Tautan-tautan Akses

Inflasi dan Tarif akan Uji Pasar Saham AS


Berbagai kontainer produk-produk China yang siap dieksport tampak di pelabuhan Nanjing, provinsi Jiangsu, China timur, 4 Februari 2025. Kebijakan tarif impor Presiden AS Donald Trump diperkirakan akan memicu inflasi di Amerika.
Berbagai kontainer produk-produk China yang siap dieksport tampak di pelabuhan Nanjing, provinsi Jiangsu, China timur, 4 Februari 2025. Kebijakan tarif impor Presiden AS Donald Trump diperkirakan akan memicu inflasi di Amerika.

Minggu ini, pasar saham AS akan diuji oleh data inflasi terbaru. Investor khawatir kebijakan tarif dari Presiden AS Donald Trump memupuskan harapan akan adanya penurunan suku bunga oleh bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed) tahun ini.

Level Indeks S&P 500 saat ini masih bertahan di sekitar 1% di bawah rekor tertingginya, meski minggu lalu saham-saham terpuruk akibat rencana Trump untuk mengenakan tarif pada negara-negara mitra dagang utama AS.

Tarif dinilai dapat meningkatkan inflasi, yang membuat The Fed lebih sulit untuk memangkas suku bunga lebih lanjut. Bulan lalu, The Fed menghentikan sementara siklus pemotongan suku bunga karena masih menanti data-data yang menunjukkan sinyal aman untuk melonggarkan kebijakan moneter.

Pada Rabu (12/2) mendatang, laporan Indeks Harga Konsumen (CPI) AS akan dirilis untuk memberikan gambaran terbaru tentang tren inflasi, yang menjadi perhatian utama investor. Sebuah survei terhadap lebih dari 4.000 traders yang dipublikasikan minggu lalu menunjukkan bahwa mereka melihat inflasi dan tarif sebagai dua faktor yang paling memengaruhi pasar tahun ini.

“Inflasi adalah faktor tidak terduga pada tahun 2025 karena bisa memengaruhi kebijakan terkait suku bunga,” kata Charlie Ripley, pakar investasi senior di Allianz Investment Management.

“Jika inflasi memanas, peluang bagi The Fed untuk terus menurunkan suku bunga akan berkurang, dan tentu saja pasar tidak menyukai hal itu,” imbuhnya.

Menurut survei kantor berita Reuters, Laporan CPI pada Januari ini kemungkinan akan menunjukkan kenaikkan inflasi sebesar 0,3% dibandingkan bulan sebelumnya.

Akan tetapi, sejumlah analis di Wall Street memperingatkan bahwa Januari biasanya lebih sulit diprediksi karena adanya faktor-faktor musiman, yang bisa menyebabkan pasar menjadi lebih fluktuatif saat data dirilis.

Laju inflasi memang telah melambat dari level tertingginya dalam 40 tahun terakhir pada tahun 2022. Ini memungkinkan The Fed memangkas suku bunga tahun lalu. Namun, inflasi masih belum mencapai target 2% per tahun yang ditetapkan bank sentral itu.

“Kami jelas tidak ingin melihat (CPI) naik lagi,” ujar Art Hogan, kepala strategi pasar di B. Riley Wealth. “Jika itu terjadi, ada kemungkinan besar The Fed akan mempertahankan suku bunga lebih lama dari yang kita perkirakan sekarang.”

Saat ini, pasar memprediksi adanya kemungkinan lebih dari 80% bahwa The Fed akan tetap mempertahankan suku bunga di pertemuan berikutnya pada bulan Maret. Sementara itu, berdasarkan data dari LSEG, diperkirakan akan terjadi dua kali pemangkasan suku bunga sebelum akhir tahun ini.

Prediksi bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga pada Maret nanti semakin kuat setelah laporan ketenagakerjaan AS dirilis pada Jumat (7/2) lalu. Pertumbuhan angka pekerja lebih lambat dari perkiraan, tetapi angka pengangguran di level 4% menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja AS masih cukup sehat.

Sejumlah investor mulai menurunkan ekspektasi mereka terhadap pemangkasan suku bunga tahun ini. Ekonom dari Morgan Stanley, misalnya, menyatakan mereka kini memprediksi hanya akan ada satu kali pemangkasan suku bunga, yaitu pada bulan Juni—bukan dua kali seperti yang diperkirakan sebelumnya. Mereka menyebut kebijakan moneter tahun 2025 masih tidak menentu.

Tim analis Morgan Stanley menyoroti ketidakpastian mengenai kebijakan tarif sebagai tantangan dalam pemangkasan suku bunga.

Gubernur The Fed Jerome Powell akan bersaksi di hadapan Kongres pada Selasa (11/2) dan Rabu (12/2) mendatang, sehingga posisi The Fed mengenai suku bunga akan terlihat lebih jelas.

Laporan keuangan beberapa perusahaan besar seperti Coca-Cola, Cisco, dan McDonald’s juga akan menjadi perhatian investor.

Sejauh ini, lebih dari separuh perusahaan yang terdaftar dalam indeks S&P 500 telah merilis laporan keuangan kuartalan mereka, dengan pertumbuhan laba yang naik 12,7% dibandingkan tahun lalu, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 9,6% pada awal Januari, menurut data LSEG IBES.

Secara keseluruhan, laporan keuangan perusahaan yang kuat menjadi faktor positif bagi pasar saham, meski ada ketidakpastian terkait tarif dan inflasi, kata Anthony Saglimbene, kepala strategi pasar di Ameriprise Financial.

“Komentar dari berbagai industri masih cukup positif,” ujar Saglimbene. “Faktor pendorong permintaan masih tetap kuat.” [br/jm]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG