Tautan-tautan Akses

Indonesia Alami Deflasi Tahunan Lagi Setelah 25 Tahun


Suasana di sebuah pasar di Jakarta, menjelang Ramadan, 28 Februari 2025. (Achmad Ibrahim/AP)
Suasana di sebuah pasar di Jakarta, menjelang Ramadan, 28 Februari 2025. (Achmad Ibrahim/AP)

Indonesia menghadapi deflasi tahunan pertama sejak tahun 2000. Meski deflasi mengindikasikan turunnya harga-harga barang dan jasa, para ekonom mengingatkan deflasi tahunan ini semu dan tidak mencerminkan daya beli masyarakat" yang sedang menurun.

Selain deflasi tahunan, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengumumkan deflasi bulanan Februari 2025. Ini terjadi satu bulan menjelang Ramadan, di mana tingkat konsumsi masyarakat biasanya meningkat. Sebagai perbandingan pada Februari tahun lalu yang juga menjelang Ramadan, BPS justru mencatat terjadinya inflasi.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan Indonesia mengalami deflasi tahunan 0,09 persen dan deflasi bulanan pada Februari 2025 sebesar 0,48 persen. Deflasi kali ini berlangsung sejak Januarilalu.

Fenomena deflasi tahunan ini terbilang langka.

"Menurut catatan BPS, deflasi year on year pernah terjadi pada Maret 2000 di mana pada saat itu deflasi sebesar 1,10 persen, di mana deflasi itu disumbang, didominasi oleh kelompok bahan makanan," ungkap Amalia dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (3/3).

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti. (Courtesy: bps.go.id)
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti. (Courtesy: bps.go.id)

Amalia menjelaskan, deflasi yang terjadi kali ini terutama disebabkan oleh diskon tarif listrik sebesar 50 persen yang terjadi pada Januari-Februari 2025. Ia membantah bahwa fenomena deflasi kali ini mencerminkan melemahnya daya beli masyarakat, melainkan karena intervensi kebijakan pemerintah.

"Ini bukan karena penurunan daya beli, tetapi karena pengaruh dari diskon tarif listrik. Ini yang memberikan andil deflasi dua bulan berturut-turut karena ini kebijakan pemerintah melalui diskon tarif listrik 50 persen,” jelasnya.

Selain diskon tarif listrik, komoditas yang berkontribusi pada deflasi adalah perumahan, air, bahan bakar rumah tangga, bahan makanan pokok termasuk beras, tomat dan cabai.

Meski begitu, kata Amalia, “Komponen inti masih mengalami inflasi sebesar 0,25 persen. Komponen ini memberikan andil inflasi sebesar 0,16 persen. Komoditas yang dominan memberikan andil inflasi pada komponen inti adalah emas perhiasan, kopi bubuk, dan mobil.”

Indonesia Alami Deflasi Tahunan Lagi Setelah 25 Tahun
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:00 0:00

Deflasi, Tanda Daya Beli Masyarakat Melemah?

Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy memahami pernyataan BPS yang mengatakan bahwa diskon tarif listrik merupakan faktor utama penyumbang deflasi tahunan dan bulanan. Pasalnya, tarif listrik merupakan salah satu komponen terbesar dalam penghitungan inflasi secara umum.

“Karena kita sudah lihat bahwa tarif listrik merupakan yang terbesar, maka menjadi relevan dengan diskon tarif listrik yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam dua bulan terakhir. Karena dengan adanya diskon tarif listrik ini artinya pengeluaran masyarakat untuk pembayaran tarif listrik akhirnya lebih rendah. Jadi ketika dia lebih rendah akhirnya ter-capture oleh BPS dan mencatat perubahan harga konsumen itu lebih rendah. Makanya, munculnya fenomena deflasi,” ungkap Yusuf.

Meski begitu, Yusuf masih meragukan bahwa fenomena deflasi kali ini sebagai tanda melemahnya daya beli masyarakat. Pasalnya, menurutnya, inflasi inti masih terjaga. “Jadi hanya dari indikator inflasi inti saja, sebenarnya kita bisa mengambil kesimpulan bahwa setidaknya untuk Februari daya beli masyarakat itu sebenarnya masih ada, karena permintaan terhadap beberapa produk barang dan jasa masih dilakukan oleh masyarakat,” jelasnya.

Yusuf menuturkan untuk memastikan apakah ada perubahan daya beli masyarakat beberapa indikator ekonomi lain harus dipertimbangkan.

“Kita juga perlu melihat indikator lain yang memang bisa saja berpotensi menekan daya beli masyarakat. Kalau kita perhatikan misalnya PHK yang terjadi di beberapa bulan terakhir, itu juga bisa juga mempengaruhi daya beli masyarakat secara umum. Tetapi untuk sampai mengambil kesimpulan bagaimana dampak PHK saya kira kita perlu melihat data lain yang belum dirilis seperti penjualan riil. Apabila penjualan riil di Februari mengalami penurunan, maka indikator terkait pelemahan daya beli perlu diwaspadai oleh pemerintah secara umum,” tegasnya.

Peneliti Next Policy Shofie Azzahrah mengatakan faktor diskon tarif listrik 50 persen tidak bisa dianggap sebagai faktor utama deflasi. Menurutnya, deflasi terjadi bukan hanya terjadi akibat satu kebijakan yang bersifat jangka pendek.

“Melainkan bisa mencerminkan tren ekonomi yang telah terjadi dalam periode yang panjang. Kalau kita ingat, pada 2024 BPS dan BI menyatakan bahwa Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut, dari Mei-September. Periode ini terjadi jauh sebelum kebijakan diskon tarif listrik yang diberlakukan pada awal tahun 2025, yaitu Januari dan Februari. Jadi, hal ini menunjukkan bahwa deflasi ini bukan semata-mata karena faktor kebijakan (diskon tarif) listrik saja yang baru diterapkan oleh pemerintah, tapi ada indikasi tren penurunan harga yang lebih luas dan sudah terjadi sejak tahun sebelumnya,” ungkap Shofie.

Menurutnya, jika fenomena deflasi ini terus berlanjut, terutama setelah ada kebijakan pemerintah yang bersifat sementara, maka itu menandakan bahwa daya beli masyarakat yang memang sedang tertekan.

Selain itu, menurut Shofie, deflasi menjelang bulan Ramadan adalah fenomena tidak lazim mengingat tingkat konsumsi masyarakat biasanya cukup tinggi, khususnya untuk kebutuhan pangan dan persiapan lebaran.

Para pembeli rela antre untuk membeli daging menjelang bulan puasa Ramadan di Banda Aceh, 27 Februari 2025, . (YASUYOSHI CHIBA/AFP)
Para pembeli rela antre untuk membeli daging menjelang bulan puasa Ramadan di Banda Aceh, 27 Februari 2025, . (YASUYOSHI CHIBA/AFP)

“Secara historis menjelang Ramadan Indonesia biasanya mengalami inflasi karena biasanya masyarakat berekspektasi bahwa mereka akan menerima THR, sehingga akan meningkatkan konsumsi mereka. Jadi ketika terjadi deflasi, ada indikasi kuat bahwa konsumsi masyarakat tidak meningkat seperti yang seharusnya terjadi," sebutnya.

"Fenomena ini bisa dijelaskan dari dua kemungkinan. Pertama masyarakat mungkin cenderung lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya, dan lebih memilih untuk menabung. Perilaku ini bisa dipicu oleh banyak hal seperti ketidakpastian ekonomi. Kemungkinan kedua, adanya penurunan pendapatan baik karena PHK atau misalnya kondisi ekonomi yang kurang mendukung pertumbuhan upah,” imbuh Shofie.

Sejarah Deflasi di Amerika Serikat

Ada beberapa periode deflasi dalam sejarah Amerika Serikat, termasuk antara tahun 1815 dan 1860 dan antara tahun 1865 hingga 1900. Salah satu periode deflasi paling dramatis dalam sejarah Amerika Serikat terjadi antara tahun 1930 dan 1933 selama Depresi Besar.

Deflasi jarang terjadi di Amerika Serikat pada paruh kedua abad ke-20. Kenaikan harga yang dramatis dan konsisten dari tahun 1950 hingga 2000 tidak tertandingi sejak berdirinya Amerika Serikat.

Contoh deflasi terbaru terjadi pada abad ke-21 berlangsung dari tahun 2007 hingga 2009 selama periode sejarah Amerika Serikat yang dikenal sebagai Resesi Besar.

FILE - Sebuah rumah yang disita di Denver, 4 April 2010. Menurut laporan RealtyTrac, 27 Januari 2011, data rumah yang disita melonjak menjadi 149 dari 206 wilayah metropolitan terbesar di Amerika Serikat tahun 2010. (David Zalubowski, arsip/AP)
FILE - Sebuah rumah yang disita di Denver, 4 April 2010. Menurut laporan RealtyTrac, 27 Januari 2011, data rumah yang disita melonjak menjadi 149 dari 206 wilayah metropolitan terbesar di Amerika Serikat tahun 2010. (David Zalubowski, arsip/AP)

Resesi Besar adalah penurunan tajam dalam aktivitas ekonomi yang dimulai pada tahun 2007 dan berlangsung selama beberapa tahun, yang meluas ke ekonomi global. Resesi ini dianggap sebagai penurunan paling signifikan sejak Depresi Besar pada tahun 1930-an.

Istilah Resesi Besar berlaku untuk resesi Amerika Serikat, yang secara resmi berlangsung dari Desember 2007 hingga Juni 2009, dan resesi global berikutnya pada tahun 2009. Kemerosotan ekonomi dimulai ketika pasar perumahan Amerika Serikat berubah dari masa kejayaan menjadi masa kehancuran, dan sejumlah besar sekuritas yang didukung hipotek dan derivatif anjlok nilainya. [gi/ab]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG