Setelah sembilan kali berusaha menyeberang perbatasan antara Suriah dan Turki dengan ketakutan dan pengalaman menyakitkan hampir mati, Mustafa Hamed usia 31 tahun akhirnya menemukan tempat tinggal di Jerman dimana ia bekerja keras untuk menata hidupnya.
“Yang terpenting adalah kita asing di sini. Jadi harus mencari pekerjaan baru, teman baru dan harus menemukan kehidupan baru” kata Hamed. “Jadi ini adalah awal baru bagi kami”.
Prioritas Hamed sekarang adalah menguasai bahasa. Ia ingin bekerja dalam bidang jurnalisme. Sementara ia berusaha keras mencapai mimpinya ia terus menghadapi mimpi buruk, kenangan hari-harinya di Aleppo.
“Bentrokan berawal di Aleppo mungkin tahun 2012” katanya. “Kita bisa bayangkan setiap hari mendengar pengeboman di dekat kita mungkin hanya dua kilometer jauhnya. Listrik mati dalam waktu yang lama. Kita harus menunggu 7-8 jam hanya untuk mencharge (mengisi baterai) telepon kita”.
Dalam bukunya, War Torn: Stories of Courage, Love and Resilience, psikolog dan peneliti Kenneth Miller memaparkan kembali kisah Hamed bersama banyak lainnya dari Guatemala, Meksiko, Bosnia, Afghanistan, Irak dan Sri Lanka.
Selama 25 tahun lebih pengalamannya bekerja dengan korban perang, Miller memperhatikan bahwa sebagian besar yang ditulis mengenai perang, berpusat pada tentara. Ia ingin menarik perhatian pada apa yang hilang yaitu pengalaman warga sipil. Dalam bukunya ia berbagi puluhan kisah mengenai orang-orang yang ia temui dan bekerja di banyak tempat di seluruh dunia.
Salah satu kisah yang paling menarik dalam buku tersebut adalah dari Samad Khan, seorang warga Afghanistan yang menjadi pengungsi tahun 1980-an selama perang negaranya melawan Uni Soviet. Khan ikut dalam riset Miller di Afghanistan dan dalam sesi konseling mengenai mengatasi pengalaman menyakitkan, Khan berbagi pengalamannya yang sangat traumatis. [my/al]