Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika dalam konferensi pers di Jakarta, beberapa hari lalu mengatakan bahwa Forum Agraria se-Asia bertujuan untuk memperkuat konsolidasi gerakan masyarakat sipil dalam mewujudkan tata kelola pertanahan yang berpusat pada kepentingan masyarakat di kawasan Asia.
“Tujuannya adalah memperkuat pemahaman dan bertukar pembelajaran atas pencapaian di setiap negara di Asia, terutama untuk hasil-hasil kolaborasi dalam mewujudkan tata kelola pertanahan dan upaya-upaya reforma berbasiskan agraria yang berpusat kepada kepentingan rakyat,” kata Dewi.
Tema besar ALF kali ini adalah menjamin hak atas tanah untuk masa depan yang adil dan berkelanjutan. Di dalamnya ada empat topik besar, yakni reforma agraria; konflik agraria; perlindungan pembela hak atas tanah dan lingkungan hidup; hak perempuan atas tanah dan aksi iklim serta manusia, iklim dan alam.
Asia menjadi pusat kekayaan agraria karena luas tanah, laut dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ada kurang lebih hutan seluas 670 juta hektare, tanah gambut seluas 202 juta hektare dan 17 miliar tanah pertanian yang membentang dari Timur Tengah hingga Asia Tenggara. Kurang lebih 59 persen populasi penduduk di dunia tinggal di Asia.
“Nah dalam konteks itu di Asia tentu kita mengalami banyak sekali tantangan-tantangan dan fase kritis yang ditandai dengan ketimpangan penguasaan tanah perampasan tanah dan meningkatnya konflik agraria,” jelas Dewi.
Dewi menambahkan, forum ini menjadi momentum penting bagi gerakan reforma agraria menagih komitmen politik pemerintahan baru untuk percepatan redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria di Indonesia.
Koordinator International Land Coalition (ILC) di Asia Anu Verma mengatakan Asia adalah rumah bagi sekitar 4,8 miliar penduduk, yang merupakan 59,5 persen dari populasi global. Dengan pendapatan ekonomi besar serta kaya sumber daya alam, pasar tenaga kerja, modal, dan barang yang substansial, Asia dinilai telah menjadi episentrum pertumbuhan ekonomi global.
Namun, Verma mengamati, perburuan mineral di Asia, termasuk Indonesia, telah menyebabkan peningkatan investasi tanah, yang sering kali mengorbankan masyarakat lokal. "Investasi ini, yang didorong oleh pasar global yang kompetitif, menghidupkan kembali warisan ekstraksi kolonial yang semakin merugikan masyarakat,” kata Verma.
Tak heran, lanjut Verma, masalah perampasan tanah terus mengancam masyarakat yang rentan. Perempuan di Asia, misalnya, hanya memiliki 10,7 persen tanah, jauh di bawah rata-rata global. "Dan satu dari sepuluh perempuan hidup dalam kemiskinan ekstrem, yang memperburuk tantangan para pembela perempuan,” katanya.
Verma menegaskan, ILC teguh mendukung organisasi akar rumput yang berkomitmen untuk mendorong tata kelola lahan yang berpusat pada masyarakat dan memberdayakan kelompok rentan, seperti petani kecil, perempuan, masyarakat adat, dan pemuda untuk melindungi tanah mereka dan mengamankan hak-hak mereka.
Privatisasi Kepemilikan Lahan Komunal
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Zenzi Suhadi mengatakan hal yang paling mendasar untuk direfleksikan dalam ALF adalah kultur dan tata kepemilikan lahan di Asia yang mengalami perubahan yang signifikan dalam 70 tahun terakhir di mana sistem kepemilikan komunal terhadap perairan dan daratan mengalami privatisasi sehingga memisahkan masyarakat dari sumber kehidupannya.
“Inilah yang terjadi dengan Indonesia, kita mengalami krisis pangan, mengalami krisis lingkungan, itu merupakan buah dari kebijakan di masa lalu yang memisahkan masyarakat dari sumber kehidupannya,” kata Zenzi.
Perampasan Tanah Masyarakat Adat
Deputi II Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi berharap ALF dapat membicarakan berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat adat di Indonesia yang kehilangan tanah mereka karena dirampas untuk kepentingan korporasi.
“Dalam beberapa catatan akhir tahun terakhir ini kita menggambarkan bahwa laju perampasan tanah bagi masyarakat adat di Indonesia itu sangat besar kurang lebih 12 juta hektar dalam 10 tahun lebih terakhir, dan satu tahun kemarin saja tahun terakhir tahun 2024 itu tanah-tanah yang dirampas untuk kepentingan korporasi dengan banyak sektor mencapai 2,8 juta hektar dan itu luas wilayah yang sangat besar dan itu telah beresiko terhadap penurunan kualitas hidup masyarakat adat itu,” ungkap Erasmus.
Pembangunan di sektor energi, kata Erasmus, juga menuai protes dan perlawan oleh masyarakat adat seperti pembangunan bendungan di Kalimantan Utara dan Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores Nusa Tenggara Timur.
Tumpang Tindih Pemanfaatan Lahan
Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Imam Hanafi mengatakan ketidaksinkronan data antara masyarakat dan pemerintah memunculkan konflik tumpang tindih pemanfaatan lahan. JKPP mencatat, hingga 2024 terdapat 562 kasus konflik di areal 5,15 juta hektare yang melibatkan 868 ribu jiwa masyarakat adat dan masyarakat lokal.
“Ini tentunya sebaran konfliknya tersebar yang paling banyak di area perkebunan, kawasan hutan, dan juga yang menjadi tumpang dini dengan area pertambangan,” kata Imam Hanafi.
Menurutnya ALF menjadi penting untuk saling belajar dan berbagi tentang bagaimana upaya yang dilakukan banyak masyarakat di negara-negara Asia dalam mewujudkan kedaulatan rakyat atas ruang. [yl/ab]
Forum