Setelah 15 tahun, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad kembali ke puncak kekuasaan. Dalam wawancara dengan VOA baru-baru ini ia mengatakan masa jabatannya selama 20 tahun dulu ‘’jauh lebih mudah’’ dibandingkan apa yang dihadapinya saat ini. Ia merujuk pada utang pemerintah yang sangat besar dan skandal korupsi yang meluluhlantakkan citra Malaysia.
Berikut petikan wawancaranya bersama Eva Mazrieva (VOA).
VOA: Pertama-tama terima kasih Pak Mahathir atas kesempatan yang diberikan kepada VOA dan selamat atas terpilihnya Bapak kembali sebagai perdana menteri Malaysia. Dulu Bapak mengedepankan visi “Malaysia 2020” yang salah satu sasarannya adalah menjadikan Malaysia sebagai negara maju pada selambat-lambatnya tahun 2020. Bagaimana penilaian Bapak saat ini atas visi tersebut, apakah masih mungkin dicapai atau justru telah terjadi kemunduran?
Mahathir Mohamad: “Visi 2020” sedianya akan tercapai jika mereka (pemerintahan Najib.red) membuat kemajuan sebagaimana yang kami lakukan sebelumnya. Tetapi sayangnya dua perdana menteri setelah saya (Abdullah Ahmad Badawi dan Najib Razak.red) mengubah haluan dan karenanya kita tidak dapat mencapai “Visi 2020.” Meskipun demikian kami yakin masih akan tetap dapat mencapainya dalam jangka pendek, maksud saya tentu setelah 2020. Malaysia akan menjadi negara maju dalam beberapa tahun lagi. Malaysia bukan negara kaya, karena sebagaimana yang Anda ketahui, kami tidak memiliki banyak sumber daya alam. Tetapi sejak era Inggris dulu kami memiliki industri perkebunan dan telah berhasil mengembangkannya lewat investasi asing langsung (FDI), dimana perusahaan-perusahaan asing membawa modal dan teknologi canggih, serta membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat kami yang dengan mudah dapat dilatih. Jadi kami yakin dapat segera menjadi negara maju dalam waktu lebih pendek dibanding kebanyakan negara-negara berkembang. Bahkan pertumbuhan ekonomi kami jauh lebih cepat dibanding negara-negara yang meraih kemerdekaan pada waktu yang kurang lebih sama dengan kami. Kami dapat memodernisasi industri yang kini jauh lebih terfokus pada elektronik dan informasi teknologi. Kami akan melatih rakyat kami supaya lebih cakap dalam bidang ini, yang berarti kami juga harus fokus pada bidang pendidikan, dan membutuhkan dukungan dari luar untuk memastikan agar kami memiliki teknologi dan pembelajaran yang tepat dan sesuai.”
VOA: Apa agenda reformasi yang akan segera diterapkan dan hambatan yang mungkin dihadapi?
“Kami mewarisi negara yang telah dipimpin dengan sangat buruk. Pemerintah sebelumnya telah mengakumulasikan pinjaman dalam jumlah yang sangat besar dari negara-negara lain, bank asing dan bahkan sumber-sumber di dalam negeri. Jadi hal pertama yang harus kami lakukan adalah memastikan agar kami mampu membayar hutang-hutang itu dan berupaya mengurangi pinjaman pokoknya. Hal ini yang menghabiskan waktu kami sekarang karena pinjaman yang diambil untuk proyek-proyek yang bahkan tidak terlalu penting, sangat luar biasa besar. Ini fokus kami sekarang. Kami juga menghadapi perubahan struktur pemerintahan dimana prinsip-prinsip demokrasi telah diabaikan, tidak ada lagi pemisahan kekuasaan diantara legislatif-eksekutif-dan-yudikatif. Konstitusi Malaysia telah dilanggar. Kini kami harus mengubah beberapa praktek yang ada, misalnya mengubah jumlah masa jabatan seseorang untuk menjadi perdana menteri menjadi hanya dua kali masa jabatan, mengurangi kekuasaan eksekutif dan mengalihkannya ke parlemen. Misalnya saja untuk memilih pejabat-pejabat senior pemerintahan, biar parlemen yang mengkaji tokoh-tokoh yang dicalonkan, bukan hanya perdana menteri.”
VOA: Sejumlah analis mengatakan apa yang Bapak sampaikan bertolak belakang dengan nilai-nilai yang Bapak sebelumnya. Mereka merujuk pada penggunaan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (Internal Security Act – ISA) untuk menangani para pesaing politik. Bagaimana pandangan Bapak atas kebebasan berpendapat dan berkumpul?
“Reputasi saya dibentuk oleh mereka-mereka yang menentang saya, terutama dari kelompok oposisi. Biasanya kelompok oposisi menghadapi pemerintah dengan cara menjelek-jelekkan pemerintahan tersebut, dan tentu saja pemerintah akan melakukan hal serupa terhadap kelompok oposisi. Saya, misalnya, dijuluki sebagai diktator. Bahwa saya seorang yang sangat tegas dan memaksakan kehendak pada seluruh negara. Ini yang digambarkan oleh kelompok oposisi. Pada kenyataannya saya bukan sosok yang otoriter. Indikasinya adalah tidak ada sosok otoriter yang akan mengundurkan diri, tetapi saya mengundurkan diri dari pemerintahan karena mayoritas rakyat tidak dapat menerima gambaran diri saya yang sebenarnya sebagian juga dibentuk oleh pers asing. Jadi ketika Anda mengatakan bahwa saya mempraktekkan hal-hal otoriter seperti itu, itu tidak benar. Jika Anda menelusuri perjalanan karir saya, Anda akan mendapati bahwa saya pemimpin yang terbuka, yang selalu berkonsultasi dengan mitra-mitra saya ketika mengambil keputusan apapun. Bahkan ketika ada tentangan di dalam partai terhadap diri saya, saya perkenankan diambilnya langkah hukum dimana saya hampir kalah. Tetapi di dalam pemerintahan sebelumnya (Najib.red) jika ada seseorang di dalam partai yang menyampaikan pandangan berbeda, maka ia akan disingkirkan. Jadi siapa yang lebih diktator? Sementara soal penahanan orang tanpa pengadilan, ini dilakukan oleh perdana menteri pertama (Tunku Abdul Rahman.red), perdana menteri kedua (Abdul Razak Hussein.red) dan perdana menteri ketiga (Hussein Onn.red). Ketika saya menjadi perdana menteri saya bebaskan 21 orang tahanan politik. Saya tidak punya lagi tahanan politik pada masa pemerintahan saya, kecuali jika ada yang menimbulkan ancaman keamanan terhadap negara, dan mereka kemudian akan ditahan untuk sementara waktu. Saya ingin menghapus undang-undang yang mengijinkan penahanan tanpa pengadilan, tetapi tentu saja aparat keamanan seperti polisi dll masih tetap ingin mempertahankan undang-undang itu karena memudahkan mereka untuk mempertahankan keamanan. Tetapi sejujurnya saya tidak menyukai undang-undang ini, dan sekarang saya gembira karena berada di pihak oposisi, tentu saja dengan citra bahwa orang yang telah dihancurkan oleh kelompok oposisi, kini justru diterima sebagai pemimpin kelompok oposisi – kelompok yang selama ini kerap menyampaikan hal-hal buruk tentang saya. Jika memang saya selama ini buruk, sebagaimana yang mereka sampaikan, apakah mungkin mereka mau saya menjadi pemimpin mereka?”
VOA: Tidakkah Bapak merasa bahwa apa yang harus diperbaiki sekarang merupakan konsekuensi dari kultur atau struktur politik yang ada ketika Bapak memimpin Malaysia dulu?
“Bukan saya yang menetapkan struktur politik itu. Saya mewarisinya. Misalnya saja undang-undang, yang merupakan warisan Inggris, yang kemudian digunakan oleh perdana menteri pertama, kedua dan ketiga. Sebaliknya saya hanya menggunakannya jika benar-benar perlu, berdasarkan masukan dari polisi. Saya tidak melakukannya karena alasan politik. Saya bahkan tidak pernah menghentikan mereka yang menantang saya. Tetapi pemerintahan sebelumnya (Najib.red), ia akan menyingkirkan Anda dari partai jika bersuara berbeda. Kami memang tidak menjalankan demokrasi liberal seperti yang Anda jalankan di Amerika dan negara-negara lain, karena di Malaysia ada beragam etnis dimana jika undang-undang tidak dilaksanakan dengan adil maka akan terjadi konflik dan perselisihan. Jadi kami harus memastikan bahwa negara ini stabil dan orang dapat berbisnis di negara ini. Malaysia adalah negara yang bersahabat pada dunia bisnis. Saya tidak paham mengapa saya digambarkan sebagai diktator yang intoleran terhadap pihak lain. Jika saya bersikap intoleran, saya akan menetapkan anak saya sebagai pengganti saya kelak. Pada kenyataannya saya bahkan tidak mengijinkan anak saya untuk bergabung dalam partai politik.”
VOA: Untuk menjelaskan kepada masyarakat internasional… Seberapa besar dampak negatif skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB) yang ditimbulkan terhadap Malaysia?
“Well bagi masyarakat internasional, mereka lah yang menciptakan terminologi kleptokrasi, maksud saya menerapkan kleptokrasi, pada Malaysia, negara yang ketika itu dipimpin oleh penjahat dan pencuri. Ini satu hal yang harus kami perbaiki, yaitu dengan kembali pada penegakan hukum dan manajemen yang baik sehingga masyarakat internasional dapat kembali yakin bahwa kami adalah negara yang dipimpin dengan baik. Apapun yang Anda sampaikan tentang periode kepemimpinan saya sebelumnya, mayoritas masyarakat internasional melihat Malaysia sebagai tempat yang nyaman untuk berbisnis, dan terbukti kami memiliki investasi asing langsung yang sangat besar di Malaysia dan perekonomian kami tumbuh sangat cepat. Jika pemerintahan pada era saya dulu itu dinilai dipimpin dengan sangat buruk, sebagaimana yang dituduhkan, bagaimana mungkin negara ini bisa maju. Faktanya negara ini maju lebih cepat dibanding negara-negara lain yang mencapai kemerdekaan pada saat yang sama.”
VOA: Pertanyaan ini terkait dengan Indonesia. Indonesia sangat khawatir dengan banyaknya jihadis yang baru kembali dari Suriah. Apakah Malaysia menghadapi masalah yang sama dan bagaimana strategi Anda terhadap hal itu?
“Kami memang khawatir berkenaan dengan penyertaan rakyat Malaysia dalam ISIS. Ada juga beberapa orang di Malaysia yang telah pergi ke Suriah dan terlibat dalam gerakan ISIS. Tetapi kami dapat kawal keadaan ini dan tidak merebak sehingga berlaku apa-apa yang tidak diingini di Malaysia sendiri.” [em/al]