Pihak konservatif Jerman memenangkan pemilihan umum nasional pada hari Minggu (23/2), namun hasil pemungutan suara yang terpecah membuat partai sayap kanan, Alternative for Germany (AfD), mendapatkan hasil terbaiknya di posisi kedua. Kondisi tersebut juga menyulitkan pemimpin konservatif Friedrich Merz dalam membentuk koalisi pemerintahan mendatang.
Merz, yang tidak memiliki pengalaman sebelumnya sebagai pejabat pemerintahan, akan menjadi kanselir di tengah kondisi ekonomi negara sedang sulit, masyarakatnya yang terpecah karena migrasi, dan keamanannya yang terjebak di antara AS dan Rusia serta China yang agresif.
Setelah runtuhnya koalisi petahana Olaf Scholz yang tidak disukai, Merz, yang berusia 69 tahun, harus membentuk koalisi dari parlemen yang terpecah-belah dalam sebuah proses yang bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Blok konservatifnya dan partai-partai arus utama lainnya mengesampingkan kerja sama dengan AfD, sebuah partai yang didukung oleh sejumlah tokoh AS termasuk miliarder Elon Musk.
Merz, pemimpin Partai Persatuan Demokrat Kristen, menyasar AS dengan komentar pedas setelah kemenangannya, mengecam komentar yang “sangat keterlaluan” dari Washington selama kampanye, membandingkannya dengan intervensi yang tidak bersahabat dari Rusia.
“Jadi, kita berada di bawah tekanan besar dari dua pihak sehingga prioritas utama saya sekarang adalah mencapai persatuan di Eropa. Menciptakan persatuan di Eropa itu mungkin,” katanya dalam sebuah pertemuan dengan para pemimpin lainnya.
Pernyataan Merz yang menentang AS itu muncul meskipun Presiden Donald Trump menyambut baik kemenangan kaum konservatif.
“Sama seperti Amerika Serikat, rakyat Jerman sudah bosan dengan agenda yang tidak masuk akal, terutama dalam hal energi dan imigrasi, yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun,” tulis Trump di Truth Social.
Merz yang selama ini dipandang sebagai seorang Atlanticist, yaitu pendukung kerjasama AS dengan Eropa barat terkait ekonomi, militer dan politik, mengatakan bahwa Trump telah menunjukkan bahwa pemerintahannya “umumnya tidak peduli dengan nasib Eropa.”
“Prioritas utama Merz adalah memperkuat Eropa secepat mungkin sehingga kita dapat mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya dari AS selangkah demi selangkah,” tambahnya.
Dia bahkan berani bertanya apakah KTT NATO berikutnya, yang telah menopang keamanan Eropa selama beberapa dekade, masih akan seperti “NATO dalam bentuknya saat ini.”
Setelah kampanye yang diwarnai dengan serangan kekerasan yang menyebabkan orang-orang dengan latar belakang migran ditangkap, blok konservatif CDU/CSU memenangkan 28,5% suara, diikuti oleh AfD dengan 20,5% suara, demikian proyeksi yang dipublikasikan oleh kantor penyiaran ZDF pada pukul 21.46 waktu setempat.
AfD, yang tampaknya akan menggandakan perolehan suaranya dari pemilu sebelumnya memandang hasil hari Minggu ini hanya sebagai permulaan.
“Tangan kami tetap terulur untuk membentuk pemerintahan,” kata pemimpin Alice Weidel kepada para pendukungnya, dan menambahkan ”lain kali kami akan menjadi yang pertama.”
Tindakan Merz
Merz bergerak menuju ke pembicaraan koalisi tanpa negosiasi yang kuat. Meskipun CDU/CSU yang dipimpinnya muncul sebagai blok terbesar, namun partai ini mendapat hasil pemilu terburuk kedua pasca perang.
Masih belum jelas apakah Merz akan membutuhkan satu atau dua mitra untuk membentuk mayoritas, dengan nasib partai-partai kecil yang tidak jelas sehingga bisa mengacaukan susunan parlemen.
Sebuah koalisi tiga arah kemungkinan akan jauh lebih berat, sehingga menghambat kemampuan Jerman untuk menunjukkan kepemimpinan yang jelas.
Partai Sosial Demokrat (SPD) pimpinan Kanselir Scholz mendapat hasil terburuk sejak Perang Dunia Kedua, dengan raihan 16,5% suara, dan Scholz mendapatkan hasil yang “pahit”, demikian menurut proyeksi ZDF, sementara Partai Hijau mendapatkan 11,9% suara.
Dukungan yang kuat, terutama dari para pemilih muda, mendorong partai sayap kiri Die Linke meraih 8,7% suara.
Partai Demokrat Bebas (FDP) yang pro-pasar dan partai pendatang baru Sahra Wagenknecht Alliance (BSW) berada di sekitar ambang batas 5% untuk masuk parlemen.
Partisipasi pemilih sebesar 83% adalah yang tertinggi sejak sebelum reunifikasi pada tahun 1990, menurut jajak pendapat di TPS. Pemilih laki-laki cenderung lebih condong ke kanan, sementara pemilih perempuan menunjukkan dukungan yang lebih kuat untuk partai-partai berhaluan kiri.
“Koalisi tiga partai berisiko menimbulkan lebih banyak kekacauan dan lebih banyak kebuntuan kecuali jika semua pihak yang terlibat menyadari bahwa ini adalah kesempatan terakhir untuk membawa perubahan dan mencegah AfD menjadi lebih kuat,” kata Carsten Brzeski, kepala global makro di lembaga kajian ING.
“Selama pemerintahan baru tidak membawa perubahan signifikan, investasi asing juga akan tertahan, sehingga melemahkan prospek ekonomi Jerman.”
Scholz sebagai pengurus
Sebagai seorang penganut ekonomi liberal blak-blakan yang telah menggeser kaum konservatif ke kanan, Merz dianggap sebagai kebalikan dari mantan Kanselir konservatif Angela Merkel, yang memimpin Jerman selama 16 tahun.
Merz secara bersyarat mendukung untuk memasok Ukraina dengan rudal-rudal Taurus jarak jauh, sebuah langkah yang dihindari oleh pemerintahan Scholz, dan melihat Eropa sebagai tempat yang tepat untuk bergabung dengan NATO.
Pemilihan hari Minggu terjadi setelah runtuhnya koalisi Scholz pada November lalu yang terdiri dari SPD, Partai Hijau dan FDP yang pro-pasar dalam sebuah perselisihan mengenai pengeluaran anggaran.
Pembicaraan mengenai koalisi yang berkepanjangan bisa membuat Scholz berperan sebagai sosok pengurus selama berbulan-bulan, menunda kebijakan-kebijakan yang sangat dibutuhkan untuk menghidupkan kembali ekonomi. Pada saat ekonomi Jerman selama dua tahun berturut-turut mengalami kontraksi dan ketika perusahaan-perusahaan berjuang melawan saingan global.
Penundaan juga akan menciptakan kekosongan kepemimpinan di jantung Eropa bahkan saat benua tersebut menghadapi sejumlah tantangan seperti Trump yang mengancam perang dagang dan berusaha mempercepat kesepakatan gencatan senjata untuk Ukraina tanpa melibatkan Eropa.
Warga Jerman sendiri tampak lebih pesimis dengan standar hidup mereka saat ini dibandingkan dengan saat-saat sebelumnya sejak krisis keuangan pada tahun 2008.
Sikap terhadap migrasi juga telah mengeras, sebuah pergeseran besar dalam sentimen publik Jerman sejak budaya “Selamat Datang Pengungsi” selama krisis migran di Eropa pada tahun 2015, yang didorong dan dimanfaatkan oleh partai AfD. [my/lt]
Forum