Isu Iklim
OCHA: Krisis Iklim Timbulkan Dampak di Afghanistan, Pakistan dan Sudan
Direktur Operasi Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) Edem Wosornu hari Kamis (23/5) mengatakan situasi kemanusiaan di Afghanistan “rentan” di mana 23 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Jumlah ini menurutnya lima kali lebih besar dibanding tahun 2019.
Wosornu mengatakan krisis iklim global telah menimbulkan dampak langsung terhadap warga Afghanistan dengan meluasnya kelangkaan pasokan air bersih sehingga menimbulkan kebutuhan pangan, layanan kesehatan dan gizi yang baru.
“Lebih dari 15 juta warga Afghanistan kini menghadapi kelangkaan pangan akut,” tambahnya.
Wosornu menjelaskan bahwa meskipun perempuan dan anak perempuan masih terus menghadapi diskriminasi, ia dan mitra-mitranya masih dapat menjalankan mandatnya. “Ada beberapa orang dalam komunitas yang secara de facto mendengarkan kami, meskipun ada juga yang menutup mata terhadap beberapa kegiatan yang kami lakukan,” ujarnya.
Lebih jauh ia juga melaporkan lawatannya ke Sudan di mana dampak krisis iklim dan perang telah membuat jutaan orang menghadapi risiko. “Jika kita kehilangan musim tanam, kita akan kehilangan banyak nyawa.” [em/ka]
See all News Updates of the Day
Atol di Samudera Pasifik Hadapi Risiko Akibat Naiknya Permukaan Laut
Sebuah studi oleh Bank Dunia pada hari Kamis (14/11) mengatakan tindakan mendesak diperlukan untuk mengatasi naiknya permukaan laut di pulau-pulau atol Pasifik di Kiribati, Kepulauan Marshall, dan Tuvalu, yang berdasarkan proyeksi saat ini dapat tenggelam 50% hingga 80% dalam 50 tahun ke depan.
Laporan Iklim dan Pembangunan Negara-negara Atol Pasifik Bank Dunia mengatakan negara-negara dataran rendah dan sekitar 200.000 orang yang tinggal di negara-negara itu menghadapi beberapa ancaman eksistensial paling parah dari perubahan iklim di wilayah mana pun di dunia.
Studi tersebut mengutip proyeksi kenaikan permukaan laut hingga setengah meter pada paruh terakhir abad ini dan menunjukkan 50% hingga 80% wilayah perkotaan utama di negara-negara tersebut dapat terendam air.
Kawasan ini sudah mengalami kerugian tahunan akibat peristiwa iklim seperti badai yang lebih sering terjadi dan lebih kuat yang setara dengan 7% dari total output ekonomi (nilai seluruh hasil penjualan barang dan jasa) di Tuvalu, dan 3% hingga 4% dari output ekonomi di Kepulauan Marshall dan Kiribati diproyeksikan akan meningkat.
Bank Dunia mengatakan bahwa tanpa tindakan global dan lokal yang mendesak, peristiwa iklim yang terjadi satu kali dalam 20 tahun di Tuvalu dapat menyebabkan kerusakan dan kerugian yang setara dengan 50% dari output tahunan saat ini pada tahun 2050.
Studi tersebut memberikan rekomendasi jangka pendek, menengah, dan panjang untuk negara-negara kepulauan tersebut. Saran jangka pendek dan menengah mencakup investasi dalam konstruksi berkelanjutan untuk melindungi sumber daya air tawar, perikanan, dan pasokan energi, di antara infrastruktur penting lainnya.
Saran jangka panjang studi tersebut mencakup investasi dalam pendidikan, kerangka hukum dan peraturan, pembangunan ekonomi, dan ketahanan iklim.
Studi tersebut juga meminta komunitas donor internasional untuk memberikan kontribusi kepada negara-negara atol Pasifik, yang masih menghadapi kesenjangan pendanaan iklim yang signifikan.
Bank Dunia menerbitkan laporan diagnostik iklim dan pembangunan negara-negara (Country Climate and Development Reports/CCDR), yang memadukan pertimbangan perubahan iklim dan pembangunan serta menyarankan tindakan konkret yang dapat diambil negara bersangkutan untuk mengurangi dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Bank Dunia telah menyelesaikan lebih dari 45 CCDR di seluruh dunia hingga Oktober 2024. [lt/ab]
- Associated Press
Protes atas Bahan Bakar Fosil dan Perang Israel-Hamas Warnai KTT Iklim PBB
Protes terjadi di sela-sela perundingan iklim PBB di Baku, Azerbaijan, Kamis (14/11).
Para aktivis menggelar protes terhadap penggunaan bahan bakar fosil dan pasar karbon, sementara protes lainnya menyerukan diakhirinya perang Israel-Hamas.
“Daripada berbicara tentang pasar karbon, kompensasi ini itu, mengapa tidak berbicara tentang bagaimana kita menjaga bahan bakar fosil tetap berada di dalam tanah, bagaimana kita menjaga bahan bakar fosil – minyak, gas, batu bara – tetap berada di dalam tanah?,” ujar seorang demonstran.
Konferensi Tingkat Tinggi yang dikenal sebagai COP29 tahun ini telah mempertemukan para pemimpin dunia untuk membahas berbagai cara untuk membatasi dan beradaptasi dengan krisis iklim.
Setelah hampir satu dekade negosiasi, para pemimpin selama hari pertama konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ini memutuskan beberapa poin penting dari titik kritis yang banyak diperdebatkan yang bertujuan untuk memangkas emisi pemanasan planet dari batu bara, minyak, dan gas.
Dikenal sebagai Pasal 6, pasal ini ditetapkan sebagai bagian dari Perjanjian Paris 2015 untuk membantu negara-negara bekerja sama mengurangi polusi yang menyebabkan perubahan iklim.
Salah satu bagiannya adalah sistem kredit karbon, yang memungkinkan negara-negara melepaskan gas yang menyebabkan pemanasan global ke udara jika mereka mengimbangi emisi di tempat lain.
Namun, pengesahan Pasal 6 pada Senin malam dikecam oleh kelompok keadilan iklim, yang mengatakan bahwa pasar karbon memungkinkan pencemar utama terus mengeluarkan emisi dengan mengorbankan masyarakat dan lingkungan.
Para ilmuwan sepakat bahwa pemanasan atmosfer yang terutama disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil oleh manusia memicu kekeringan, banjir, badai, dan panas yang lebih banyak menimbulkan banyak korban dan semakin parah. [lt/ab]
Pasca Banjir Dahsyat, Kota Valencia Berjuang Memulai Kembali Sekolah
Ribuan siswa di kawasan Valencia, di timur Spanyol, kembali ke sekolah hari Senin (11/11), dua minggu setelah banjir dahsyat menewaskan lebih dari 200 orang dan meluluhlantakkan kota-kota di daerah itu.
Kontroversi soal penanganan banjir yang dilakukan pemerintah regional masih terus bergulir, dan sebuah serikat guru menuduh pemerintah terlalu membesar-besarkan jumlah siswa yang kembali dan menyerahkan tugas pembersihan kepada guru dan siswa.
Dua puluh tiga orang masih hilang di wilayah Valencia setelah hujan lebat menyebabkan sungai meluap dan gelombang air berlumpur melewati pinggiran kota yang padat penduduknya, menenggelamkan orang-orang di dalam mobil dan tempat parkir bawah tanah, serta merobohkan rumah-rumah.
Departemen Pendidikan di wilayah itu mengatakan 47 sekolah yang menampung lebih dari 22.000 anak di 14 kota yang terkena dampak dibuka kembali pada hari Senin. Minggu lalu diperkirakan sekitar 70 persen siswa di daerah yang terkena dampak paling parah akan kembali bersekolah awal pekan ini.
Sampaikan Keprihatinan, Serikat Guru: “Guru dan Ortu Harus Bersihkan Sekolah Sendiri”
Namun serikat guru regional STEPV mengatakan mereka yakin jumlah guru yang kembali pada hari Senin lebih rendah, tanpa memberikan angka alternatif. Juru bicara STEPV, Marc Candela, mengatakan banyak sekolah belum siap untuk melanjutkan pembelajaran, dan menambahkan bahwa “guru dan orang tua yang justru membersihkan sekolah dengan peralatan mereka sendiri, seperti sapu.”
Para guru menginginkan petugas kebersihan profesional yang membersihkan fasilitas-fasilitas pendidikan, seperti yang dilakukan selama pandemi COVID-19, katanya.
Para orang tua juga khawatir dengan keadaan emosi anak-anak mereka. Berbicara pada Reuters, Ketua Federasi Asosiasi Orang Tua (FAMPA), Ruben Pacheco, mengatakan “keluarga-keluarga kelelahan, menderita secara psikologis, dan tidak ada yang boleh diputuskan tanpa berkonsultasi dengan mereka agar tidak menimbulkan lebih banyak ketidaknyamanan daripada yang telah mereka derita.”
Candela mengatakan departemennya telah mengadakan kursus daring untuk para guru minggu lalu dengan rekomendasi perawatan psikologis, namun belum mengirimkan konselor tambahan. [em/ab]
Presiden Azerbaijan di KTT Iklim: Minyak dan Gas 'Karunia Tuhan'
Azerbaijan memiliki tujuh miliar barel cadangan minyak terbukti dan merupakan salah satu tempat pertama di dunia yang memulai produksi minyak secara komersial.
Presiden Azerbaijan, Selasa (12/11), menegaskan kembali bahwa minyak, gas, dan sumber daya alam lainnya merupakan "karunia Tuhan." Hal itu diungkapkan saat berbicara pada KTT Iklim PBB (COP29) di Baku, Azerbaijan.
Ilham Aliyev menegaskan bahwa suatu negara tidak seharusnya dinilai hanya berdasarkan sumber daya alam yang dimiliki dan cara mereka menggunakannya. Ia mengeluarkan pernyataan tersebut sebagai pembelaan terhadap apa yang disebutnya sebagai "berita palsu" dan "kampanye fitnah serta pemerasan yang terkoordinasi" yang berkaitan dengan isu energi.
"Kutip saya bahwa saya mengatakan ini adalah karunia Tuhan, dan saya ingin mengulanginya hari ini di hadapan audiens ini," ujarnya kepada para delegasi KTT Iklim.
"Minyak, gas, angin, matahari, emas, perak, tembaga, semuanya... adalah sumber daya alam, dan negara tidak boleh disalahkan karena memilikinya, serta tidak boleh disalahkan karena menyalurkan sumber daya ini ke pasar, karena pasar membutuhkannya,” ujarnya.
"Orang-orang membutuhkannya."
Azerbaijan memiliki tujuh miliar barel cadangan minyak terbukti dan merupakan salah satu tempat pertama di dunia yang memulai produksi minyak secara komersial.
Sejak meraih kemerdekaan dari Uni Soviet pada 1991, Azerbaijan telah memproduksi 1,05 miliar ton minyak dan berencana meningkatkan produksi gas alamnya lebih dari sepertiga dalam dekade mendatang.
Pendapatan dari produksi minyak dan gas mencapai sekitar 35 persen dari PDB negara tersebut dan hampir setengah dari anggaran belanja negara.
Sekitar 75 persen ekspor energi Azerbaijan ditujukan ke pasar Eropa.
Pada 2022, Komisi Eropa menandatangani kesepakatan dengan Baku untuk menggandakan volume impor gas dari Azerbaijan, dengan tujuan mengurangi ketergantungan Eropa pada gas Rusia, sebuah kesepakatan yang dibela Presiden Aliyev dalam pidatonya.
"Itu bukan ide kami," katanya.
"Mereka meminta kami untuk membantu, dan kami mengatakan oke, kami akan membantu Eropa dalam hal keamanan energi,” tukasnya. [ah/rs]
- Associated Press
Untuk Pertama Kali Sejak Berkuasa, Taliban Hadiri Konferensi Iklim PBB
Untuk pertama kalinya sejak pengambilalihan kekuasaan atas Afghanistan pada pertengahan Agustus 2021, Taliban akan menghadiri konferensi iklim PBB, demikian ungkap badan lingkungan hidup nasional negara tersebut pada hari Minggu (10/11).
Konferensi yang dikenal sebagai COP29 ini dimulai pada hari Senin (11/11) di Azerbaijan, dan merupakan salah satu pembicaraan multilateral terpenting yang melibatkan Taliban, yang tidak memiliki pengakuan resmi sebagai penguasa sah Afghanistan.
Badan Perlindungan Lingkungan Nasional memposting di platform media sosial X bahwa sebuah delegasi teknis telah berangkat ke Baku untuk berpartisipasi.
Matiul Haq Khalis, kepala badan tersebut, mengatakan delegasi tersebut akan menggunakan konferensi itu untuk memperkuat kerja sama dengan komunitas internasional dalam hal perlindungan lingkungan dan perubahan iklim, menyampaikan kebutuhan-kebutuhan Afghanistan terkait akses ke mekanisme keuangan yang ada terkait perubahan iklim, dan mendiskusikan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi.
Lembaga bantuan internasional “Save the Children” pada bulan Agustus lalu menerbitkan sebuah laporan yang mengatakan bahwa Afghanistan adalah negara keenam yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Laporan itu juga mencatat bahwa 25 dari 34 provinsi di Afghanistan menghadapi kondisi kekeringan yang parah atau bencana, yang mempengaruhi lebih dari setengah populasi.
Afghanistan juga memiliki jumlah anak-anak yang kehilangan tempat tinggal akibat bencana iklim tertinggi di antara negara mana pun pada akhir tahun 2023, menurut laporan tersebut.
Profesor Abid Arabzai, dari Universitas Kabul, mengatakan konferensi iklim ini akan membantu negara itu untuk mendapatkan bantuan dan pendanaan internasional untuk mengatasi tantangan iklim di Afghanistan.
“Afghanistan dapat mengklarifikasi tindakan dan komitmen iklimnya kepada komunitas global, sehingga dapat meningkatkan reputasi internasionalnya,” ujar Arabzai. [em/jm]
Forum