Pernikahan siri, atau proses pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi ke negara, telah menjadikan perempuan sebagai korban. Ironisnya, korban datang dari kedua belah pihak, yaitu istri sah dan istri siri sekaligus. Oleh karena itu kalangan aktivis hak-hak perempuan menyatakan perlu gerakan bersama untuk menekan praktek pernikahan siri ini.
Sudah tiga tahun ini, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sahabat Perempuan di Magelang, Jawa Tengah, mendampingi mantan istri seorang wakil walikota di satu daerah di provinsi itu. Semua bermula ketika wakil walikota itu diketahui melakukan pernikahan siri pada 2013. Padahal sebagai pejabat publik, ada undang-undang yang melarang dia melakukannya.
Istri sah wakil walikota yang kini sudah selesai menjabat itu kemudian melaporkan perbuatan suaminya ke sejumlah lembaga. Berharap memperoleh keadilan sebagai istri sah, laporan itu menjadi awal dari persoalan hukum yang belum selesai hingga saat ini.
Wariyatun, dari LSM Sahabat Perempuan ketika dihubungi VOA mengaku, pangkal persoalan ini adalah karena mantan wakil walikota itu memiliki kekuatan politik di tingkat lokal. Dia semestinya dipenjara selama 45 hari, sesuai keputusan Mahkamah Agung, tetapi keputusan itu tidak dieksekusi sampai saat ini.
Jawa Tengah adalah salah satu provinsi yang memiliki tingkat pernikahan siri yang cukup tinggi di Indonesia. Penelitian yang dilakukan tahun 2012 di 17 provinsi di Indonesia menempatkan Nusa Tenggara Timur, Banten dan Nusa Tenggara Barat sebagai tiga besar dengan pernikahan siri. NTT mencatat angka 78 persen, Banten 65 persen dan NTB 54 persen pasangan yang menikah secara siri.
Menurut Wariyatun, penyebab pernikahan siri beragam, mulai dari penipuan identitas oleh pihak laki-laki, alasan ekonomi hingga menghindari aturan hukum soal poligami bagi pegawai negeri. Pernikahan siri biasanya dilakukan oleh pemuka agama, dan cukup hanya dengan dua orang saksi. Wariyatun mengaku, pendekatan terhadap persoalan ini harus sangat hati-hati, karena dalam banyak kasus, kedua perempuan baik istri siri maupun istri sah, berada dalam posisi sama-sama sebagai korban.
“Bagi kami sebagai lembaga pembela hak perempuan, jangan sampai penanganannya untuk kasus semacam ini kemudian menghadapkan perempuan yang satu dengan perempuan yang lain. Yang sering terjadi kan seperti itu, sehingga yang berkelahi justru antar perempuan ini. Kemudian yang kedua, proses analisis persoalan akan menentukan prioritas kepada siapa lembaga pembela hak perempuan itu harus berpihak,” kata Wariyatun.
Pendekatan yang dilakukan selama ini oleh Sahabat Perempuan adalah penyadaran tentang risiko pernikahan siri. Bagi perempuan yang mau dinikah secara siri, maka secara hukum dia tidak memiliki hak atas harta gono-gini dan meminta status pernikahan resmi.
Selain itu, perempuan yang dinikah siri juga harus disadarkan bahwa dia berpotensi melakukan kekerasan terhadap perempuan lain, yang menjadi istri sah suami sirinya.
"Satu hal yang tidak boleh dilupakan dari semua proses itu, ketika kita melakukan proses konseling dan penyadaran mengenai posisi kasusnya, adalah rehabilitasi bagi perempuan yang dinikah siri ini. Dia kan harus terus hidup bersama anak hasil pernikahan siri. Tentu kita mencoba menghubungkan mereka dengan, misalnya dengan upaya-upaya penguatan ekonomi. Diharapkan dengan upaya semacam itu, mereka tidak akan menjadi korban pernikahan siri lagi," lanjutnya.
Meski kemudian dia dinikah secara resmi, istri siri cenderung menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada kemudian hari. Data di Departemen Sosial menyebutkan, mayoritas pernikahan siri melahirkan KDRT. Akibat KDRT ini, di Indonesia tercatat 75 persen perceraian diajukan oleh pihak perempuan.
Sementara itu, fenomena yang sama juga terjadi di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Praktek nikah siri masih banyak terjadi di daerah ini, di mana salah satu faktor utamanya adalah kurangnya pemahaman perempuan pada resikonya.
Dalam banyak kasus, laki-laki memang melakukan penipuan dengan menyatakan belum memiliki istri ketika mengajak seorang perempuan menikah siri. Namun, menurut Umi Mujiati dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aisyiah, tidak jarang pihak perempuan tahu bahwa laki-laki tersebut sudah beristri.
Faktor yang membuat perempuan kemudian mau dinikah siri adalah karena adanya selembar surat dari pemuka agama yang menikahkan mereka. Padahal surat semacam itu tidak dapat digunakan jika kelak muncul persoalan hukum, seperti soal harta warisan dan tanggung jawab suami terhadap anak-anak hasil pernikahan siri.
“Sering terjadi pada pasangan yang menikah siri, pihak perempuan kemudian meminta cerai. Tetapi perempuan ini tidak tahu konsekuensi pernikahan siri. Padahal dalam pernikahan semacam ini, kan otomatis bisa pisah dengan sendirinya tanpa proses pengadilan," jelas Umi Mujiati.
"Tetapi ada juga yang tetap memutuskan menjadi istri siri seterusnya. Nah, jika dia menjadi istri siri, hak hukum anak dan dirinya sendiri kan tidak ada. Di sini banyak kasus terjadi karena ketidaktahuan, selain faktor ditipu pihak laki-laki, juga karena setelah menikah siri dia mendapat dari pemuka agama yang menikahkan dia. Dia kira karena ada surat semacam itu, maka pernikahannya menjadi resmi,” lanjutnya.
Umi Mujiati menambahkan, jalan keluar persoalan ini ada pada peran para pemuka agama dan organisasi keagamaan yang memiliki pengaruh kuat di daerah, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Menurutnya harus dilakukan gerakan bersama untuk menekan angka pernikahan siri yang jelas sangat merugikan perempuan.
Majelis Ulama Indonesia sendiri sudah melarang praktek nikah siri yang merugikan perempuan. Umi juga mengharapkan peran serta pemerintah daerah, karena banyak pelaku pernikahan siri berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Tanpa sanksi yang tegas, kecenderungan melakukan pernikahan siri akan selalu muncul. [ns/lt]