Tautan-tautan Akses

Indonesia Bakal Impor 2 Juta Ekor Sapi Hingga 2029


Petugas Ketahanan Pangan Kelautan dan Pertanian memeriksa seekor sapi di sebuah toko ternak untuk mencegah penyebaran penyakit kaki dan mulut di Tanjung Priok, Jakarta Utara, 24 Juni 2022. (Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS)
Petugas Ketahanan Pangan Kelautan dan Pertanian memeriksa seekor sapi di sebuah toko ternak untuk mencegah penyebaran penyakit kaki dan mulut di Tanjung Priok, Jakarta Utara, 24 Juni 2022. (Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS)

Indonesia ditargetkan dapat mengimpor dua juta ekor sapi hidup hingga 2029. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya swasembada daging dan susu. Namun Pakar melihat target ini terlalu ambisius.

Menteri Pertanian Sudaryono mengatakan untuk tahun 2025 saja, Indonesia ditargetkan bisa mengimpor 250 ribu ekor sapi hidup. “Kita target lima tahun ini untuk sapi (perah) susu 1,2 juta (ekor), kemudian untuk daging 800 ribu, Jadi totalnya dua juta selama lima tahun. Tahun ini 250 ribu untuk daging dan susunya,” ungkap Sudaryono beberapa waktu lalu.

Sudaryono menjelaskan langkah ini dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk menekan impor daging sapi dan susu, juga untuk menambah indukan sapi.

“Ini langkah besar dan ambisius iya, ini yang harus kita laksanakan mau tidak mau. Peternak lokal harus kita dukung, produksi dalam negeri harus kita dukung, kemudian impor harus ditekan demi untuk kesejahteraan rakyat,” jelasnya.

Impor tersebut kata Sudaryono tidak dilakukan pemerintah namun oleh pihak swasta. Menurutnya, ada kurang lebih 141 perusahaan yang akan mengimpor sapi indukan dari berbagai negara seperti Brazil, Australia, hingga Amerika Serikat.

Dari jumlah tersebut, Sudaryono mengaku sudah ada beberapa perusahaan yang telah mendatangkan sapi hidup dengan jumlah yang bervariasi mulai dari 50 ekor hingga 200 ekor.

“Ini kan bukan negara yang impor, tapi pengusaha atau investor mendatangkan sendiri. Jadi misalnya pengusahanya suka mendatangkan sapi dari Australia, ya silahkan. Kita kasih fasilitas saja, jadi negara tidak kebebanan APBN untuk mendatangkan sapi, sifatnya investasi,” jelasnya.

Indukan sapi tersebut nantinya, kata Sudaryono, akan disalurkan ke peternak kecil dan besar dengan pola kemitraan.

Terkait wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang saat ini merebak di sejumlah wilayah seperti di Pulau Jawa, Lampung dan Bali, hingga Nusa Tenggara Barat (NTB), berbarengan dengan rencana impor sapi dalam jumlah yang besar, Sudaryono mengaku tidak terlalu khawatir.

Pihaknya akan terus memonitor wabah PMK di dalam negeri. Ia juga mendorong para peternak lokal untuk melakukan vaksinasi secara mandiri yang harga vaksinnya diketahui masih cukup terjangkau yakni Rp17.000-Rp25.000 per dosis.

Ia juga meyakini negara-negara pengekspor sapi perah tersebut cukup aman dari wabah PMK ini, yang salah satunya adalah Brazil yang memiliki populasi sapi hidup hingga 200 juta ekor.

"Kan ini jadi isu seolah-olah negara PMK, ini Brazil sudah sekian tahun, nanti bisa dicek, sudah bebas dari PMK, sudah tidak ada vaksinasi. Insha Allah kemungkinan di tahun ini atau tahun depan, dia sudah bebas, negara bebas PMK," katanya.

Pakar: Pemerintah Bergantung Pada Bibit Sapi Impor

Sementara itu, Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan langkah atau kebijakan serupa pernah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dalam periode pertama kepemimpinannya namun gagal. Ketika itu, katanya, pemerintah menargetkan untuk mengimpor sapi perah sebanyak 300 ribu ekor per tahun, namun yang terealisasi hanya 3.000 ekor sapi saja.

Dengan pengalaman masa lalu yang gagal tersebut, Khudori memperingatkan pemerintah bahwa target dalam lima tahun ke depan ini tidak mudah. Pemerintah, katanya, perlu mempersiapkan beberapa hal penting seperti lahan luas untuk peternakan sapi dan pakan ternak dalam jumlah yang besar.

FILE - Ahli menyebut, ternak terutama sapi yang terkena PMK bisa diobati, tetapi berpotensi membawa virus dan menularkan ke ternak lain. (Foto: Ditjen PKH Kementan)
FILE - Ahli menyebut, ternak terutama sapi yang terkena PMK bisa diobati, tetapi berpotensi membawa virus dan menularkan ke ternak lain. (Foto: Ditjen PKH Kementan)

“Mencari lahan itu tidak mudah, kalau tidak disediakan pemerintah lalu swasta disuruh cari sendiri akan sulit. Sementara lahan adalah kebutuhan yang mutlak kalau ingin mengembangkan peternakan sapi, apalagi dalam jumlah besar. Mau tidak mau kita butuh sumber pakan yang continue yang harus disediakan lewat padang savana atau tempat menanam rumput yang menjadi sumber pakan yang continue yang setiap saat bisa disediakan dari lokasi yang tidak jauh,” jelasnya.

Lebih jauh, Khudori menyayangkan pemerintah yang memiliki ketergantungan dengan bibit sapi indukan impor. Padahal, katanya, jika dikembangkan dengan baik dalam jangka panjang Indonesia sebenarnya memiliki bibit sapi lokal yang tidak kalah dengan sapi impor seperti sapi Bali dan sapi Toraja.

“Kita tidak mencoba untuk mengembangkan breed atau bibit (sapi indukan) lokal yang sebetulnya kita punya banyak variasi bibit sapi lokal yang unggul. Cuma memang selama ini tidak ada yang peduli, akhirnya terjadi kawin silang, percampuran jenis dan seterusnya. Akhirnya terjadi penurunan kualitas,” ungkap Khudori.

“Salah satu yang bagus kan sapi Bali. Pertumbuhan dagingnya bagus, adaptasinya luas, beranaknya sering dibandingkan dengan sapi lokal lain. Tapi sapi Bali apakah punya bibit yang betul-betul murni saat ini? Saya tidak yakin karena informasi yang saya dapat, antara lain itu disebutkan sudah tidak murni. Hal itu ditunjukkan dengan berat sapi dewasa itu dari tahun ke tahun terus menurun,” jelasnya.

FILE - Sapi jenis limousin dengan tali kekangnya, dipamerkan pada pameran pertanian luar ruang Libramont di Libramont, Belgia, 26 Juli 2019. (JOHN THYS / AFP)
FILE - Sapi jenis limousin dengan tali kekangnya, dipamerkan pada pameran pertanian luar ruang Libramont di Libramont, Belgia, 26 Juli 2019. (JOHN THYS / AFP)

Menurutnya pengembangbiakan bibit sapi lokal harus terus digalakkan oleh pemerintah walaupun dibutuhkan anggaran dan riset jangka panjang. Hal ini, katanya, harus dilakukan karena negara-negara pengekspor sapi seperti Brazil, India, Australia, Selandia baru hingga Amerika Serikat tentu tidak ingin Indonesia mencapai swasembada daging dan susu sapi karena negara-negara itu akan kehilangan pasar yang sangat besar.

“Apakah Australia, Brazil, India atau Selandia Baru, lalu Amerika mau Indonesia itu swasembada sementara Indonesia pasar yang empuk buat mereka? Apakah mereka mau menyediakan bibit atau indukan sapi pedaging, sapi perah dalam jumlah besar? Dan, setelah sekian tahun nanti Indonesia bisa mandiri lalu mereka akan kehilangan pasar? Menurut saya tidak. Jadi kalaupun mereka akan menyediakan mungkin jumlahnya tidak besar,” katanya.

“Jadi dengan situasi seperti itu, mau tidak mau kita harus mengembangkan breed lokal untuk menutup impornya agar tidak semakin besar, tapi tidak bisa tidak. Kita harus menengok sumber daya lokal yang kita punyai,” pungkasnya. [gi/lt]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG