Tautan-tautan Akses

Menakar Tantangan Program Cek Kesehatan Gratis Prabowo


Suasana pelaksanaan program CGK di salah satu fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia saat diluncurkan secara resmi, Senin, 10 Februari 2025. (Humas PCO)
Suasana pelaksanaan program CGK di salah satu fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia saat diluncurkan secara resmi, Senin, 10 Februari 2025. (Humas PCO)

Masyarakat Indonesia pada umumnya menyambut dengan antusias peluncuran program cek kesehatan gratis (CKG) baru-baru ini. Namun sejumlah pihak menilai, ada sejumlah tantangan yang belum diantisipasi pemerintah dengan baik.

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menilai kebijakan CKG sebenarnya sangat komprehensifPasalnya program yang diluncurkanmulai 10 Februari itu menyasar beberapa kategori umur, termasuk bayi yang baru lahir, balita, anak sekolah, orang dewasa dan lansia. Prinsipnya, program ini memungkinkan setiap warga negara Indonesia memeriksakan kesehatan fisik secara gratis di fasilitas-fasilitas kesehatan pada saat mereka berulang tahun.

“Jadi dengan semua kategori, itu menunjukkan bahwa perhatian Pak Prabowo (Subianto) mengarah kepada pemberdayaan SDM yang optimal untuk investasi di masa mendatang,” ungkap Trubus ketika berbincang dengan VOA.

Namun, Trubus mempertanyakan bagaimana kelanjutan dari program ini ketika masyarakat sudah melakukan pemeriksaan dan kemudian dideteksi mengidap suatu penyakit. Masyarakat, katanya, tentuingin pengobatan mereka juga bisa ditanggung dan difasilitasi sepenuhnya oleh pemerintah.

“Publik menuntut sebuah kebijakan yang paripurna, maksudnya mulai dari pemeriksaan sampai ke pengobatan. Masyarakat itu mintanya tidak hanya pemeriksaan saja, kalau ini kan hanya pemeriksaan saja, setelah itu apa? Kan belum ada. Artinya harus ada tindak lanjut, yaitu pengobatan,” jelasnya.

Kemudian yang juga menjadi pertanyaan, kata Trubus, adalah jika memang pemerintah mengarahkan pengobatan masyarakat untuk ditanggung oleh BPJS Kesehatan, akankah BPJS Kesehatan dapat melayani pengobatan dan perawatan masyarakat dengan baik. Pasalnya, seperti diketahui, BPJS Kesehatan memiliki berbagai masalah seperti defisit yang mencapai Rp20 triliun.

“Kapasitas BPJS untuk pelayanan publik masih terbatas. BPJS menghadapi masalah internal salah satunya keterbatasan anggaran, tahun ini saja sudah defisit Rp20 triliun. Jadi bagaimana BPJS kemudian akan siap menanggung semuanya? Apalagi kalau masyarakat yang melakukan cek kesehatan gratis lalu terdeteksi penyakit adalah masyarakat yang berpenghasilan rendah. Ini siapa yang menanggung biaya,” jelasnya.

Tantangan program ini juga semakin besar dengan masih terbatasnya jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga medis, terutama di wilayah 3 T (tertinggal, terdepan dan terluar). Selain itu, pemerintah juga berhadapan dengan kultur masyarakat yang masih belum menyadari pentingnya cek kesehatan sebelum terkena penyakit. Masyarakat umumnya baru akan berobat ketika mereka sudah terkena sebuah penyakit.

“Kultur masyarakat untuk patuh melakukan cek kesehatan belum tinggi. Misalnya saja masyarakat Baduy. Jadi hal-hal ini belum diantisipasi dalam program cek kesehatan gratis. Hanya semacam testing the water yang animonya sangat tinggi tetapi pemerintah sendiri tidak menyiapkan peraturan teknis, petunjuk teknis, dan petunjuk pelaksanaannya seperti apa. Itu seharusnya sudah ada , dan disosialisasikan sebelum program ini launching,” katanya.

Kepala Kantor Komunikasi kepresidenan Hasan Hasbi saat meninjau pelaksanaan CKG di Puskesmas Wanakerta, Karawang, Jawa Barat, Senin (10/2) mengatakan program ini merupakan program kesehatan terbesar dalam sejarah Indonesia, dan masyarakat harus memanfaatkannya. (humas PCO)
Kepala Kantor Komunikasi kepresidenan Hasan Hasbi saat meninjau pelaksanaan CKG di Puskesmas Wanakerta, Karawang, Jawa Barat, Senin (10/2) mengatakan program ini merupakan program kesehatan terbesar dalam sejarah Indonesia, dan masyarakat harus memanfaatkannya. (humas PCO)

Trubus pun tidak yakin bahwa program ini akan berkelanjutan atau berlangsung selama lima tahun, mengingat keterbatasan anggaran dan pertimbangan politis.

“Jadi, dalam hal ini mengenai keberlanjutannya masih tanda tanya. Pemerintahan kan hanya lima tahun. Ini baru pengenalan, testing the water. Lalu tahun kedua baru perluasan misalnya sambil evaluasi, tahun ketiga running. Tahun ke-4 biasanya tidak akan menjadi perhatian lagi, karena yang menjadi perhatian adalah bisa terpilih lagi atau tidak. Susahnya disitu. Jadi ini menggambarkan pemerintahan yang tiap lima tahun ini sangat rentan,” tambahnya.

Masyarakat: Antusias Sekaligus Skeptis

Siska Dwi Hartini asal Bandung, Jawa Barat mengaku sudah mengetahui program CKG sejak akhir tahun lalu dari sosial media. Siska mengaku tertarik untuk mencoba program tersebut ketika ia berulang tahun nanti.

Ia berharap, proses akan mudah, dan masyarakat tidak dibebankan biaya apapun dalam melaksanakan pemeriksaan kesehatan ini. Namun, di saat yang bersamaan, perempuan berusia 37 tahun ini cukup skeptis. Ia ragu fasilitas kesehatan (faskes) di dekat rumahnya memiliki peralatan ang lengkap untuk menunjang berbagai pemeriksaan Kesehatan.

“Cuma saya agak skeptis dengan fasilitas kesehatan yang ada di dekat rumah saya, Saya belum tahu informasi lebih lengkap tentang hal ini, apakah memang bisa melakukannya untuk tes di faskes lain atau bagaimana. Tapi so far menurut saya ini menarik dan sangat bermanfaat karena memang kalau bayar sendiri lumayan berat untuk masyarakat. Apalagi di kala semua harga mahal, medical check-up itu bukan menjadi kebutuhan primer tapi akan sangat membantu jika medical check-up ini menjadi gratis,” ungkap Siska kepada VOA.

Sementara itu, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi, mengatakan CKG adalah program kesehatan terbesar dalam sejarah Indonesia.

“Program ini tidak memiliki syarat khusus dan berlaku untuk semua kalangan, termasuk tenaga kesehatan, petani, nelayan, serta insan media, ” katanya, saat memantau langsung pelaksanaan program CKG di Puskesmas Wanakerta, Karawang, Jawa Barat, Senin (10/2).

Menkes Budi saat memantau langsung penyelenggaraan program CKG di Jawa Timur beberapa waktu lalu menargetkan tahun ini 100 juta penduduk Indonesia dapat memanfaatkan layanan CKG sehingga deteksi penyakit bisa diketahui lebih dini. (Humas PCO)
Menkes Budi saat memantau langsung penyelenggaraan program CKG di Jawa Timur beberapa waktu lalu menargetkan tahun ini 100 juta penduduk Indonesia dapat memanfaatkan layanan CKG sehingga deteksi penyakit bisa diketahui lebih dini. (Humas PCO)

Hasan juga menekankan pentingnya pemeriksaan kesehatan secara rutin, terutama saat dalam kondisi sehat, agar dapat secara dini mendeteksi faktor risiko penyakit. Pemeriksaan di puskesmas-puskesmas seluruh Indonesia dalam program ini, katanya, meliputi X-ray screening, cek jantung, dan pemeriksaan darah.

"Cek kesehatan ini berguna untuk menjaga kita supaya tetap sehat,” tambahnya.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi menargetkan program CKG setidaknya bisa menjangkau 100 juta jiwa dalam setahun. Ia juga mengatakan pemerintah menggelontorkan anggaran untuk program ini pada tahun 2025 sebesar Rp4,7 triliun.

”Target program ini memang semua warga yang jumlahnya sekitar 280 juta jiwa lebih, tetapi tidak mungkin bisa selesai setahun. Di tahun pertama ini bagus sekali jika bisa mencakup 100 juta jiwa,” ungkap Menkes Budi saat memantau langsung penyelenggaraan program CKG di Jawa Timur beberapa waktu lalu.

Program CKG Klaster Anak

Sementara itu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta pemerintah mempermudah prosedur bagi klaster anak-anak untuk mendapatkan layanan CGK sehingga bisa menjangkau semua sasaran targetnya.

Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra di Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa hal ini menjadi penting karena masih banyak anak di Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran dan minimnya akses informasi bagi mereka yang hidup di daerah 3T.

Berdasarkan data KPAI dalam medio 2020-2024 masih ada sebanyak 5,4 juta anak di Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran.

Kondisi tersebut mayoritas ditemukan oleh tim KPAI tersebar di Provinsi Aceh, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Papua, dan Papua Barat yang merupakan daerah dengan pemenuhan akta kelahiran terendah nasional. [gi/ab]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG