Aplikasi gim daring "Koin Jagat" sempat marak beberapa waktu lalu. Permainan itu mengajak pemain untuk mencari koin yang disembunyikan di ruang publik seperti taman dan gedung, dengan hadiah mulai dari Rp 300.000 hingga Rp 100 juta. Gim ini menggunakan teknologi augmented reality dan dilengkapi opsi berbagi lokasi secara real-time, yang memungkinkan pemain berkolaborasi dalam perburuan harta karun.
Untuk mencari koin, para pemain tak sungkan melanggar aturan, seperti merusak fasilitas umum dan membahayakan keselamatan karena berkeliaran di sekitar jalan raya yang ramai dengan kendaraan.
Sebelumnya, juga ada "Pokemon Go" yang sempat ramai dimainkan banyak orang, yang mendorong para pemainnya memasuki ruang privat atau kawasan yang terbatas diakses warga, untuk mendapatkan hadiah atau poin yang dicari dalam permainan itu.
Pakar Antropologi, Universitas Airlangga, Pinky Saptandari, menyebut fenomena ini sebagai kelatahan sosial yang mengarah pada fenomena fear of missing out (fomo), yang membuat orang cemas bila ketinggalan apa yang sedang menjadi perhatian publik. Kondisi ini, kata Pinky, tidak lepas dari ciri masyarakat di era post-truth, yaitu masa di mana antara kenyataan atau kepalsuan tidak dapat dibedakan, yang ditandai dengan kerancuan antara fakta dan emosi. Masyarakat, kata Pinky, seolah-olah tidak punya kemampuan lagi mengambil keputusan sendiri dan keputusannya umumnya lebih dipengaruhi oleh opini publik di dunia maya.
“Kelatahan yang melanda bangsa kita ini karena tidak bisa memilah, rancu antara fakta dan emosi. Itu juga mempengaruhi pilihan politik, pilihan belanja, pilihan bergaul, lalu kemudian dunia nyata dunia maya ini memang akhirnya jadi polarisasi, dan orang ternyata lebih nge-blok, lebih pro kepada yang digital karena seolah-olah yang digital itu lebih nyata dari pada yang nyata, karena yang dihadapi, dipantengi terus kan HP,” jelas Pinky Saptandari.
Selain menurunkan kemampuan memfilter atau menyaring informasi yang diperoleh, Pinky juga menyoroti kegemaran masyarakat mengonsumsi sesuatu yang kurang bernilai. Hal ini, kata Pinky, mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir jernih dan menggunakan logika serta etika, karena sudah terbiasa mengonsumsi dan pempercayai sesuatu yang tidak didasari oleh proses berpikir yang mendalam.
Pinky menyarankan Indonesia meniru Swedia, yang kembali membudayakan membaca buku pada anak-anak sebagai sarana melatih fokus dan memahami berbagai persoalan secara keseluruhan. “Mungkin seperti yang dilakukan Swedia, kembali lagi ke buku. Swedia sekarang menginvestasikan dunia pendidikan untuk kembali ke buku, supaya anak-anak belajar fokus, anak-anak bisa membaca secara keseluruhan, tidak hanya abstraknya saja, tapi seluruh buku itu dibaca.”
Pegiat Gerakan Nasional Literasi Digital (Siberkreasi), Khusnul Aflah, menyebut teknologi digital saat ini bagai pisau bermata dua, yang memberikan banyak peluang dan manfaat, sekaligus tantangan dan dampak yang dapat merugikan seperti pelanggaran privasi dan keamanan, hingga paparan konten yang tidak sesuai.
Mengutip survei BPS tahun 2023, Aflah menyebut sebanyak 46,2 persen anak dan remaja di Indonesia kecanduan gawai, yang ditandai dengan meningkatnya durasi waktu layar dari 7,27 jam perhari menjadi 11,6 jam perhari. Kecanduan ini, kata Aflah, tidak lepas dari keberadaan fitur reward yang ada di perangkat digital atau platform media sosial, yang langsung dapat dirasakan setelah seseorang mengunggah konten.
“Kajian kami di Gerakan Nasional Literasi Digital itu, salah satu yang menyebabkan anak kecanduan itu adalah adanya fitur reward yang pasti di dunia digital, bisa lihat gambar ini ya, love ya, atau jempol, like, itu adalah fitur yang dibuat secara otomatis oleh platform media sosial khususnya ya, dan itu sangat cepat ya. Saat seseorang posting sesuatu, ada intensi, ada harapan, ada ekspektasi, kontennya, postingannya itu dilihat, diberi komen, diberi like, itu fitur, reward itu nyata dan sangat cepat di dunia digital,” jelas Khusnul Aflah.
Kecanduan atau adiksi terhadap gawai, menurut Aflah, bisa mengganggu pertumbuhan fungsi otak pada anak dan remaja. Padahal, katanya, usia sebelum 20 tahun adalah masa tumbuh kembang otak yang penting.
“Pembusukan otak atau ngadatnya fungsi otak karena jarang dipakai, itu adalah buah dari adiksi. Nalar kita itu dibuat seperti tidur dalam jangka waktu yang sangat lama, itu buah dari adiksi,” imbuhnya.
Pengajar Psikologi dari Universitas Surabaya, Ananta Yudiarso, menyebut kecanduan pada online game dan media sosial bisa sangat mempengaruhi mental seseorang. Para pecandu permainan virtual, kata Ananta, sering memiliki keyakinan irasional yang mempercayai akan mendapat sesuatu yang bernilai besar, dan merasa cemas bila kehilangan kesempatan untuk mendapatkan apa yang diharapkan.
“Yang disasar secara mental itu sebenarnya, kalau dari sisi psikologi terutama kognitif, itu irasional believe. Ada keyakinan irasional, kalau saya mengikuti game virtual tadi itu, apa pun itu ya, maka saya akan mendapat sesuatu yang sangat besar, selama ini tidak dapat muncul kesempatannya begitu saja. Kalau saya meninggalkan itu maka saya akan kehilangan kesempatan besar. Nah, itu yang sebenarnya menimbulkan kecemasan kalau dia kehilangan,” kata Ananta Yudiarso.
Ananta mengatakan, munculnya permainan yang menarik anak muda untuk mengikutinya, dapat menimbulkan kerugian pada orang lain bila permainan itu tidak lagi memperhatikan norma sosial dan aturan di masyarakat. Dampak lebih jauh, katanya, adalah adalah gangguan kejiwaan yang memerlukan perawatan khusus.
“Sudah berat ya harus ke psikolog dan psikiater. Tapi, kalau belum mungkin bisa untuk self awareness-nya tadi itu, pada dunia real. Itu kan dunia lain ya biasanya, jadi dia harus bisa untuk ada di level awal ya, itu dia harus tahu bahwa perilakunya sudah merugikan orang lain dan diri sendiri,” sebutnya.
Ananta menambahkan, semua pihak khususnya pemerintah harus segera merespons kondisi sosial yang terjadi, dengan memberikan peringatan dan aturan tegas terhadap permainan yang membahayakan dan merugikan masyarakat. Pemerintah Kota Surabaya sebelumnya telah melayangkan surat kepada Kementerian Komunikasi dan Digital, untuk menindak platform game online yang dianggap meresahkan. [pr/ab]
Forum