Sekelompok mahasiswa AS tersebut tinggal bersama keluarga-keluarga angkat setempat di Bali. Mereka ikut merasakan semangat, gaya dan derap kehidupan sehari-hari warga setempat, sambil mengasah keterampilan linguistik mereka.
Para mahasiswa yang berjumlah 11 orang dengan seorang profesor pembimbing kini berada di Depasar, Bali untuk mengikuti program belajar Bahasa Indonesia dengan menceburkan diri secara langsung di masyarakat pengguna bahasa yang dipelajari (immersion). Peserta program ini umumnya disponsori oleh Project GO, sebuah program nasional yang terbuka bagi mahasiswa ROTC (mahasiswa militer) yang didanai penuh oleh Departemen Pertahanan AS dalam pendidikan bahasa-bahasa penting dan pengalaman lintas budaya di luar negeri.
Program ini digagas dan dikelola oleh Lembaga Bahasa-Bahasa Penting (Critical Languages Institute/CLI) yang merupakan bagian dari Melikian Center di Arizona State University. Program CLI Bahasa Indonesia di Bali diselenggarakan atas kerja sama dengan Universitas Ngurah Rai.
VOA berhasil mewawancarai dua mahasiswa dan pembimbing program ini. Mereka adalah Christy Childs, mahasiswa di Washington and Lee University di Lexington, Virginia dan Will Hendricks yang kini menyelesaikan studi di University of Chicago di Chicago, Illinois.
Pengelola dan pendamping peserta program ini adalah Peter Suwarno, PhD, guru besar di School of International Letters and Cultures atau fakultas sastra dan budaya internasional, Arizona State University,
Kisah Christy: Menjembatani Warisan dan Bahasa
Christy, yang kini belajar di jurusan psikologi, memulai pembicaraan dengan VOA dengan mengatakan, “Nama saya Christy, saya berasal dari New York, tapi ibu saya dari Jakarta. Ibu saya pindah ke Amerika setelah menikah dengan ayah saya.”
Berpartisipasi dalam program di Bali memberi Christy kesempatan unik untuk terhubung kembali dengan warisan budayanya. “Karena saya tinggal di Amerika, saya tidak bisa belajar bahasa Indonesia di sana,” jelasnya. Dengan mendalami bahasa dan budaya Bali, ia memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang latar belakang ibunya sekaligus meningkatkan kecakapan bahasa Indonesianya secara mendalam.
Program imersi ini juga menghadirkan pengalaman baru dalam dunia kuliner yang menyenangkan. “Saya sangat suka makanan di sini,” kata Christy dengan antusias, seraya menambahkan bahwa menyesuaikan diri dengan masakan lokal, yang lebih pedas dari biasanya, merupakan petualangan yang menyenangkan.
Kisah Will: Hubungan Keluarga
Will Hendricks, yang berasal dari Washington, DC, tetapi keluarganya tinggal di Singapura juga menemukan makna pribadi dalam belajar bahasa Indonesia. “Saya ingin belajar bahasa Indonesia karena nenek saya lahir di Jakarta. Dia pindah ke Singapura ketika dia berumur 14 tahun, tapi Indonesia untuk dia masih seperti rumahnya. Dan saya ingin berbicara dengan ibu saya dan nenek saya dalam bahasa Indonesia,” ungkapnya.
Will merasa perlu lebih memahami budaya Indonesia dan menjembatani kesenjangan melalui bahasa. Mahasiswa jurusan ilmu ekonomi dan politik di Universitas Chicago ini bercerita tentang kelebihan belajar bahasa langsung dengan penutur asli di tempat bahasa itu digunakan.
“Kami bisa belajar lebih banyak karena harus selalu memakai Bahasa Indonesia,” katanya. Kebutuhan untuk menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari, ditambah dengan terbatasnya kemampuan bahasa Inggris penduduk setempat, termasuk anggota keluarga angkatnya sangat membantu dalam upayanya mengasah kemahiran berbahasa Indonesia.
Adaptasi Budaya dan Tantangannya
Baik Christy maupun Will berusaha memahami kompleksitas adaptasi terhadap budaya Bali. Christy menganggap pertanyaan tentang kehidupan pribadi, seperti “sudah punya pacar atau belum?” atau “di mana tinggal?” merupakan hal menantang karena pertanyaan-pertanyaan itu, dan lain-lain sejenisnya bersifat pribadi. Namun, dia mengakui interaksi ini sebagai pertukaran budaya yang berharga.
Sementara itu Will terpikat oleh spiritualitas yang meresap dalam kehidupan masyarakat Bali. “Orang Bali lebih spiritual dari orang Amerika. Ada pura di mana-mana, ada persembahan di mana-mana,” ujarnya. “Kehadiran kuil dan persembahan di mana-mana membuatnya penasaran, memicu perbincangan tentang agama dan sistem kepercayaan,” tambahnya.
Penggunaan Bahasa dalam Kehidupan Nyata
Tinggal bersama keluarga angkat Bali memberikan banyak peluang untuk praktik bahasa dalam kehidupan nyata. Christy menceritakan interaksinya dengan seorang nenek di keluarga angkatnya yang tidak bisa berbahasa Inggris.
“Dia selalu makan dengan saya, dan selalu bicara banyak, Dan kadang-kadang karena dia bicara banyak, dia mau saya bicara sedikit juga, dan bercerita tentang sekolah atau lakukan apa. Jadi, saya harus pikir cerita yang lucu karena dia bercerita lucu,” ujar Christy.
Will berbagi momen yang sangat mengesankan terkait toilet yang tidak menggunakan flush di rumah keluarga angkatnya. “Tahun lalu, keluarga angkat saya tidak berbahasa banyak Inggris, dan di kamar kecil saya ada toilet yang tidak punya flush. Saya tidak mengerti bagaimana pakai itu. Jadi saya harus bertanya kepada bapak angkat saya tentang toilet itu, dan karena itu saya harus pakai bahasa Indonesia.”
Bagi Christy dan Will, program Bali Immersion lebih dari sekedar pembelajaran bahasa, tapi program ini sekaligus menjadi perjalanan menuju warisan budaya dan pertumbuhan pribadi serta profesi mereka kelak. Mengenai penilaian mereka tentang Indonesia secara umum, mereka mengatakan secara singkat, “Indonesia keren.”
Pembimbing dan pendamping kelompok mahasiswa dalam program ini adalah Profesor Peter Suwarno, Ph.D. dari Arizona State University. Di sela-sela jadwal yang padat, dia bersedia meluangkan waktu untuk berbagi wawasan tentang program yang dibidaninya tersebut.
“Program ini, proposalnya kami tulis itu tahun 2015 dan sudah di-approved tahun 2016. Jadi, programnya mulai tahun 2016 setiap musim panas. Dulunya itu ada dua bulan di Arizona, kemudian satu bulan di Bali. Tapi sekarang sudah dua bulan atau delapan minggu berada di Bali. Jadi dari tahun 2016 sampai sekarang. Dananya itu dari Project Go. Project Go itu yang mendanai adalah DOD, Department of Defense (Departemen Pertahanan), melalui Melikin Center di Arizona State University," ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa beasiswa dari Project Go terutama diperuntukkan bagi mahasiswa militer yang tergabung dalam Program Korps Pelatihan Perwira Cadangan (Reserve Officers’ Training Corps/ROTC). “Mahasiswa yang ikut Project GO adalah mahasiswa-mahasiswa militer,” jelas Prof. Suwarno. Para mahasiswa itu mempunyai kontrak dengan militer dan menerima dana penuh, termasuk tunjangan. Pendanaan tambahan atau bagi mahasiswa non-ROTC berasal dari sumber-sumber lain seperti FLAS (Foreign Language Area Studies) dari Arizona State University, Boren Awards, Ford Foundation, dan lain-lain.
Tinggal bersama Keluarga Angkat
Aspek penting dari program ini adalah pengalaman tinggal bersama keluarga angkat Bali. “Mereka sudah dianggap sebagai anggota keluarga,” jelas Prof. Suwarno. Mahasiswa menjadi bagian dari keluarga, memanggil tuan rumah mereka sebagai orang tua, kakek-nenek, dan saudara. Integrasi ini memastikan mereka bisa mempraktikkan Bahasa Indonesia secara konsisten sambil memperoleh pemahaman mendalam tentang budaya setempat.
Aspek penting lainnya dari program ini adalah kebijakan larangan berbahasa Inggris yang ketat. “Yang namanya immersion kan harus bahasa Indonesia semua atau no English,” tegas Prof. Suwarno. Pendekatan ini, meskipun menantang, tapi bisa mempercepat penguasaan bahasa. Dia mendorong mahasiswa untuk menerima kebingungan dan kesalahpahaman sebagai bagian dari proses pembelajaran. Lingkungan imersif memaksa mereka untuk menggunakan Bahasa Indonesia dalam situasi kehidupan nyata, sehingga meningkatkan keterampilan linguistik mereka.
Tantangan dan Adaptasi Budaya
Program imersi bukannya tanpa tantangan. Gegar budaya (culture shock) tidak bisa dihindari, seperti yang diutarakan oleh Prof. Suwarno. “Pasti ada kejutan budaya... makanan yang jelas pedas, WC atau kamar mandi yang selalu basah, itu masalah,” katanya. Ia menekankan pentingnya beradaptasi dengan adat istiadat setempat, seperti menggunakan air sebagai pengganti kertas tisu untuk membersihkan, sebuah praktik yang sejalan dengan kebiasaan ramah lingkungan di Indonesia.
“Mereka secara tidak sadar membandingkan dengan pengalaman sebelumnya. Itu tidak bisa dielakkan. (Mereka mengatakan) ‘tapi saya dulu begini, oh saya biasa...’ (dan saya jawab) ‘iya, kamu dulu seperti itu, biasanya seperti itu di Amerika, ini kamu di dunia yang lain.’ Semuanya beda, hawanya, makanannya, Mereka komplain, ‘pagi makan nasi, siang makan nasi, nalam makan nasi. Lho, kok nasi terus?’ (Saya katakan) ‘Ya memang! Orang Indonesia makan nasi terus setiap hari.’ Itu yang menjadi tantangan bagi mereka, tapi secara umum mereka sangat menikmati.”
Prof. Suwarno mengamati kemajuan luar biasa dalam kemampuan bahasa dan pemahaman budaya para mahasiswa. “Mereka sangat menikmati,” katanya, seraya menekankan bahwa meskipun ada tantangan, para mahasiswa merasakan pengalaman ini bermanfaat. Tujuan program ini adalah untuk menghasilkan perwira Amerika yang mahir dalam bahasa-bahasa penting, termasuk Bahasa Indonesia, bahasa yang digunakan oleh jutaan orang, tetapi tidak dikenal secara luas di Amerika Serikat.
Prof. Suwarno optimistis dengan masa depan program-program sejenis yang pada gilirannya akan ikut meningkatkan pengenalan Bahasa Indonesia di Amerika Serikat. “Jadi, kami berharap ke depan, Indonesia ini menjadi lebih visible di Amerika, karena bagaimanapun Indonesia walaupun negaranya besar keempat di dunia, Indonesia itu masih belum visible, dan banyak sekali hal-hal yang menarik – bukan hanya Bali – tentang Indonesia yang bisa dipelajari oleh mahasiswa Amerika,” pungkas Profesor Sumarno. [lt/ka]
Forum