Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Sabtu (16/11) melaporkan lebih dari 20.000 orang mengungsi dari ibu kota Haiti, Port-au-Prince, dalam empat hari terakhir. Warga melarikan diri dari kekerasan geng yang telah melumpuhkan negara Karibia tersebut.
"Keterasingan Port-au-Prince memperburuk situasi kemanusiaan yang sudah mengerikan," kata Gregoire Goodstein, kepala Haiti untuk Organisasi Internasional untuk Migrasi (International Organization for Migration/IOM).
"Kemampuan kami untuk memberikan bantuan telah mencapai batasnya. Tanpa dukungan internasional segera, penderitaan akan memburuk secara eksponensial," tambah Goodstein dalam sebuah pernyataan.
IOM melaporkan bahwa sekitar 17.000 dari 20.000 orang yang baru-baru ini dipaksa mengungsi telah berada di penampungan sementara. Banyak di antara mereka yang telah mengungsi beberapa kali.
"Skala pengungsian seperti itu belum pernah diamati sejak Agustus 2023," kata IOM dalam sebuah pernyataan.
Haiti kembali memiliki perdana menteri baru, Alix Didier Fils-Aime, yang dilantik pada Senin pekan ini, menggantikan Garry Conille yang akan lengser. Conille, yang diangkat pada Mei, terlibat dalam perebutan kekuasaan dengan dewan transisi negara yang tidak dipilih.
Kejahatan dengan kekerasan di Port-au-Prince tetap tinggi. Geng-geng bersenjata lengkap menguasai sekitar 80 persen kota. Geng-geng ini secara rutin menargetkan warga sipil, menambah penderitaan di ibu kota Haiti. Meskipun pasukan internasional yang dipimpin Kenya telah dikerahkan untuk membantu polisi Haiti yang kekurangan senjata, upaya pemulihan ketertiban masih menghadapi tantangan besar.
Kekerasan yang terkait dengan geng mengakibatkan hampir 4.000 kematian pada tahun ini, menurut kantor hak asasi manusia PBB.
Haiti terisolasi minggu lalu setelah Amerika Serikat melarang semua penerbangan sipil ke negara itu selama sebulan. Larangan ini diberlakukan setelah tiga pesawat jet yang mendekati atau meninggalkan Port-au-Prince ditembak. [ah/ft]
Forum