Dari Miss Indonesia ke Sersan AD Amerika ke Pengusaha Jasa Keperawatan
Kristania Virginia Besouw – akrab dipanggil Kristy – dianugerahi gelar Miss Indonesia pada tahun 2006, dan pada tahun yang sama ia mengikuti kontes Miss World di Polandia. Namun, perjalanannya tidak berakhir di dunia hiburan atau modeling. Sebaliknya, ia memilih jalur yang berbeda: meninggalkan Indonesia dan membangun hidup baru di Amerika Serikat, bahkan sempat menjadi tentara dengan pangkat Sersan.
Setelah masa tugasnya sebagai Miss Indonesia selesai pada tahun 2007, Kristy memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat. Ia datang dengan visa turis dan akhirnya beralih ke visa pelajar untuk belajar ilmu keperawatan di California. Namun, biaya kuliah yang tinggi membuatnya harus pindah ke Kansas, di mana ia melanjutkan studinya dengan biaya yang lebih terjangkau.
“Nggak sampai satu tahun saya ganti jadi student visa (visa pelajar) terus sekolah nursing (keperawatan). Jadi, start nursing dari California terus karena pakai international student is so expensive (mahasiswa internasional biayanya mahal), jadi saya pindah ke Kansas. Empat-lima tahun di Kansas,” paparnya.
Kristy mengatakan banyak teman dan kenalannya menganggap kepindahannya sebagai keputusan yang mengejutkan karena adanya anggapan umum bahwa dengan gelar Miss Indonesia, ada kemungkinan ia bisa memiliki karier gemilang di dunia entertainment, seperti menjadi presenter berita atau bintang sinetron. Namun, ia merasa dunia tersebut bukan untuknya. “Saya suka tantangan,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa ia ingin terus belajar dan mencoba hal-hal baru, yang akhirnya membawanya ke Amerika.
Perjalanannya di negeri orang tidaklah mudah. Dari kehidupan yang serba nyaman di Indonesia, Kristy harus memulai banyak hal baru di AS, termasuk harus belajar memasak dan mencuci pakaian. Namun, pengalaman tersebut membentuknya menjadi pribadi yang lebih mandiri dan tangguh.
“Waktu baru datang dari Indonesia, everything was new (semuanya baru), saya gak bisa masak, Di sana kan ada yang nolong semua, ada yang bersihin. Jadi, harus belajar semuanya, dari bahasa, semuanya belajar dari nol,” ujarnya.
Semua itu, papar Kristy, membuahkan hasil positif, menjadikannya pribadi yang lebih mandiri. “Tapi itu sangat bagus, bagi saya, saya belajar, sekarang saya tahu segalanya, bisa masak masakan Manado, Indonesia. Saya bisa melakukan semua. Saya bisa bersih-bersih, saya bisa bebas, saya bisa bekerja, semua, yang di Indonesia mungkin gak akan terjadi. Kalau di Indonesia punya anak ada dua babysitter, ada bibi yang bersihin rumah juga, ada tukang kebun…Jadi awalnya banyak kesulitan, mungkin sedih, nangis mungkin, tapi kemudian lama-lama ternyata memang hidup ya seperti itu. Saya menjadi kayak pribadi yang lain, ya karena mandiri,” jelasnya.
Salah satu keputusan paling mengejutkan teman-temannya dalam hidupnya, kata Kristy, adalah bergabung dengan militer Amerika Serikat. Ia mengikuti program MAFNI (Military Accessions Vital to the National Interest atau “Aksesi Militer yang Vital bagi Kepentingan Nasional”), yang memungkinkan pemegang green card atau visa pelajar tertentu untuk bergabung dengan militer. “Saya masuk angkatan darat sebagai E-3 (Prajurit Kelas Satu/Private First Class/PFC – red), berkat pengetahuan saya dari LVN School (sekolah kejuruan keperawatan berlisensi). Paling rendah kan dari E1, E2,” kenangnya.
Kristy mengakui bahwa pelatihan militer bukanlah hal yang mudah. Dalam usia 28 tahun, ia harus bersaing dengan rekrutan lain yang rata-rata berusia 18 tahun. Salah satu tantangan terbesar adalah ruck march, yakni latihan militer yang melibatkan berjalan pada jarak tertentu sambil membawa ransel yang berat. Ia mengisahkan bagaimana dia harus berjalan sejauh 12 mil (sekitar 19 km) dengan perlengkapan penuh. “Jadi kita itu ruck march bangun jam 3-4 pagi, pakai full gear dari helmet, backpack, 50 pon, pakai senjata. Terus kita ruck march 12 mil, tapi yang pimpin ruck march kita itu kesasar, muter-muter gitu,” katanya.
Meski demikian, Kristy berhasil memenuhi semua persyaratan bagi prajurit angkatan darat AS. Ia juga mampu menunjukkan keahliannya yang tak terduga: menembak. “Saya mendapat predikat expert shooter,” katanya. Setelah pelatihan selesai, ia ditempatkan di Fort Hood, pangkalan militer terbesar di Amerika Serikat, dan bertugas selama empat tahun sebagai personel medis. Berawal dengan pangkat E-3 (PFC) dan kemudian naik ke E-4 (Specialist/SPC atau Kopral), Kristy kemudian memutuskan keluar dari Angkatan Darat AS dengan pangkat E-5 (Sersan).
Setelah keluar dari dinas aktif, Kristy kembali ke dunia keperawatan. Kini, ia menjalani babak baru dalam hidupnya sebagai pengusaha. Bersama suaminya, ia membuka bisnis assisted living, tempat tinggal bagi lansia yang membutuhkan perawatan khusus. “Baby boomers semakin bertambah, dan kebutuhan akan assisted living juga meningkat. Ini pasar yang bagus, dan saya punya latar belakang di bidang kesehatan,” jelasnya. Ia bahkan memanfaatkan ilmu bisnis yang pernah ia pelajari di Universitas Sam Ratulangi Manado sebelum meninggalkan Indonesia.
Meskipun ia telah berpindah kewarganegaraan dan menetap di Amerika, Kristy mengaku tetap cinta Indonesia dan merindukan banyak hal dari Nusantara, termasuk makanannya. “Ikan roa enak sekali tuh menurut saya. Waktu itu, dua-tiga bulan lalu saya ngidam cakalang, jadi minta dikirim dari Indonesia, dari Manado,” pungkasnya.
Dari Wartawan ke Kasir Restoran Cepat Saji ke Letkol Angkatan Darat AS
Rosita Aruan Orchid Baptiste adalah anggota Angkatan Darat AS dengan pangkat Letnan Kolonel. Kepada VOA, perempuan Batak ini berkisah tentang perjalanannya yang menantang segala rintangan karena komitmen yang teguh pada pelayanan dan hasrat yang kuat pada jurnalisme.
Lahir dan dibesarkan di Sumatra Utara, akar Rosita di tanah Batak memberinya rasa bangga yang unik terhadap warisannya. Setelah lulus dari Fakultas Hukum di Universitas Sumatera Utara, Rosita awalnya mendapatkan pekerjaan sebagai jurnalis untuk majalah Warta Ekonomi di Jakarta mulai tahun 1997.
Pada tahun 2000, kehidupan Rosita berubah drastis ketika ia pindah ke Amerika Serikat setelah menikah dengan suaminya. Ambisinya untuk melanjutkan kariernya sebagai jurnalis di AS menemui tantangan, karena para calon pemberi kerja mempertanyakan kurangnya pengalaman kerjanya di Amerika.
“Cinta yang membawa saya mau coba cari kerja di sini, mau jadi wartawan juga. Karena itu pekerjaan yang paling saya suka. Dan mereka selalu tanya, Oh, sudah pernah jadi wartawan di Amerika? Ya belum lah. Jadi setiap kali melamar pekerjaan itu, mereka selalu tanya, sudah punya pengalaman kerja di Amerika? Ya belum,” akunya.
Rosita mengatakan bahwa ia kemudian mencari pekerjaan di tempat yang lebih sederhana. Ia mulai bekerja sebagai kasir di restoran cepat saji Burger King dengan upah $6,25 per jam. Pekerjaan itu tidak hanya mencakup layanan pada pelanggan, tetapi juga membersihkan toilet, sebuah pengalaman yang awalnya membuatnya menangis. Namun, ia bertahan karena ia menyadari bahwa itu hanyalah awal dari perjalanannya. “Saya jadi kasir tapi di Burger King itu kalau lagi nggak ada pelanggan, kita tuh harus bersih-bersih meja, harus bersih-bersih WC, bersih-bersih kursi. Pertama kali saya kerja harus bersihin restroom, saya nangis. Saya bilang sama ibu saya, saya telepon mama di Jakarta. Gak kebayang saya ke Amerika harus bersihin WC. Tapi ya itulah hidup,” ungkapnya.
Rosita mengaku bahwa kegigihannya menarik perhatian suaminya, seorang mantan perwira Angkatan Darat AS. Sang suami menyarankan agar ia mempertimbangkan untuk bergabung dengan militer, di mana kurangnya pengalaman tidak akan menjadi penghalang. Ia menegaskan bahwa militer AS menilai calon rekrutan berdasarkan kemampuan mereka, bukan riwayat pekerjaan sebelumnya. Dengan tekad bulat, Rosita mendatangi kantor perekrutan. Meskipun hasil tes pertamanya tidak mencapai nilai yang disyaratkan, ia tidak berkecil hati. Ia belajar selama sebulan, mengulang tes dan lulus dengan nilai yang memuaskan.
“Saya masuk ke Recruiter Office. Mereka tertarik saya mau gabung angkatan. Mereka tuh nggak lihat tinggi badan, nggak lihat jenis kelamin. Jadi pas ujian, nilainya cuma 29, padahal untuk lulus minimal 31. Saya gagal ujian pertama, tapi apakah itu mematahkan semangat saya? Enggak! Saya tanya, ‘berapa lama lagi saya baru boleh ambil ujian berikutnya?’ Mereka bilang harus tunggu 30 hari. Jadi selama 30 hari itu saya belajar lagi, lulus ujian, terus dikirim ke Fort Jackson di South Carolina,” ujar Rosita.
Tantangan Rosita berikutnya adalah menyesuaikan diri dengan kehidupan militer. Meskipun tubuhnya mungil—dengan tinggi hanya 149 cm—ia unggul dalam latihan fisik, lari, dan rintangan, sama seperti rekan-rekan prianya. Ia tidak mendapatkan akomodasi atau pengecualian khusus, dan itu justru memperkuat tekadnya. Ia ditugaskan untuk berlatih di Fort Jackson, South Carolina, dan kemudian dikirim ke Jerman serta ditempatkan di Irak dan Kuwait. Meskipun berkewarganegaraan asing, tekad dan latar belakang akademis Rosita memungkinkannya untuk melewati pangkat pemula yang umum dan ditugaskan sebagai spesialis.
Penempatannya di Irak pada tahun 2005, sebagai Letnan Satu, merupakan pengalaman yang akan membekas dalam dirinya seumur hidup. Rosita bercerita tentang momen yang sangat mengerikan ketika ia berada di ruang kelas sewaktu sekolah perbekalan, dan ada peluru nyasar dari tembakan musuh yang menembus langit-langit, dan mendarat hanya beberapa sentimeter darinya. “Dan ini hanya Tuhan yang tahu ya, ini pengalaman mengerikan yang saya alami. Pas lagi duduk di kelas, saya plug in laptop (mencolokkan kabel laptop ke stopkontak listrik) ...jadi saya nunduk sedikit gitu. Cuma satu detik itu saya plug in, peluru berdesing. Jadi dari langit-langit itu bolong tembus mental di meja saya. Kalau tadinya saya nggak nunduk, ini yang kena,” katanya seraya menunjuk pada kepalanya.
Rosita mengaku harus menyeimbangkan tuntutan kariernya dengan keinginan untuk memulai sebuah keluarga. Pada usianya yang ke-41, Rosita mendapat bantuan dari Angkatan Darat untuk pengobatan fertilitas, dan ia akhirnya menjadi seorang ibu bagi seorang putra pada tahun 2009. Kelahiran anaknya, yang ia beri nama Caleb, merupakan berkat terbesar dalam hidupnya, dan Rosita memutuskan untuk beralih dari tugas aktif ke cadangan agar dapat mengasuh putranya.
Rosita bangga dengan pengabdiannya tetapi juga sangat menyadari pengorbanan yang diperlukan untuk itu. Meninggalkan tugas aktif karena alasan keluarga bukanlah keputusan yang mudah, tetapi itu adalah keputusan yang harus diambilnya. Angkatan Darat, katanya, akan terus berfungsi tanpa dirinya, tetapi putranya membutuhkannya.
Ia sekarang menikmati manfaat dari pengabdiannya, termasuk perawatan kesehatan dan dukungan pendidikan melalui program militer AS seperti GI Bill dan Hazlewood Act, yaitu tunjangan dari negara bagian Texas untuk veteran bersama pasangan dan anak-anak tanggungan untuk biaya pendidikan hingga 150 jam kredit di perguruan tinggi.
“The beauty of Texas (indahnya Texas), cuma Texas yang punya namanya Hazlewood Act. Kalau pernah berangkat perang dari Texas, maka berhak untuk mendapatkan namanya Hazlewood Act. Itu biaya pendidikan dari negara bagian Texas. Jadi bisa saya sendiri pakai atau anak saya atau suami saya. Kuliah gak perlu bayar buat 5 tahun,” paparnya.
Kini, dengan putranya di sekolah menengah atas, Rosita terus bertugas sebagai tentara cadangan, masih membawa kebanggaan akan warisan Indonesia dan Amerika. Ia tetap sangat bersyukur atas kesempatan yang dimilikinya dan menantikan babak selanjutnya dalam hidupnya, yang mungkin termasuk bergabung dengan misi seperti operasi Garuda Shield pada kemudian hari.
Rosita menegaskan kecintaannya yang mendalam pada negara asalnya, Indonesia, dan negara tempat ia mengabdi, Amerika Serikat. Ia menyatakan bahwa menjadi bagian dari militer AS tidak mengurangi cintanya pada Indonesia. Sebaliknya, ia menggunakan jabatannya untuk mempromosikan budaya Indonesia di dalam militer, termasuk mengenakan batik tradisional pada kesempatan-kesempatan yang sesuai, dan berbagi masakan Indonesia dengan sesama prajurit lainnya.
Dari Pengacara ke Dinas Militer dan Kembali ke Pengacara
Perjalanan Letnan Kolonel Rosita Aruan Orchid Baptiste dan Sersan Kristania Virginia Besouw juga dialami oleh seorang pria Indonesia yang juga sempat berdinas di Angkatan Darat AS, Letnan Kolonel Bill Kadarusman. Kisah mereka menunjukkan sifat-sifat yang sama, yakni keberanian untuk bertindak, ketangguhan untuk bertahan, keteguhan untuk mencapai tujuan, dan kemampuan beradaptasi.
Ketiganya harus mengikuti latihan dan simulasi militer yang merupakan gabungan dari latihan fisik, latihan taktis, dan disiplin. Tujuannya adalah untuk menghasilkan prajurit yang kuat dan bugar secara fisik, tangguh secara mental, dan berdisiplin tinggi.
Bill datang ke Hawaii sebagai mahasiswa untuk belajar akuntansi. Namun, setelah lulus dan sempat bekerja di bidang itu ia ingin menjalani karier yang lebih banyak bersentuhan dengan kemanusiaan. “Ternyata setelah saya lulus, saya sebenarnya gak suka dengan accounting. Sekarang hitung duitnya orang, kerjanya monoton, juga kerja sendiri. Saya kurang tertarik kalau kerja sendiri, tidak ada interaksi dengan orang lain.”
Maka, pria asal Malang ini beralih haluan dan kuliah di fakultas hukum di Utah. Meskipun ia telah memulai karier di bidang hukum, panggilan untuk bergabung dengan Angkatan Darat AS muncul begitu saja, dan ia tidak dapat menolaknya. Pada tahun 2005, meskipun belum menjadi warga negara AS, dia mendaftar dan mulai dari pangkat terendah, seperti rekrutan lainnya.
Bill tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan membawanya ke garis depan Perang Irak. Mimpi masa kecil masih melekat di benak Bill—ia selalu ingin menjadi anggota militer. Teman-temannya sempat memperingatkannya agar tidak meneruskan niatnya mendaftar, terutama pada masa perang. “Teman-teman saya bilang ‘jangan, kamu mau mati,’ tapi waktu itu saya memang punya tekad yang sangat besar. Jadi saya bilang, gak apa-apa, saya mau coba,” kata Bill.
Meskipun sempat menghadapi tantangan yang tidak terbayangkan dan mengalami kengerian yang tidak terlupakan di medan perang, Bill mengatakan bahwa ia menemukan kepuasan dalam tugasnya. Dia belajar disiplin, ketahanan, dan kemampuan untuk beradaptasi di bawah tekanan.
Lambat laun, karier Bill di militer terus menanjak sampai ia mencapai pangkat Letnan Kolonel. Selain tetap menjadi perwira di Garda Nasional, Bill juga menekuni profesi yang pernah diawalinya tetapi kemudian ditinggalkannya sewaktu memasuki dinas militer. Kini, ia berdinas paruh waktu di AD Garda Nasional, yang memungkinkannya untuk mengabdi pada negara sambil mengejar karier sipil. Ia menekuni kariernya sebagai pengacara dengan bekal pelajaran perang ke dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagai pengacara, Bill banyak membantu imigran dari berbagai penjuru dunia.
Meskipun telah menjadi warga negara Amerika, seperti Kristy maupun Rosita, Bill menegaskan bahwa cintanya pada Indonesia tidak pernah goyah. “Iya, saya orang Indonesia. Kalau saya ditanya orang apa, saya selalu bilang saya orang Indonesia. Rasa bangga saya dengan Indonesia tidak pernah hilang, tidak luntur. Saya tetap mengakui kalau saya dari Indonesia. Bagi saya tidak menjadi persoalan di manapun kita berada, nasionalisme kita itu bisa kita tunjukkan di mana saja, kapan saja,” pungkasnya. [lt/ab]
Forum