Indonesia saat ini merupakan salah satu negara pengkonsumsi rokok tertinggi di dunia. Jumlah perokok anak dan remaja, di usia 10-18 tahun pun sangat memprihatinkan, yaitu mencapai 74 persen. Jumlah ini mencakup perokok konvensional dan elektronik.
Berbicara dalam diskusi publik bertema "Penjualan Rokok dan Kesehatan Publik: Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 untuk Perlindungan Kelompok Rentan di Jakarta", pertengahan pekan lalu, Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia (YJI) Annisa Pohan Yudhoyono mengatakan begitu banyak anak yang kini merokok dikarenakan harga rokok sekarang relatif murah dan dapat dibeli secara eceran.
“Harga rokok yang murah dan dapat dibeli secara ecer yaitu Rp1.500 per batang. Titik penjualan dekat sekolah dan tempat bermain anak, media penjualan yang mudah diakses dan penjualan rokok di mana-mana seperti minimarket, toko kelontong, warung, SPBU sampai pedagang asongan,” ujarnya.
Data Global Youth Tobacco Survey menunjukkan anak usia 13-15 tahun (pelajar SMP) dapat dengan mudah membeli rokok. Sebanyak 76 persen anak membeli di toko, warung, penjual di jalanan dan kios. Selanjutnya 71,3 persen membeli rokok secara batangan (ketengan), dan 60,6 persen tidak dicegah membeli atas dasar usianya.
Urgensi Penerapan PP No.28/Tahun 2024
Kenikmatan konsumsi rokok di kalangan anak dan remaja ini butuh perhatian khusus, mengingat dampak buruk terhadap kesehatan jangka panjang. Oleh karena itu Annisa menilai sudah saatnya untuk segera menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor (PP) 28 Tahun 2024 yang baru dikeluarkan pemerintah pada Juli 2024 lalu untuk mengatur penjualan rokok.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 menyatakan setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik menggunakan mesin layan diri, kepada yang di bawah usia 21 tahun dan perempuan hamil, secara eceran satuan per batang kecuali cerutu dan rokok elektronik, di area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui. Selain itu rokok juga dilarang dijual dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak dan di situs dagang-el (e-commerce) serta media sosial, kecuali ada verifikasi umur.
Jumlah Warung Rokok Konvensional Terus Melonjak
Meningkatnya jumlah perokok anak juga terkait dengan meningkatnya jumlah warung konvensional yang menjual rokok dengan bebas pada anak-anak.
Peneliti di Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia Risky Kusuma Hartono mengungkapkan hasil penelitiannya tentang peningkatan jumlah warung rokok konvensional di wilayah Malang, Bogor dan Medan. Dari 2015 hingga 2022, jumlah warung rokok konvensional naik sekitar 30 persen.
Namun khusus pada 2012 hingga 2022 terjadi kenaikan toko rokok sebesar 70-90 persen.
Risky juga menemukan adanya dependensi spasial di mana ketika ada satu warung membuka atau berjualan rokok, maka akan memicu orang-orang di sekitarnya membuka warung dengan penjualan yang sama yaitu rokok.
“Ketika kita mencari titik-titik lokasinya atau banyak di mana, ini banyak di sekitar sekolah, di sekitar perrkantoran, pasar dan daerah perbatasan. Teknik marketingnya, cara ketengan Rp. 1.500 per batang dan yang tidak kalah penting bisa dibeli secara berutang, anak-anak diperbolehkan untuk membeli, ada yang beli satu gratis satu,” ujarnya.
Larangan penjualan rokok yang diatur dalam PP Nomor 28 diharapkan tidak hanya menjadi aturan tertulis semata, tetapi juga diimplementasika di setiap daerah.
Menurutnya kenaikan titik penjualan rokok, baik itu konvensional maupun elektronik, memiliki dampak yang luar biasa. Antara lain mengurangi efektifitas prevelensi rokok, munculnya perokok anak yang baru, mereka yang mencoba berhenti merokok akan gagal dan akan berperilaku merokok kembali, dan orang sudah berniat untuk berhenti merokok akan kembali ke kebiasaannya saat tinggal di dekat lokasi penjualan rokok. Hal ini terbukti di seluruh negara.
Rokok dan Penyakit
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan rokok dengan jantung sangat erat hubungannya.
Merokok merupakan faktor risiko nomor dua tertinggi penyebab kematian dan komorditas, mengingat adanya lebih dari tujuh ribu zat berbahaya bagi tubuh, tambahnya.
Ironisnya impelementasi PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yakni tentang kontrol rokok, hingga laporan ini disampaikan masih disusun. [fw/em]
Forum