Ketegangan di Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, sangat terasa seminggu terakhir ini setelah jemaah Ahmadiyah bersikukuh menyelenggarakan “Jalsah Salanah” – semacam pertemuan tahunan pada 6-8 Desember, meskipun pemerintah lokal tidak memberikan izin dengan alasan keamanan.
“Kami tidak akan membatalkan atau menunda acara ini,” begitu bunyi pernyataan yang dirilis secara resmi oleh Jemaah Ahmadiyah Manislor pada 5 Desember. Mereka tetap mendirikan panggung dan menyusun kursi-kursi di ruangan dan jalan sekitar lokasi acara.
Namun Penjabat Bupati Kuningan Agus Toyib bersikeras menegakkan larangan itu setelah menggelar rapat koordinasi dengan Forkopimda yang melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat yang menentang “Jalsah Salanah.”
Aparat kepolisian tampak menjaga ketat lokasi sejak pertengahan minggu ini untuk mencegah hal yang tidak diinginkan.
Kecaman Ormas Sipil dan Akademisi
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan akademisi mengecam keras larangan yang dikeluarkan Pemkab Kuningan.
Dalam konferensi pers di Jakarta pada Sabtu (7/12), Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengatakan adanya pola persekusi, diskriminasi, intoleransi, serta pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan atas kelompok minoritas – dalam hal ini kelompok Ahmadiyah – merupakan ekspresi terbuka pelanggaran atas konstitusi negara dan bentuk tunduknya negara terhadap tekanan terhadap kelompok intoleran.
"Kalau melihat apa yang dilakukan oleh negara menjelang Jalsah Salanah kemarin untuk misalnya mencegah terjadi pelarangan, pembatalan, penolakan dari sekelompok kecil intoleran, saya agak ragu negara akan mengambil tindakan yang presisi untuk menjamin hak konstitusional warga neara atas kebebasan beragama, berkeyakinan," ujarnya.
Sesalkan Sikap Pemkab Kuningan
Seorang jamaah Ahmadiyah yang juga merupakan salah satu peserta “Jalsah Salanah,” Firdaus Mubarik, menceritakan besarnya sumber daya, biaya dan waktu yang telah dikeluarkan untuk melangsungkan pertemuan tahunan ini. Banyak peserta yang bahkan datang dari luar kota.
“Yang kemudian jadi persoalan besar, banyak sekali peserta dari luar kota, mereka sangat kelelahan. Mereka berangkat dua hari perjalanan naik kapal laut dari NTB, transit di Surabaya, lanjut naik kereta api ke Cirebon," katanya.
"Setelah sampai Cirebon, mereka melakukan perjalanan ke Kuningan (Manislor) itu tidak bisa masuk ke dalam karena ditolak oleh polisi. Inilah yang menyebabkan terjadinya penelantaran enam ribu warga Ahmadiyah yang akan menjadi peserta Jalsah Salanah,” papar Firdaus dengan lirih.
Selain menutup akses ke Desa Manislor sejak Kamis (5/12) sore, polisi juga melakukan intimidasi, mengancam dengan menggunakan kata-kata kasar, menendang mobil-mobil peserta dan lainnya agar meninggalkan lokasi acara.
Firdaus mengakui bahwa ia dan sebagian anggota Ahmadiyah sudah terbiasa mengalami tindakan pembubaran atau pembatalan acara-acara seperti itu, tetapi tindakan polisi di Desa Manislor dinilainya tidak manusiawi.
“Jalsah Salanah” adalah pertemuan tahunan warga Ahmadiyah, seperti pengajian akbar. Acara yang berlangsung selama tiga hari ini biasanya tidak saja diikuti oleh penganut Ahmadiyah, tetapi juga kalangan lain. Tujuan acara ini, kata Firdaus, adalah untuk menyampaikan ide-ide Islam yang damai kepada publik, yang secara tidak langsung juga merupakan upaya Ahmadiyah untuk membangun silaturahmi dengan warga lain.
Tak heran jika banyak organisasi masyarakat sipil, antara lain: YLBI, ICRS UGM, STH Jentera, Sobat KBB, PGI, PUSAT Paramadina, Gusdurian, SETARA Institute, Fahmina Institute dan Komnas Perempuan mengecam tindakan aparat dan pemkab Kuningan.
Pertanyakan Keseriusan Pemerintah Prabowo
Peneliti di Indonesian Consortium for Religious Studies Universitas Gadjah Mada (ICRS UGM), Zainal Abidin Bagir, mengatakan pelarangan kegiatan komunitas Ahmadiyah itu jelas pelanggaran terhadap hak untuk berkumpul dan berorganisasi.
"Keliru besar kalau pemerintah dan aparat keamanan khususnya berpikir ini hanya persoalan satu kelompok saja, yaitu Ahmadiyah. Ini adalah persoalan banyak orang dan kita juga melihat yang melakukan protes juga banyak orang. Jadi ini tidak terbatas pada isu Jemaat Ahmadiyah Indonesia, khususnya di Manislor," tuturnya.
Menurutnya pemerintahan Prabowo perlu menegaskan kembali komitmennya untuk menjaga kerukunan dan kebebasan beragama agar insiden di Manislor tidak terulang lagi. Ia juga menyerukan dilakukannya penyelidikan terhadap intimidasi dan aksi kekerasan yang terjadi, dan menjatuhkan sanksi terhadap pelaku.
Agus Toyib mengklaim keputusan melarang demi menjaga keamanan di wilayahnya agar tetap kondusif. Menurutnya pelarangan itu didasarkan pada Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 tentang larangan kegiatan Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat. [fw/em]
Forum