Suara kicuan burung Curik Bali atau biasa disebut Jalak Bali, terancam tidak dapat didengarkan lagi di alam bebas, bila upaya pelestarian dan restorasi habitat asli Jalak Bali tidak segera dilakukan.
Menurut Ria Saryanthi dari LSM Burung Indonesia, perbaikan habitat asli burung Jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat harus jadi prioritas penanganan, agar upaya pelepasan burung Jalak Bali ke alam liar dari penangkaran dapat berjalan dengan baik.
“Dengan kondisi habitat yang sekarang, insitu-nya juga perlu direstorasi, diperbaiki di beberapa. Kalau semua pihak memiliki komitmen yang cukup tinggi, saya pikir peluang untuk Jalak Bali itu bisa dilihat kembali dengan cukup signifikan di alam itu besar,” kata Ria Saryanthi, LSM Burung Indonesia.
Kondisi habitat yang rusak akibat terdesak oleh manusia, serta maraknya pencurian dan penangkapan burung Jalak Bali di alam liar, menjadi tantangan pelestarian burung Jalak Bali. Kepala Balai Taman Nasional Bali Barat kepada VOA, Senin (5/10) mengungkapkan, pelepasan burung Jalak Bali ke alam liar dalam kurun tiga tahun terakhir belum cukup berhasil, akibat masih banyaknya upaya pencurian dan penangkapan setelah Jalak Bali dilepas di habitat aslinya.
“Selama ini memang Jalak Bali itu dari alam, dulu banyak di alam lalu berkurang ya karena perburuan, yang kedua tentunya karena memang Jalak Bali sifatnya ini juga dia tidak bisa hidup tahan lama di alam, karena dia juga tidak bisa terbang tinggi, dia rawan terhadap pencurian kalau di lapangan selama ini. Jadi selama ini hasil pelepasliaran pun kita di lapangan dari tahun ke tahun itu selalu menurun, didukung memang juga memang kondisi iklim yang saat itu belum mendukung,” kata Tedi Sutedi, Kepala Balai Taman Nasional Bali Barat.
Pertemuan para pakar serta pemerhati Jalak Bali pada Bali Mynah International Workshop, di Gianyar, Bali (1-4 Oktober), menghasilkan beberapa rekomendasi mengenai upaya penyelamatan dan konservasi burung Jalak Bali, yang masuk dalam kategori kritis dan hampir punah.
Ketua Asosiasi Penangkar Curik Bali (APCB), Tony Sumampauw mengatakan, Bali Mynah Protection Unit menjadi salah satu rekomendasi upaya penyelamatan Jalak Bali dari kepunahan, selain langkah teknis pelestarian Jalak Bali beserta habitat aslinya.
“Akan dibuat protokol, akan dibuat panduan, kalau menangkar harus memperhatikan variasi genetik, juga persiapan pelepasan tidak sembarangan burung saja dilepas, dengan protokol pelepasan, panduan pelepasan yang kayak apa. Yang didalam habitat, di dalam habitat berarti di alam, ada beberapa rekomendasi yang bagus sekali. Nah dengan demikian nanti akan dibentuk Bali Mynah Protection Unit, siapa yang mendanai? Mereka bilang mereka siap kalau proposal itu disetujui pak Dirjen, mereka mau mendanai,” kata Tony Sumampauw, Ketua Asosiasi Penangkar Curik Bali.
Peneliti bidang Genetik Molekuler, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochamad Syamsul Arifin Zein mengatakan, studi habitat serta genetik harus dilakukan, untuk memastikan pelepasliaran burung Jalak Bali ke alam liar berhasil dengan baik.
“Kewajiban kita adalah melakukan studi habitat yang benar, jadi di habitat itu betul-betul pakan alamnya ada, kalau gak ada dia menanam tanaman-tanaman yang memang dulu itu ada, dan itu untuk pakannya. Maka dari itu sebelum ada proses pelepasan dia juga diadaptasikan dengan pakan liar,” kata Mochamad Syamsul Arifin Zein, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Penyelamatan Jalak Bali juga perlu melibatkan masyarakat, khususnya yang telah berhasil melakukan pengembangbiakan. Namun minimnya pengetahuan masyarakat mengenai penangkaran yang baik perlu mendapat pendampingan dan pelatihan dari praktisi dan pakar di bidang Jalak Bali.
Menurut Simon Bruslund, kurator satwa dari Zoo Heidelberg, Jerman, perawatan Jalak Bali oleh masyarakat yang menjadi penangkar perlu memperhatikan kondisi kandang, makanan yang sehat, serta cukup memperoleh udara dan sinar matahari, agar Jalak Bali yang akan dilepaskan ke alam liar tersebut siap untuk dikembalikan ke habitat aslinya.
“Jangan sampai tidak pernah kena hujan dan sinar matahari sama sekali, harus kadang-kadang dibuka dan ditutup, sedikit aja dibuka. Tangkringannya harus sering diganti, jangan dibuat paten, harus bisa diganti-ganti. Tempat makanan yang di kandang seringkali selalu ada kotoran (dari Jalak Bali), jadi gak sehat, mungkin kena cacing terus. Jadi tempat makan jangan dekat dengan tangkringan,” jelas Simon Bruslund, Kurator Satwa dari Zoo Heidelberg, Jerman. [pr/eis]