Terperangkap dalam kepadatan lalu lintas hari Senin pagi di jalanan utama ibukota Filipina, sopir taksi Ranilo Banez menggeleng-gelengkan kepalanya karena frustrasi.
Kemacetan semakin parah seiring pertumbuhan ekonomi, ujarnya, dan perjalanan 10 kilometer yang suatu kali dapat ditempuh dalam 30 menit dapat memanjang menjadi dua jam.
"Kita kehilangan banyak sekali. Kita membuang banyak bensin dan waktu," ujar Banez, 64.
Filipina tidak sendiri. Melimpahnya dukungan untuk bank yang dipimpin China untuk mendanai infrastruktur menyoroti kesenjangan dalam kisah sukses Asia. Dari India yang haus listrik sampai jalur kereta api Thailand yang kelebihan beban, negara-negara berkembang menghadapi kekurangan fasilitas dasar yang sangat parah sampai hal itu mengancam dapat menghambat pertumbuhan dan standar hidup.
Manila dan kota-kota lain giat membangun perkantoran dan gedung apartemen. Namun anggaran untuk jalan, jalur kereta api dan infrastruktur lain yang tidak glamor namun sangat esensial tumbang setelah krisis moneter 1997 dan belum pulih sampai sekarang.
Jika anggaran kurang bisa mengejar, "hal ini dapat berdampak pada pertumbuhan di masa depan," ujar ujar Ramesh Subramaniam, deputi direktur jenderal Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk Asia Tenggara. "Jelas ini dapat mengurangi daya saing negara-negara tersebut di wilayah ini."
Kesenjangan itu telah memberi Beijing peluang untuk mencapai ambisinya menjadi pemimpin regional dan mendorong persaingan diplomatik.
Selain rencana bank infrastruktur, dengan 57 negara menyatakan ingin bergabung, pemerintahan Presiden Xi Jinping telah meluncurkan inisiatif-inisiatif untuk meningkatkan jalan, kereta api dan jalur laut.
ADB memperkirakan negara-negara berkembang di Asia harus berinvestasi US$8 triliun sampai 2020 atau sekitar 80 kali lipat dari rencana modal bank Beijing sebesar $100 miliar.
India bersiap menyalip China tahun ini sebagai ekonomi besar dengan pertumbuhan tercepat. Untuk mempertahankannya, pemerintahnya mengatakan, negara berpenduduk 1,2 miliar orang itu perlu anggaran $1 triliun untuk infrastruktur dalam lima tahun sampai 2017.
Perdana Menteri Narendra Modi menyerukan bulan Mei agar India mempercepat pembangunan "semua proyek yang akan memastikan tulang punggung infrastruktur modern."
Di Vietnam, partai Komunis yang berkuasa bulan Juni lalu menyetujui proposal pembangunan bandara kedua seniali $15,8 miliar untuk ibukota bisnisnya, Ho Chi Minh City.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik yang naik 10 persen per tahun, media pemerintah mengatakan Vietnam perlu anggaran $50 miliar dalam dekade sampai 2020 dan $75 miliar lagi dalam dekade berikutnya.
Thailand memiliki rencana pembangunan $92 miliar untuk 2015-2022 yang mencakup jalur kereta kecepatan tinggi yang akan memanjang dari China di utara sampai Malaysia dan Singapura. Negara ini juga ingin mengembangkan pelabuhan laut dan kereta komuter di Bangkok.
Di Filipina, Presiden Benigno Aquino III bulan Mei menyetujui anggaran $1,4 miliar untuk jalur kereta komuter di Manila dan proyek-proyek lainnya. Nilai itu menjadikan total investasi infrastruktur sebasar $31,8 miliar sejak Aquino menjabat tahun 2010.
Sebelum krisis 1997, anggaran pekerjaan umum di banyak negara berkembang di Asia mencapai enam sampai delapan persen dari hasil ekonomi tahunan.
Setelah krisis, nilai itu jatuh sampai dua persen, dan di Filipina di bawah satu persen tahun 2010. Saat ini, nilai itu di bawah tiga persen di Indonesia, Pakistan dan negara-negara lainnya, atau kurang dari setengah dari persentase yang menurut ADB diperlukan untuk mendukung pertumbuhan pada tingkat saat ini.
Di Jakarta, kurir Yusuf Abdillah mengeluah kehilangan waktu dua jam akibat macet yang dapat memanjang sampai delapan kilometer.
"Saya sudah muak. Pemerintah tidak bertanggung jawab," ujar Yusuf, 28.
Banyak pemerintah ingin menarik uang dari dana pensiun, perusahaan asuransi dan investor swasta lainnya.
Filipina berharap dapat mendorong investasi swasta untuk membantu mendongkrak anggaran infrastruktur dari 3,4 persen dari PDB tahun ini, menjadi lima persen tahun depan.