Isu Iklim
Kebakaran, Banjir, dan Kekeringan Yang Semakin Parah Melanda Australia
Perairan samudera Australia berubah menjadi lebih asam, kebakaran hutan terjadi lebih lama, dan kekeringan menjadi lebih parah, demikian menurut sebuah laporan iklim baru yang dirilis Kamis (31/10) oleh para peneliti pemerintah.
Laporan State of the Climate, yang disusun selama dua tahun oleh Biro Cuaca dan Badan Ilmu Pengetahuan Nasional Australia, memberikan gambaran yang suram tentang kehidupan di negara yang terbakar sinar matahari ini, kecuali jika upaya pengurangan emisi global dirombak secara radikal.
“Laju perubahanlah yang menjadi perhatian utama kami di sini,” ujar pakar iklim dari Biro Meteorologi, Karl Braganza. “Ilmu sains sudah sangat jelas, kita harus mencapai net zero secepat mungkin. Jelas sekali bahwa membuat perubahan itu sangat sulit dan tidak terjadi dalam semalam.”
Iklim Australia telah menghangat rata-rata 1,51 derajat Celcius sejak tahun 1910, sementara suhu lautan telah meningkat 1,08 derajat Celcius sejak tahun 1900. Pemanasan ini telah memicu pola cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, baik di daratan maupun di lautan.
Lautan yang lebih panas dan lebih asam dikaitkan dengan peristiwa pemutihan karang di perairan tropis Great Barrier Reef. Objek wisata alam yang terkenal ini mengalami salah satu peristiwa pemutihan terburuk yang pernah tercatat pada awal tahun ini.
Rekor yang Merosot
Saat sebagian Australia mulai mengalami hujan lebat yang lebih intens, wilayah lain mencatat periode kekeringan yang lebih lama dan lebih panas. Para ilmuwan mencatat adanya peningkatan yang nyata dalam “cuaca kebakaran ekstrem” di sebagian besar wilayah Australia sejak tahun 1950-an, sementara musim kebakaran juga terus berlangsung lebih lama.
Banyak warga Australia yang masih mengalami luka-luka akibat kebakaran hutan “Black Summer” pada tahun 2019-2020, yang menghanguskan sebagian besar hutan, membunuh jutaan hewan, dan menyelimuti kota-kota besar dengan asap tebal.
Braganza memperingatkan memprediksi terjadinya peristiwa cuaca ekstrem ini juga menjadi semakin sulit, karena model-model prakiraan cuaca berjuang untuk memperhitungkan rekor-rekor yang terus merosot. “Laju pencatatan rekor dalam sistem iklim di wilayah Australia dan secara global sangat signifikan,” katanya.
Emma Bacon dari kelompok advokasi iklim Sweltering Cities mengatakan bahwa Australia kehabisan waktu untuk bersiap-siap menghadapi dampak iklim yang akan terjadi. “Salah satu masalahnya adalah jadwal kita terlalu panjang, kita memikirkan dampak iklim pada tahun 2030 atau 2050, tetapi kita seharusnya memikirkan musim panas ini dan tahun depan,” katanya kepada kantor berita AFP.
Bacon memperingatkan suhu di kota-kota besar yang terik sebelumnya telah mendekati 50 derajat Celcius, yang bisa menyebabkan masalah kesehatan serius bagi masyarakat. “Ada beberapa pembicaraan serius yang perlu dilakukan tentang di mana dan bagaimana kita hidup, dan masyarakat perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan tersebut,” ujarnya.
Menyedihkan
Laporan tersebut menemukan bahwa meskipun emisi Australia telah menurun sejak tahun 2005, negara ini harus secara signifikan mempercepat upaya untuk memenuhi target tahun 2030.
“Ini sangat menyedihkan,” kata Jaci Brown dari lembaga ilmu pengetahuan nasional Australia, CSIRO.
“Kita memiliki teknologi di luar sana dan saya mencoba untuk tetap positif dan optimis bahwa kita bisa melakukannya.”
Australia telah sukses dalam meningkatkan energi terbarukan, dan penduduknya termasuk salah satu pengadopsi panel surya rumah tangga yang paling banyak di dunia.
Namun, Australia tetap menjadi salah satu pengekspor batu bara dan gas terkemuka di dunia, meskipun semakin terpukul oleh dampak perubahan iklim. [th/em]
See all News Updates of the Day
Gedung Putih: Pendanaan Iklim Amerika Tahun Ini Capai $11 Miliar
Pengumuman Gedung Putih mengenai angka $11 miliar tersebut menyatakan bahwa angka tersebut menjadikan “Amerika Serikat sebagai penyedia dana iklim bilateral terbesar di dunia.”
Presiden Joe Biden menggunakan perjalanan bersejarah ke Amazon pada Minggu (17/11) untuk menyoroti peningkatan pendanaan iklim bilateral Amerika Serikat menjadi $11 miliar pada tahun ini, sesuai janjinya.
“Perjuangan melawan perubahan iklim telah menjadi tujuan utama kepemimpinan dan kepresidenan Presiden Biden,” ujar Gedung Putih dalam sebuah pernyataan sebelum Biden mendarat di Kota Manaus, Amazon, Brazil.
Biden melakukan lawatan terakhirnya ke Amerika Selatan sebelum menyerahkan jabatan presiden kepada Donald Trump - seorang yang skeptis terhadap perubahan iklim.
Sebagai presiden Amerika Serikat pertama yang berkunjung ke hutan hujan tropis yang luas, Biden akan bertemu dengan para pemimpin masyarakat adat Brazil dan menandatangani deklarasi yang menjadikan 17 November sebagai Hari Konservasi Internasional.
Pengumuman Gedung Putih mengenai angka $11 miliar tersebut menyatakan bahwa angka tersebut menjadikan “Amerika Serikat sebagai penyedia dana iklim bilateral terbesar di dunia.”
Pengumuman itu juga mengatakan bahwa jumlah tersebut enam kali lipat lebih besar dari yang diberikan Amerika pada awal masa jabatan Biden, yaitu pada 2021.
Namun, Uni Eropa tetap menjadi kontributor global terbesar untuk pendanaan iklim.
Sekitar separuh dari seluruh pendanaan iklim disalurkan melalui dana multilateral yang dikelola bersama oleh negara-negara berkembang. Hal ini memicu kecaman terhadap preferensi Amerika terhadap pendanaan bilateral.
Negara-negara kaya telah mengumpulkan dana sebesar $116 miliar pada tahun 2022 untuk pendanaan iklim, menurut data terbaru yang tersedia dari OECD.
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh lembagakajian Inggris, ODI, Amerika Serikat berada di peringkat kedua dari belakang di antara 23 negara dalam hal kemajuan untuk menyediakan “bagian yang adil” dari pendanaan iklim, berdasarkan jejak karbon, jumlah penduduk, dan pendapatan nasional bruto.
Lawatan Biden ke Amazon dilakukan di sela-sela KTT APEC yang ia hadiri di Peru, dan KTT G20 di Rio de Janeiro yang dihadirinya dan dimulai pada Senin (17/11).
Iklim akan menjadi salah satu topik yang dibahas dalam pertemuan G20, saat perundingan yang berlangsung pada saat yang sama, di KTT Iklim PBB di Azerbaijan tampaknya mengalami kebuntuan. [my/ab]
Peneliti Amerika: Seperlima Kasus Dengeu Disebabkan Perubahan Iklim
Menghubungkan bagaimana pemanasan global mempengaruhi kesehatan – seperti memicu wabah atau menyebarkan penyakit – masih merupakan bidang baru.
Para peneliti Amerika mengatakan, Sabtu (16/11), bahwa perubahan iklim bertanggung jawab atas hampir seperlima dari rekor jumlah kasus demam berdarah atau dengue di seluruh dunia pada tahun ini. Mereka berupaya menjelaskan bagaimana kenaikan suhu membantu menyebarkan penyakit.
Para peneliti telah berupaya untuk menunjukkan bagaimana perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia berkontribusi langsung terhadap peristiwa cuaca ekstrem seperti angin topan, kebakaran, kekeringan, dan banjir yang melanda dunia pada tahun ini.
Namun menghubungkan bagaimana pemanasan global mempengaruhi kesehatan – seperti memicu wabah atau menyebarkan penyakit – masih merupakan bidang baru.
“Demam berdarah adalah penyakit pertama yang baik untuk dijadikan fokus karena sangat sensitif terhadap iklim,” kata Erin Mordecai, ahli ekologi penyakit menular di Universitas Stanford, kepada AFP.
Penyakit virus itu, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, menyebabkan demam dan nyeri tubuh serta, dalam beberapa kasus, dapat mematikan.
Demam dengue biasanya hanya terjadi di daerah tropis dan subtropis, tetapi peningkatan suhu telah menyebabkan nyamuk merambah daerah baru dan membawa serta demam dengue.
Untuk studi baru itu, yang belum ditelaah oleh rekan sejawat, tim peneliti Amerika mengamati bagaimana suhu yang lebih panas dikaitkan dengan infeksi demam berdarah di 21 negara di Asia dan Amerika.
Rata-rata, sekitar 19 persen kasus demam berdarah saat ini di seluruh dunia “disebabkan oleh pemanasan iklim yang telah terjadi,” kata Mordecai, penulis senior untuk studi pra-cetak tersebut.
Mordecai mengatakan suhu antara 20-29 derajat Celcius (68-84 derajat Fahrenheit) ideal untuk penyebaran demam berdarah.
Para peneliti menemukan bahwa daerah dataran tinggi di Peru, Meksiko, Bolivia, dan Brazil yang akan menghangat hingga kisaran suhu ini dapat mengalami peningkatan kasus demam dengue sebanyak 200 persen dalam 25 tahun ke depan.
Analisis tersebut memperkirakan setidaknya 257 juta orang saat ini tinggal di wilayah di mana pemanasan global dapat melipatgandakan angka demam dengue selama periode tersebut.
Bahaya ini hanyalah “alasan lain mengapa Anda harus peduli terhadap perubahan iklim,” kata Mordecai.
Menurut angka Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) lebih dari 12,7 juta kasus demam dengue tercatat di seluruh dunia pada tahun ini pada September, hampir dua kali lipat rekor total pada 2023.
Namun Mordecai mengatakan, banyaknya laporan yang tidak dilaporkan berarti jumlah sebenarnya kemungkinan mendekati 100 juta.
Penelitian ini dipresentasikan pada pertemuan tahunan American Society of Tropical Medicine and Hygiene di Kota New Orleans, negara bagian Louisiana, Amerika Serikat. [ft/ah]
- Associated Press
Shanghai, Tokyo, New York, Houston Penghasil Emisi Gas Rumah Kaca Terbesar di Dunia
Kota-kota di Asia dan Amerika Serikat mengeluarkan gas yang paling memerangkap panas yang memicu perubahan iklim, dan Shanghai sebagai kota paling berpolusi, menurut data baru yang menggabungkan pengamatan dan kecerdasan buatan.
Tujuh negara bagian atau provinsi mengeluarkan lebih dari 1 miliar metrik ton gas rumah kaca, semuanya di China, kecuali Texas, yang berada di peringkat keenam, menurut data baru dari sebuah organisasi yang didirikan bersama oleh mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore dan dirilis pada Jumat (15/11)di perundingan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Baku, Azerbaijan.
Negara-negara di perundingan tersebut mencoba menetapkan target baru untuk memangkas emisi tersebut dan mencari tahu berapa banyak negara kaya akan membayar untuk membantu dunia dengan tugas itu.
Dengan menggunakan satelit dan pengamatan darat, yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan untuk mengisi kekosongan, Climate Trace berupaya mengukur karbon dioksida, metana, dan nitrogen oksida yang memerangkap panas, serta polutan udara tradisional lainnya di seluruh dunia, termasuk untuk pertama kalinya di lebih dari 9.000 wilayah perkotaan.
Total polusi karbon dioksida dan metana di Bumi meningkat 0,7 persen menjadi 61,2 miliar metrik ton dengan metana yang berumur pendek tetapi sangat kuat meningkat 0,2 persen. Angka-angka tersebut lebih tinggi daripada kumpulan data lainnya "karena kami memiliki cakupan yang sangat komprehensif dan kami telah mengamati lebih banyak emisi di lebih banyak sektor daripada yang biasanya tersedia," kata Gavin McCormick, salah satu pendiri Climate Trace.
Banyak kota besar yang mengeluarkan emisi jauh lebih banyak daripada beberapa negara
Gas rumah kaca Shanghai mencapai 256 juta ton mengungguli semua kota dan melampaui negara-negara Kolombia atau Norwegia. 250 juta metrik ton Tokyo akan berada di peringkat 40 negara teratas jika kota itu adalah sebuah negara, sementara 160 juta metrik ton Kota New York dan 150 juta metrik ton Houston akan berada di peringkat 50 teratas emisi di seluruh negeri. Seoul, Korea Selatan, berada di peringkat kelima di antara kota-kota dengan 142 juta metrik ton.
"Salah satu lokasi di Cekungan Permian di Texas sejauh ini merupakan lokasi dengan polusi terburuk No. 1 di seluruh dunia," kata Gore. "Dan mungkin saya seharusnya tidak terkejut dengan hal itu, tetapi saya memikirkan betapa kotornya beberapa lokasi ini di Rusia dan Cina dan sebagainya. Namun Cekungan Permian mengalahkan semuanya."
Dalam hal negara bagian dan provinsi, tujuh di antaranya mengeluarkan lebih dari 1 miliar metrik ton polusi karbon. Shandong, China memimpin dengan 1,28 miliar metrik ton. Kota-kota yang menghasikan polusi miliaran ton lainnya adalah Hebei, Shanxi, Mongolia Dalam, Jiangsu, dan Guangdong, semuanya di China, dan Texas.
Negara mana yang meningkat, dan mana yang menurun
China, India, Iran, Indonesia, dan Rusia mengalami peningkatan emisi terbesar dari 2022 hingga 2023, sementara Venezuela, Jepang, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat mengalami penurunan polusi terbesar.
Kumpulan data yang dikelola oleh para ilmuwan dan analis dari berbagai kelompok, juga mengamati polutan tradisional seperti karbon monoksida, senyawa organik yang mudah menguap, amonia, sulfur dioksida, dan bahan kimia lain yang terkait dengan udara kotor. Pembakaran bahan bakar fosil melepaskan kedua jenis polusi tersebut, kata Gore.
Pembakaran bahan bakar fosil melepaskan kedua jenis polusi tersebut, kata Gore, dan mencatat jutaan orang yang meninggal di seluruh dunia setiap tahun akibat polusi udara.
Ini "mewakili ancaman kesehatan terbesar yang dihadapi umat manusia," kata Gore.
Gore mengkritik penyelenggaraan pembicaraan iklim, yang disebut COP, oleh Azerbaijan, negara minyak dan lokasi sumur minyak pertama di dunia, dan oleh Uni Emirat Arab tahun lalu.
"Sangat disayangkan bahwa industri bahan bakar fosil dan negara-negara penghasil minyak telah mengambil alih kendali proses COP hingga ke tingkat yang tidak sehat," kata Gore.
"Tahun depan di Brazil, kita akan melihat perubahan dalam pola itu. Namun, Anda tahu, tidak baik bagi masyarakat dunia untuk memberikan industri pencemar No. 1 di dunia kendali sebanyak itu atas seluruh proses."
Presiden Brazil Luiz Inácio Lula da Silva telah menyerukan agar lebih banyak yang dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim dan telah berupaya memperlambat penggundulan hutan sejak kembali untuk masa jabatan ketiga sebagai presiden. Namun, Brasil tahun lalu menghasilkan lebih banyak minyak daripada Azerbaijan dan Uni Emirat Arab, menurut Badan Informasi Energi Amerika Serikat. [es/ft]
Atol di Samudera Pasifik Hadapi Risiko Akibat Naiknya Permukaan Laut
Sebuah studi oleh Bank Dunia pada hari Kamis (14/11) mengatakan tindakan mendesak diperlukan untuk mengatasi naiknya permukaan laut di pulau-pulau atol Pasifik di Kiribati, Kepulauan Marshall, dan Tuvalu, yang berdasarkan proyeksi saat ini dapat tenggelam 50% hingga 80% dalam 50 tahun ke depan.
Laporan Iklim dan Pembangunan Negara-negara Atol Pasifik Bank Dunia mengatakan negara-negara dataran rendah dan sekitar 200.000 orang yang tinggal di negara-negara itu menghadapi beberapa ancaman eksistensial paling parah dari perubahan iklim di wilayah mana pun di dunia.
Studi tersebut mengutip proyeksi kenaikan permukaan laut hingga setengah meter pada paruh terakhir abad ini dan menunjukkan 50% hingga 80% wilayah perkotaan utama di negara-negara tersebut dapat terendam air.
Kawasan ini sudah mengalami kerugian tahunan akibat peristiwa iklim seperti badai yang lebih sering terjadi dan lebih kuat yang setara dengan 7% dari total output ekonomi (nilai seluruh hasil penjualan barang dan jasa) di Tuvalu, dan 3% hingga 4% dari output ekonomi di Kepulauan Marshall dan Kiribati diproyeksikan akan meningkat.
Bank Dunia mengatakan bahwa tanpa tindakan global dan lokal yang mendesak, peristiwa iklim yang terjadi satu kali dalam 20 tahun di Tuvalu dapat menyebabkan kerusakan dan kerugian yang setara dengan 50% dari output tahunan saat ini pada tahun 2050.
Studi tersebut memberikan rekomendasi jangka pendek, menengah, dan panjang untuk negara-negara kepulauan tersebut. Saran jangka pendek dan menengah mencakup investasi dalam konstruksi berkelanjutan untuk melindungi sumber daya air tawar, perikanan, dan pasokan energi, di antara infrastruktur penting lainnya.
Saran jangka panjang studi tersebut mencakup investasi dalam pendidikan, kerangka hukum dan peraturan, pembangunan ekonomi, dan ketahanan iklim.
Studi tersebut juga meminta komunitas donor internasional untuk memberikan kontribusi kepada negara-negara atol Pasifik, yang masih menghadapi kesenjangan pendanaan iklim yang signifikan.
Bank Dunia menerbitkan laporan diagnostik iklim dan pembangunan negara-negara (Country Climate and Development Reports/CCDR), yang memadukan pertimbangan perubahan iklim dan pembangunan serta menyarankan tindakan konkret yang dapat diambil negara bersangkutan untuk mengurangi dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Bank Dunia telah menyelesaikan lebih dari 45 CCDR di seluruh dunia hingga Oktober 2024. [lt/ab]
- Associated Press
Protes atas Bahan Bakar Fosil dan Perang Israel-Hamas Warnai KTT Iklim PBB
Protes terjadi di sela-sela perundingan iklim PBB di Baku, Azerbaijan, Kamis (14/11).
Para aktivis menggelar protes terhadap penggunaan bahan bakar fosil dan pasar karbon, sementara protes lainnya menyerukan diakhirinya perang Israel-Hamas.
“Daripada berbicara tentang pasar karbon, kompensasi ini itu, mengapa tidak berbicara tentang bagaimana kita menjaga bahan bakar fosil tetap berada di dalam tanah, bagaimana kita menjaga bahan bakar fosil – minyak, gas, batu bara – tetap berada di dalam tanah?,” ujar seorang demonstran.
Konferensi Tingkat Tinggi yang dikenal sebagai COP29 tahun ini telah mempertemukan para pemimpin dunia untuk membahas berbagai cara untuk membatasi dan beradaptasi dengan krisis iklim.
Setelah hampir satu dekade negosiasi, para pemimpin selama hari pertama konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ini memutuskan beberapa poin penting dari titik kritis yang banyak diperdebatkan yang bertujuan untuk memangkas emisi pemanasan planet dari batu bara, minyak, dan gas.
Dikenal sebagai Pasal 6, pasal ini ditetapkan sebagai bagian dari Perjanjian Paris 2015 untuk membantu negara-negara bekerja sama mengurangi polusi yang menyebabkan perubahan iklim.
Salah satu bagiannya adalah sistem kredit karbon, yang memungkinkan negara-negara melepaskan gas yang menyebabkan pemanasan global ke udara jika mereka mengimbangi emisi di tempat lain.
Namun, pengesahan Pasal 6 pada Senin malam dikecam oleh kelompok keadilan iklim, yang mengatakan bahwa pasar karbon memungkinkan pencemar utama terus mengeluarkan emisi dengan mengorbankan masyarakat dan lingkungan.
Para ilmuwan sepakat bahwa pemanasan atmosfer yang terutama disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil oleh manusia memicu kekeringan, banjir, badai, dan panas yang lebih banyak menimbulkan banyak korban dan semakin parah. [lt/ab]
Forum