan sebuah serikat guru menuduh pemerintah terlalu membesar-besarkan jumlah siswa yang kembali dan menyerahkan tugas pembersihan kepada guru dan siswa.

Dua puluh tiga orang masih hilang di wilayah Valencia setelah hujan lebat menyebabkan sungai meluap dan gelombang air berlumpur melewati pinggiran kota yang padat penduduknya, menenggelamkan orang-orang di dalam mobil dan tempat parkir bawah tanah, serta merobohkan rumah-rumah.

Departemen Pendidikan di wilayah itu mengatakan 47 sekolah yang menampung lebih dari 22.000 anak di 14 kota yang terkena dampak dibuka kembali pada hari Senin. Minggu lalu diperkirakan sekitar 70 persen siswa di daerah yang terkena dampak paling parah akan kembali bersekolah awal pekan ini.

Peralatan kebersihan di taman bermain sekolah Juan XXII, yang diperkirakan akan dibuka dalam beberapa hari ke depan setelah hujan lebat yang memicu banjir besar di Catarroja, Valencia, Spanyol, 11 November 2024. (Eva Manez/REUTERS)
Peralatan kebersihan di taman bermain sekolah Juan XXII, yang diperkirakan akan dibuka dalam beberapa hari ke depan setelah hujan lebat yang memicu banjir besar di Catarroja, Valencia, Spanyol, 11 November 2024. (Eva Manez/REUTERS)

Sampaikan Keprihatinan, Serikat Guru: “Guru dan Ortu Harus Bersihkan Sekolah Sendiri”

Namun serikat guru regional STEPV mengatakan mereka yakin jumlah guru yang kembali pada hari Senin lebih rendah, tanpa memberikan angka alternatif. Juru bicara STEPV, Marc Candela, mengatakan banyak sekolah belum siap untuk melanjutkan pembelajaran, dan menambahkan bahwa “guru dan orang tua yang justru membersihkan sekolah dengan peralatan mereka sendiri, seperti sapu.”

Para guru menginginkan petugas kebersihan profesional yang membersihkan fasilitas-fasilitas pendidikan, seperti yang dilakukan selama pandemi COVID-19, katanya.

Para orang tua juga khawatir dengan keadaan emosi anak-anak mereka. Berbicara pada Reuters, Ketua Federasi Asosiasi Orang Tua (FAMPA), Ruben Pacheco, mengatakan “keluarga-keluarga kelelahan, menderita secara psikologis, dan tidak ada yang boleh diputuskan tanpa berkonsultasi dengan mereka agar tidak menimbulkan lebih banyak ketidaknyamanan daripada yang telah mereka derita.”

Candela mengatakan departemennya telah mengadakan kursus daring untuk para guru minggu lalu dengan rekomendasi perawatan psikologis, namun belum mengirimkan konselor tambahan. [em/ab]

Presiden Azerbaijan di KTT Iklim: Minyak dan Gas 'Karunia Tuhan'

Pejalan kaki berjalan di depan lokasi KTT Iklim 29 di Baku pada 10 November 2024. (Foto: AFP)
Pejalan kaki berjalan di depan lokasi KTT Iklim 29 di Baku pada 10 November 2024. (Foto: AFP)

Azerbaijan memiliki tujuh miliar barel cadangan minyak terbukti dan merupakan salah satu tempat pertama di dunia yang memulai produksi minyak secara komersial.

Presiden Azerbaijan, Selasa (12/11), menegaskan kembali bahwa minyak, gas, dan sumber daya alam lainnya merupakan "karunia Tuhan." Hal itu diungkapkan saat berbicara pada KTT Iklim PBB (COP29) di Baku, Azerbaijan.

Ilham Aliyev menegaskan bahwa suatu negara tidak seharusnya dinilai hanya berdasarkan sumber daya alam yang dimiliki dan cara mereka menggunakannya. Ia mengeluarkan pernyataan tersebut sebagai pembelaan terhadap apa yang disebutnya sebagai "berita palsu" dan "kampanye fitnah serta pemerasan yang terkoordinasi" yang berkaitan dengan isu energi.

"Kutip saya bahwa saya mengatakan ini adalah karunia Tuhan, dan saya ingin mengulanginya hari ini di hadapan audiens ini," ujarnya kepada para delegasi KTT Iklim.

Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev berpidato pada Upacara Pembukaan KTT Iklim di Baku, Azerbaijan, 12 November 2024. (Foto: REUTERS/Maxim Shemetov)
Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev berpidato pada Upacara Pembukaan KTT Iklim di Baku, Azerbaijan, 12 November 2024. (Foto: REUTERS/Maxim Shemetov)

"Minyak, gas, angin, matahari, emas, perak, tembaga, semuanya... adalah sumber daya alam, dan negara tidak boleh disalahkan karena memilikinya, serta tidak boleh disalahkan karena menyalurkan sumber daya ini ke pasar, karena pasar membutuhkannya,” ujarnya.

"Orang-orang membutuhkannya."

Azerbaijan memiliki tujuh miliar barel cadangan minyak terbukti dan merupakan salah satu tempat pertama di dunia yang memulai produksi minyak secara komersial.

Sejak meraih kemerdekaan dari Uni Soviet pada 1991, Azerbaijan telah memproduksi 1,05 miliar ton minyak dan berencana meningkatkan produksi gas alamnya lebih dari sepertiga dalam dekade mendatang.

Pendapatan dari produksi minyak dan gas mencapai sekitar 35 persen dari PDB negara tersebut dan hampir setengah dari anggaran belanja negara.

Sekitar 75 persen ekspor energi Azerbaijan ditujukan ke pasar Eropa.

Pada 2022, Komisi Eropa menandatangani kesepakatan dengan Baku untuk menggandakan volume impor gas dari Azerbaijan, dengan tujuan mengurangi ketergantungan Eropa pada gas Rusia, sebuah kesepakatan yang dibela Presiden Aliyev dalam pidatonya.

"Itu bukan ide kami," katanya.

"Mereka meminta kami untuk membantu, dan kami mengatakan oke, kami akan membantu Eropa dalam hal keamanan energi,” tukasnya. [ah/rs]

Untuk Pertama Kali Sejak Berkuasa, Taliban Hadiri Konferensi Iklim PBB 

Matiul Haq Khalis, kepala Badan Perlindungan Lingkungan Afghanistan, berbicara kepada awak media di KTT iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, pada 11 November 2024. (Foto: AP/Peter Dejong)
Matiul Haq Khalis, kepala Badan Perlindungan Lingkungan Afghanistan, berbicara kepada awak media di KTT iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, pada 11 November 2024. (Foto: AP/Peter Dejong)

Untuk pertama kalinya sejak pengambilalihan kekuasaan atas Afghanistan pada pertengahan Agustus 2021, Taliban akan menghadiri konferensi iklim PBB, demikian ungkap badan lingkungan hidup nasional negara tersebut pada hari Minggu (10/11).

Konferensi yang dikenal sebagai COP29 ini dimulai pada hari Senin (11/11) di Azerbaijan, dan merupakan salah satu pembicaraan multilateral terpenting yang melibatkan Taliban, yang tidak memiliki pengakuan resmi sebagai penguasa sah Afghanistan.

Badan Perlindungan Lingkungan Nasional memposting di platform media sosial X bahwa sebuah delegasi teknis telah berangkat ke Baku untuk berpartisipasi.

Matiul Haq Khalis, kepala badan tersebut, mengatakan delegasi tersebut akan menggunakan konferensi itu untuk memperkuat kerja sama dengan komunitas internasional dalam hal perlindungan lingkungan dan perubahan iklim, menyampaikan kebutuhan-kebutuhan Afghanistan terkait akses ke mekanisme keuangan yang ada terkait perubahan iklim, dan mendiskusikan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi.

Lembaga bantuan internasional “Save the Children” pada bulan Agustus lalu menerbitkan sebuah laporan yang mengatakan bahwa Afghanistan adalah negara keenam yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Laporan itu juga mencatat bahwa 25 dari 34 provinsi di Afghanistan menghadapi kondisi kekeringan yang parah atau bencana, yang mempengaruhi lebih dari setengah populasi.

Afghanistan juga memiliki jumlah anak-anak yang kehilangan tempat tinggal akibat bencana iklim tertinggi di antara negara mana pun pada akhir tahun 2023, menurut laporan tersebut.

Profesor Abid Arabzai, dari Universitas Kabul, mengatakan konferensi iklim ini akan membantu negara itu untuk mendapatkan bantuan dan pendanaan internasional untuk mengatasi tantangan iklim di Afghanistan.

“Afghanistan dapat mengklarifikasi tindakan dan komitmen iklimnya kepada komunitas global, sehingga dapat meningkatkan reputasi internasionalnya,” ujar Arabzai. [em/jm]

Sektor Peternakan Dinilai Jadi Penyumbang Signifikan Pemanasan Global

Seorang pekerja menggunakan pelindung wajah sedang memberi makan kambing di peternakan Mahir Farm menjelang Idul Adha di tengah pandemi virus corona (Covid-19), di Bogor, Jawa Barat, 28 Juli 2020. (Foto: Reuters)
Seorang pekerja menggunakan pelindung wajah sedang memberi makan kambing di peternakan Mahir Farm menjelang Idul Adha di tengah pandemi virus corona (Covid-19), di Bogor, Jawa Barat, 28 Juli 2020. (Foto: Reuters)

Industri peternakan ternyata telah berdampak signifikan terhadap pemanasan global. Pengurangan konsumsi daging secara global pun terus didorong agar sejalan dengan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil dan peningkatan energi terbarukan.

Saat membacakan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto di Jakarta, Minggu (10/11), peneliti di Institute for Ecosoc Right sekaligus anggota Vegan Squad Indonesia, Sri Palupi, menggarisbawahi sumbangan signifikan sektor peternakan pada pemanasan global. Surat ini dikirimnya kepada presiden menjelang Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-29 atau COP ke-29 yang akan diselenggarakan di Baku, Azerbaijan pada 11-12 November.

Dalam surat tersebut, Sri menyatakan industri peternakan telah berkontribusi secara signifikan terhadap perubahan iklim melalui emisi gas rumah kaca (karbondioksida/CO2, Metana/CH4, Nitrous Oksida/NO2) dalam jumlah besar, perusakan lingkungan akibat polusi udara-tanah-air dan deforestasi secara luas. Oleh karena itu, dampak industri peternakan terhadap pemanasan global tidak dapat diabaikan.

“Tanpa pengurangan signifikan dalam konsumsi daging global maka kita akan kehilangan peluang strategis dalam mengatasi perubahan iklim, menyelamatkan Bumi dan segenap penghuninya,” ungkap Sri.

Lebih jauh Sri memaparkan saat ini dunia tengah menghadapi ancaman yang sangat serius terkait dengan perubahan iklim yang diakibatkan oleh pemanasan global. Apalagi, katanya, The EU's Copernicus Climate Change Service mencatat pada Februari 2024, ambang batas pemanasan global 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris (2015) telah terlampaui.

Sebuah peternakan sapi dekat Jerome, negara bagian Idaho, AS.
Sebuah peternakan sapi dekat Jerome, negara bagian Idaho, AS.

“Jika pemanasan global tidak terkendali, diperkirakan populasi manusia akan berkurang hingga 75 persen akibat bencana, penyakit, kelaparan, dan kemiskinan,” tuturnya.

Potensi Terjadinya Bencana di Indonesia Meningkat

Indonesia, berdasarkan laporan World Risk Report (WRI) tahun 2022 sebelumnya, tercatat sebagai negara nomor tiga di dunia yang paling berisiko terkena bencana setelah Filipina dan India. Namun, kondisi ini memburuk setelah laporan WRI pada tahun 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara kedua yang paling berisiko terkena bencana setelah Filipina.

“Padahal pada 2018 Indonesia tidak termasuk dalam 10 besar negara yang paling berisiko terhadap bencana. Bergesernya posisi Indonesia menjadi negara yang berisiko sangat tinggi terhadap bencana ini menunjukkan, Indonesia memiliki tingkat paparan, kerentanan dan kerawanan tinggi terhadap bencana, sementara kapasitas penanganan bencana kurang dan minimnya adaptasi terhadap bencana,” jelasnya.

Sepanjang 2014-2024 ada 35.925 kejadian bencana di Indonesia, di mana sedikitnya 11.350 orang meregang nyawa. Intensitas bencana di Indonesia juga menunjukkan tren peningkatan.

Mempertimbangkan berbagai fakta itu, komunitas Vegan Squad Indonesia, ujar Sri, mengajukan usulan dan mendorong pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membuat kebijakan mengurangi konsumsi daging sebagai salah satu langkah strategis dan ekonomis dalam mengatasi perubahan iklim.

Selain itu, pihaknya juga mengusulkan untuk menjalankan komitmen mengurangi deforestasi secara signifikan dan menghindari proyek-proyek pembangunan yang memperburuk deforestasi.

“Melakukan dan memperluas edukasi pada masyarakat tentang pola hidup vegan/vegetarian sebagai langkah efektif mengatasi perubahan iklim, dengan melibatkan berbagai pihak, seperti media, lembaga pendidikan, kelompok agamawan, korporasi, komunitas-komunitas vegan, dan lainnya,” katanya.

Mendorong dan memfasilitasi produksi pangan lokal nabati untuk mendukung dan memperluas penerapan pola hidup vegan/vegetarian, serta mendukung dan memfasilitasi perluasan pertanian selaras alam dengan melibatkan organisasi dan komunitas petani.

Keterangan foto: Sejumlah aktivis perempuan melakukan kampanye terkait perlindungan hak masyarakat adat dan menolak deforestasi di kawasan Danau Toba, Sumatra Utara. Rabu 20 Juli 2022. (Courtesy: Greenpeace Indonesia)
Keterangan foto: Sejumlah aktivis perempuan melakukan kampanye terkait perlindungan hak masyarakat adat dan menolak deforestasi di kawasan Danau Toba, Sumatra Utara. Rabu 20 Juli 2022. (Courtesy: Greenpeace Indonesia)

Pemerintah Diminta Bawa Usulan ke COP-29

Dalam kesempatan yang sama praktisi vegan sekaligus anggota Vegan Squad Indonesia, Yogen Marshel Wijaya, berharap usulan ini disampaikan oleh delegasi atau perwakilan Indonesia di ajang COP ke-29 nanti. Menurutnya selama ini solusi yang kerap dibuat di ajang tahunan iklim tersebut tidak menyentuh akar permasalahan dan cenderung tidak adil terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Ia mencontohkan pada COP ke-27 di Mesir telah disepakati pembentukan dana loss and damage yang dibuat untuk membantu negara yang rentan menghadapi dampak perubahan iklim. Yogen mengibaratkan dana loss and damage ini tidak ubahnya seperti perdagangan karbon karena negara-negara maju yang notabene negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia diperbolehkan untuk tidak mengurangi emisi gas rumah kacanya dengan hanya membayar dana loss and damage kepada negara yang rentan terkena bencana akibat perubahan iklim.

“Jadi solusi COP kurang strategis karena tidak menyasar akar permasalahan pemanasan global itu sendiri. Dan tidak adil karena negara maju boleh tidak mengurangi emisi gas rumah kacanya selama punya uang. dan kita negara berkembang yang tidak punya uang, kita harus mengurangi gas emisi rumah kacanya,” jelasnya.

Ribuan ayam di sebuah peternakan di Bogor, 27 Juli 2012. (Foto: Enny Nuraheni/Reuters)
Ribuan ayam di sebuah peternakan di Bogor, 27 Juli 2012. (Foto: Enny Nuraheni/Reuters)

Ajang COP, ujar Yogen selalu membahas terbatas hanya pada pengurangan penggunaan bahan bakar fosil di sektor transportasi dan industri ketika membicarakan tentang pemanasan global. Padahal, sebenarnya masalah terbesar dari pemanasan global bukanlah pada penggunaan bahan bakar fosil saja.

“Tahun 2006, dari laporan yang dikeluarkan oleh FAO disitu disebutkan bahwa peternakan hewan penyebab emisi yang jauh lebih besar dari emisi semua mobil dan industri bila digabungkan. Padahal selama ini COP hanya membicarakan soal bahan bakar fosil. Dan ternyata peternakan hewan menyumbang emisi yang jauh lebih besar dibandingkan emisi yang dihasilkan dari transportasi dan industri bila digabungkan,” jelasnya.

Sektor Peternakan Dinilai Jadi Penyumbang Signifikan Pemanasan Global
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:09 0:00

Penggundulan Hutan dan Industri Peternakan Hewan

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2019 melaporkan 75 persen penggundulan hutan atau deforestasi di dunia disebabkan oleh industri peternakan hewan. Menurutnya pola makan nabati dapat membebaskan jutaan kilometer persegi lahan untuk hutan penyerap karbon dan dapat mengurangi hingga 8 giga ton emisi karbon setiap tahun pada 2050.

“Peternakan hewan menghasilkan gas metana yang setara dengan 72 kalinya CO2 dan juga menghasilkan gas nitrogen oksida yang setara dengan 296 kalinya CO2. Sedangkan COP yang selama ini dibahas hanya membahas tentang bahan bakar fosil yang emisinya CO2,” jelasnya.

Selain itu, penggunaan lahan untuk peternakan hewan yang sangat luas tersebut ternyata manfaatnya tidak sebesar lahan pertanian. Berdasarkan laporan FAO, disebutkan bahwa 77 persen lahan yang digunakan untuk peternakan hewan hanya dapat menyumbang 18 persen pasokan kalori global, dan 37 persen pasokan protein dunia. Sedangkan 23 persen lahan pertanian, dapat menyumbang 82 persen pasokan kalori global, dan 63 persen pasokan protein global. [gi/em]

PBB: Target Iklim Perjanjian Paris 'Dalam Bahaya Besar'

Asap dan uap uap dari PLTU Batubara milik Indonesia Power, di sebelah Proyek PLTU Batubara Jawa 9 dan 10 di Suralaya, Banten, 11 Juli 2020. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan )
Asap dan uap uap dari PLTU Batubara milik Indonesia Power, di sebelah Proyek PLTU Batubara Jawa 9 dan 10 di Suralaya, Banten, 11 Juli 2020. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan )

Menurut laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB, periode 2015-2024 diprediksi akan menjadi dekade dengan suhu terpanas yang pernah tercatat.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan pada Senin (11/11) bahwa sejumlah target yang dimuat dalam Perjanjian Iklim Paris berada “dalam bahaya besar,” bahkan 2024 diperkirakan akan menjadi tahun dengan suhu tertinggi yang pernah tercatat. PBB menyampaikan pernyataan tersebut saat pembukaan KTT Iklim atau COP29 di Baku, Azerbaijan.

Menurut laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB, periode 2015-2024 diprediksi akan menjadi dekade dengan suhu terpanas yang pernah tercatat, berdasarkan enam sumber data internasional.

Suhu panas itu akan mempercepat gletser mencair, dan menaikkan permukaan laut. Tak hanya itu, peningkatan suhu juga akan menciptakan cuaca ekstrem yang berdampak pada masyarakat dan ekonomi di seluruh dunia.

"Target Perjanjian Paris dalam bahaya besar," kata WMO saat para pemimpin dunia melakukan pembicaraan iklim berisiko tinggi di Azerbaijan.

Pembangkit Listrik Port Qasim, salah satu unit berbasis batu bara yang dibangun China di Pakistan dalam proyek BRI. (Foto: VOA)
Pembangkit Listrik Port Qasim, salah satu unit berbasis batu bara yang dibangun China di Pakistan dalam proyek BRI. (Foto: VOA)

Di bawah Perjanjian Paris, hampir setiap negara di Bumi berkomitmen untuk membatasi pemanasan hingga "jauh di bawah" dua derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, dan bahkan sebaiknya di bawah 1,5 derajat Celsius.

Namun, pemantau iklim Uni Eropa Copernicus mengatakan suhu 2024 akan melampaui batas 1,5 derajat Celsius.

Meski masih sejalan dengan Kesepakatan Paris, tetapi hal tersebut menunjukkan bahwa dunia masih jauh dari target yang ditetapkan.

WMO, yang menggunakan kumpulan data yang lebih lengkap, juga mengungkapkan bahwa 2024 diperkirakan akan melewati batas 1,5 derajat Celsius, dan memecahkan rekor suhu yang baru saja tercatat tahun lalu.

"Krisis iklim menyerang kesehatan, memperburuk ketimpangan, merusak pembangunan berkelanjutan, dan menggoyahkan dasar perdamaian. Kelompok yang paling rentan adalah yang paling terdampak," kata Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dalam sebuah pernyataan.

Analisis tim pakar internasional yang dibentuk oleh WMO menemukan bahwa pemanasan global jangka panjang saat ini kemungkinan akan berada di sekitar 1,3 derajat Celsius, dibandingkan dengan garis dasar 1850-1900, kata badan tersebut.

"Setiap kenaikan derajat suhu itu sangat penting," tegas Kepala WMO, Celeste Saulo.

"Baik jika berada di bawah atau di atas kenaikan 1,5 derajat Celsius, setiap peningkatan pemanasan global akan memperburuk cuaca ekstrem, dampaknya, dan risikonya."

Saullo memperingatkan bahwa serangkaian peristiwa cuaca ekstrem yang melanda penjuru dunia pada tahun ini "sayangnya merupakan kenyataan baru buat kita".

Serangkaian bencana itu, katanya, "sedikit gambaran masa depan kita". [ah/rs]

Tunjukkan lebih banyak

XS
SM
MD
LG