Isu poligami kembali menjadi sorotan minggu ini setelah Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menyatakan partainya melarang pengurus dan calon anggota legislatif mereka melakukan praktik poligami.
Dalam pidato itu, Grace bahkan berjanji akan mengupayakan larangan poligami bagi pejabat publik di lembaga legilatif, ekskutif, dan yudikatif hingga aparatur sipil negara.
Menanggapi isu poligami yang oleh sebagian warga dinilai sebagai isu sensitif ini, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Kiai Imam Nahei mengatakan berdasarkan hasil pengaduan ke lembaganya, jelas praktik poligami merupakan tindakan kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan akibat perkawinan tidak tercatat atau dikenal sebagai nikah siri, merupakan jumlah pengaduan terbanyak, disusul aksi kekerasan karena poligami dan kekerasan berbasis siber.
“Nikah yang tidak tercatat dan poligami ini dua hal yang saling tumpang tindih karena pada umumnya, praktik poligami itu pasti tidak dicatatkan. Karena, jarang sekali ada perkawinan poligami yang dicatatkan. Nyaris tidak ada karena membutuhkan syarat-syarat yang sangat ketat,” papar Kiai Imam.
Menurut Kiai Imam, dalam konteks praktik poligami ada tiga kategori negara, yakni negara yang melarang poligami, negara yang membatasi dengan ketat praktik poligami, dan negara yang mendiamkan dan bahkan mengiyakan praktik poligami.
Negara yang melarang praktik poligami biasanya negara-negara Eropa dengan tingkat pemahaman hak asasi manusia sangat kuat. Yang menarik ada dua negara berpenduduk mayoritas Muslim yang dengan tegas juga melarang praktik poligami, yaitu Tunisia dan Turki.
Sejak setengah abad lalu, lanjut Kiai Imam, Turki dan Tunisia sudah memiliki undang-undang yang melarang praktik poligami. Bagi yang melakoni diancam hukuman penjara. Dia menekankan praktik poligami mutlak haram dilakukan oleh siapapun dan atas alasan apapun.
Kemudian ada negara yang membatasi poligami dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Kiai Imam mencontohkan di Indonesia dimana syarat utamanya adalah harus ada izin istri pertama dan itu sangat sulit sekali untuk memperoleh izin dari istri untuk menikah lagi.
Tipe ketiga adalah negara-negara yang mendiamkan atau bahkan mengiyakan praktik poligami, seperti Arab Saudi, Qatar, Oman, dan Kuwait.
Praktik Poligami Bisa Dipidana
Menurut Kiai Imam, sejatinya di Indonesia sudah ada tiga undang-undang yang mengatur praktik poligami. Artinya, poligami sebenarnya bisa dipidana.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 279 mengatur soal perkawinan tidak tercatat – dan poligami umumnya tidak tercatat – tetapi penerapan pasal itu masih tidak efektif karena berbenturan dengan doktrin-doktrin agama.
Ada pula Pasal 45 dan 49 Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menyebutkan praktik kawin kedua dan seterusnya tanpa ada izin istri pertama adalah tindak kekerasan terhadap perempuan dan itu bisa dipidanakan. Pasal ini, kata Kiai Imam, bukan delik aduan, tapi delik umum.
Kemudian ada Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang juga menerapkan syarat-syarat sangat ketat untuk praktik poligami, termasuk harus mendapat izin dari istri.
Kiai Imam meyakini poligami bukan ajaran Islam karena praktik tersebut sudah berlangsung jauh sebelum Islam datang dibawa oleh Nabi Muhammad dan bahkan praktik poligami itu tanpa batas. Karena itu keberadaan ayat tentang poligami dalam Al-Quran adalah dalam konteks mengatur dan bukan menyuruh untuk berpoligami.
Kiai Imam : Poligami Bukan Ajaran Islam
Dulu poligami diatur sedemikian rupa oleh Islam dengan pembatasan jumlah istri dan syarat-syarat sangat ketat, yang sebenarnya tidak memungkinkan bagi kaum adam untuk berpoligami. Bahkan menurut sebagian ulama, kata Kiai Imam, salah satu syarat yang tidak mungkin untuk dipenuhi buat berpoligami adalah berbuat adil. Pada ayat yang lain Allah berfirman tidak mungkin untuk berbuat adil kepada istri-istri meski sang suami bersemangat untuk melakukan itu.
Kiai Imam menegaskan poligami sesungguhnya bukan ajaran Islam. Islam datang bukan untuk menyuruh atau menganjurkan poligami, tapi memberikan aturan dengan pembatasan dan pemberian syarat yang sangat sulit.
LBH APIK : Larangan Poligami Harus Jadi Kebijakan
Aktivis LBH APIK Ratna Batara Munti bercerita tentang Raden Ajeng Kartini, yang pertama kali mengkampanyekan bahwa praktik poligami merupakan kejahatan terhadap kaum hawa. Dia menilai larangan berpoligami seharusnya menjadi kebijakan tegas di Indonesia.
Ratna mengakui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus diamandemen supaya sinkron dengan berbagai aturan terbaru, antara lain Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
UU Perkawinan memang berasaskan monogami, tetapi dinilai masih memberi peluang untuk adanya pelanggaran terhadap asas monogami tersebut.
“Ketika poligami syaratnya katanya adil, faktanya yang paling banyak adalah meninggalkan kewajibannya. Pergi dan tinggal sama istri yang muda, menelantarkan keluarganya yang pertama. Poligami selain diskriminasi, dampaknya memang banyak sekali kekerasan dalam rumah tangga,” ujar Ratna.
Ratna menyebutkan tahun lalu terdapat 1.697 kasus kekerasan dalam rumah tangga karena faktor poligami. Dan saat ini semakin banyak praktik poligami yang tidak melalui jalur pengadilan, dimana suami memaksakan kehendak tanpa persetujuan istri untuk menikah lagi.
Praktik poligami lanjutnya sekarang kian mengerikan dan hanya atas dasar syahwat semata, yakni dimulai dengan perzinahan atau perselingkuhan.
PSI : Praktik Poligami Berujung pada Penyengsaraan
Sebagai partai yang mencuatkan kembali isu poligami, Dara Adinda Nasution, calon anggota legislatif dari PSI, mengatakan partainya mengutamakan isu-isu perempuan dan menilai sudah saatnya perempuan memasuki dunia politik yang selama ini didominasi laki-laki.
PSI – yang 45 persen anggota legislatifnya adalah perempuan – ingin agar usia perkawinan untuk anak perempuan dinaikkan dari 16 tahun menjadi minimal 18 tahun. PSI juga terus mendorong agar disahkannya undang-undang penghapusan kekerasan seksual. PSI sangat mendorong keterlibatan perempuan di bidang ekonomi.
“Penelitian-penelitian empiris memang menunjukkan praktik-praktik poligami di Indonesia berujung pada penyengsaraan,” kata Dara.
“Penyengsaraannya ini tidak cuma di istri pertama, tapi juga istri kedua dan anak-anaknya. Jadi, kami melihat sangat jelas praktik poligami pada umumnya memang mendatangkan lebih banyak mudaratnya daripada masalahatnya," tutur Dara.
Dara mengatakan untuk menjadi bangsa yang kuat, keadilan harus dimulai dari unit terkecil yaitu keluarga. Jika praktik diskriminasi masih muncul di dalam keluarga, bagaimana di tingkat negara bisa stabil?. [fw/em]