Persetujuan rekonsiliasi itu adalah untuk menyatukan kedua pemerintahan Palestina yang bersaing dalam pemerintahan sementara yang akan mengadakan pemilu tahun depan. Setelah tertunda sebentar, upacara berlangsung dan dihadiri oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas, pemimpin Hamas Khaled Meshaal dan petinggi-petinggi pemerintahan asing.
Walaupun pemerintahan sementara yang direncanakan itu disebut para pejabat Fatah sebagai badan independen yang terdiri dari para teknokrat, Meshaal berbicara dengan bernada politis.
Pemimpin Hamas itu mengatakan kepada para hadirin bahwa “masa gelap perpecahan” sudah ditinggalkan, dan satu-satunya pertempuran yang nyata adalah melawan “kelompok pendudukan” yang merujuk kepada Israel.
Israel mengecam persetujuan itu, dengan pernyataan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu hari Rabu bahwa persetujuan merupakan “pukulan hebat terhadap perdamaian dan kemenangan besar terorisme.”
Netanyahu mendesak Abbas agar memilih “berdamai dengan Israel” daripada melakukan kesepakatan dengan Hamas, yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh Israel dan Amerika.
Hamas, yang tidak mengakui Israel, dilaporkan berniat menghormati gencatan senjata tidak resmi.
Tetapi pernyataan Meshaal itu serta serangan terus menerus dari Gaza terhadap Israel mungkin merusak kepercayaan Israel.
Presiden Abbas juga mengambil kesempatan itu untuk menantang Israel, mengatakan Israel harus memilih antara perdamaian dan permukiman. Pembangunan perumahan Israel di tanah Palestina merupakan kendala besar bagi proses perdamaian.
Di antara pendukung terbentuknya negara Palestina, persetujuan di Kairo itu nampaknya dipandang sebagai satu-satunya cara untuk bergerak maju dan mengakhiri persaingan yang memecah gerakan Palestina dalam empat tahun terakhir di tengah perebutan kekuasaan atas wilayah Gaza. Hassan Nafae, guru besar ilmu politik di Universitas Kairo mengatakan, “Isu utamanya adalah bersatu, berbicara dengan satu suara, untuk membuka jalan bagi masa depan. Ini adalah langkah yang sangat penting dan saya rasa tanpa persatuan itu tidak akan terwujud apapun.”
Peran Mesir dalam memperkokoh persetujuan itu dilakukan setelah pemerintahan baru di Kairo mengindikasikan akan membuka perbatasan Rafah dengan Gaza dan mengurangi tekanan atas blokade Israel.