Tautan-tautan Akses

Hidup di Amerika, Diaspora Indonesia Makin Giat Promosi Budaya, Tanam Jati Diri pada Anak


Kelompok Spotlight Academy bersama pendirinya, Mourien Amalia (tengah) (dok: Mourien Amalia)
Kelompok Spotlight Academy bersama pendirinya, Mourien Amalia (tengah) (dok: Mourien Amalia)

Tinggal jauh dari tanah air mendorong diaspora Indonesia di Amerika Serikat untuk lebih mendalami budaya Indonesia. Salah satunya dengan bergabung dalam berbagai sanggar tari dan budaya untuk belajar berbagai tarian tradisional, sekaligus memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada anak-anak mereka.

Sudah 17 tahun ini, diaspora Indonesia, Diana Dunham, tinggal di negara bagian Virginia, Amerika Serikat. Namun, jauh dari tanah air malah membuatnya menjadi lebih peduli dan semakin tertarik pada berbagai isu yang terjadi di tanah air, dan beragam hal yang berhubungan dengan kebudayaan.

“Karena saya di luar Indonesia dan betul itu memang adalah satu pengobat kerinduan,” papar Diana Dunham kepada VOA.

Kelompok Rumah Gadang USA saat tampil di Kedutan Besar RI di Washington, D.C. (dok: Nani Afdal)
Kelompok Rumah Gadang USA saat tampil di Kedutan Besar RI di Washington, D.C. (dok: Nani Afdal)

Diana yang sejak masih di Indonesia memang gemar menari lantas bergabung dengan sanggar tari dan budaya, Rumah Gadang USA, untuk mendalami seni tari dan filosofi kebudayaan Minang. Tidak pernah terbesit dalam pikiran Diana yang berdarah Ambon dan Jawa, untuk mempelajari kebudayaan Minang di Amerika.

“Karena budayanya yang memperkuat perempuan, kedudukan perempuan yang setara dengan laki laki,” jelas Diana.

“Begitu saya tinggal di (Amerika), apresiasi saya terhadap kebudayaan Indonesia semakin meningkat. Ini mungkin dasarnya, karena saya merindukan tanah air ya,” jelasnya.

Kedua putra Diana Dunham, Rafael dan Joshua, memeragakan pencak silat Minang di sebuah acara di Amerika (dok: Diana Dunham)
Kedua putra Diana Dunham, Rafael dan Joshua, memeragakan pencak silat Minang di sebuah acara di Amerika (dok: Diana Dunham)

Ketertarikan Diana lantas menjadi sebuah kepentingan baginya ketika harus membesarkan dua anaknya yang keturunan Amerika, Joshua, 15, dan Rafael, 12. Ia merasa dituntut untuk bisa memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada kedua putranya agar mereka mengenal jati diri dan asal usulnya.

Sejak bayi, kedua anak itu kerap dibawa Diana ke lokasi latihan menari dan bermusik. Kini mereka juga aktif berbudaya, melakukan pementasan, sekaligus mempromosikan Indonesia di Amerika.

Kedua putra Diana Dunham, Rafael dan Joshua (dok: Diana Dunham)
Kedua putra Diana Dunham, Rafael dan Joshua (dok: Diana Dunham)

“Jadi anak saya ikut bermain musik tradisional minang, talempong, tabuik, dan juga Minang pencak silat,” jelas Diana yang berprofesi asisten direktur di American Council of Engineering Companies.

Keluarga Diana di Indonesia bangga melihat kedua remaja yang walaupun keturunan Amerika dan lahir, serta besar di Amerika ternyata mengenal Indonesia.

“Mereka tahu mereka orang Indonesia. Kacang tidak lupa kulitnya,” kata Diana.

Menanamkan Budaya Indonesia

Rumah Gadang USA dibentuk oleh pasangan suami istri, Nani dan Muhammad Afdal pada tahun 2007. Hijrah ke Amerika sekitar 24 tahun lalu, mereka merasa perlu untuk tetap menanamkan kebudayaan Indonesia kepada anak-anak mereka.

Muhammad Afdal dan Nani Afdal, pendiri Rumah Gadang USA di Washington, D.C. (dok: Nani Afdal)
Muhammad Afdal dan Nani Afdal, pendiri Rumah Gadang USA di Washington, D.C. (dok: Nani Afdal)

“Namanya kita tinggal di (Amerika). Tentu budaya yang akan dilihat dan diterima oleh anak-anak tentu budaya yang ada di (Amerika). Tidak bisa dipungkiri. Lalu kami berpikir bagaimana caranya untuk anak-anak nanti ke depannya lebih paham sebenarnya (akarnya) mereka itu (berasal) dari mana?” jelas Nani Afdal ketika dihubungi VOA.

Kini Rumah Gadang USA memiliki sekitar 10 anggota yang aktif dengan umur berkisar antara 6 dan 50 tahun. Grup ini kerap tampil dalam berbagai acara dan festival internasional di Amerika.

Menurut Nani, melalui pementasan seperti inilah kedekatan terhadap Indonesia semakin tercipta, membuat anak-anak yang lahir atau besar di Amerika menjadi semakin mengenal kebudayaan Indonesia.

Muhammad Afdal (kanan) dan para anggota Rumah Gadang USA (dok: Nani Afdal)
Muhammad Afdal (kanan) dan para anggota Rumah Gadang USA (dok: Nani Afdal)

"Kami harapkan dengan kehadiran Rumah Gadang USA itu, terutama untuk kalangan anak-anak Indonesia yang, apakah dia lahir, besar di (Amerika) atau yang memang dalam kondisi ada penugasan atau apapun orangtuanya di (Amerika) itu akan bisa ikut aktif dalam kegiatan budaya minang atau budaya manapun yang dari Indonesia,” tambah Nani.

Jiwa Nasionalisme

Bagi diaspora Indonesia, Mouriena Amalia yang tinggal di negara bagian Maryland, kerinduan akan menari tarian tradisional Indonesia mendorongnya untuk mendirikan sanggar budaya pada tahun 2008 dibawah nama Wratnala USA.

Sempat berganti nama menjadi Spotlight Studio yang juga menawarkan kelas zumba dan vakum ketika pandemi COVID melanda, perempuan yang akrab disapa Mourien ini bangkit dan kembali menekuni dunia tari yang ia cintai dengan membangun Spotlight Academy.

Kelompok Spotlight Academy didirikan oleh Mourien Amalia di Washington, D.C. (dok: Mourien Amalia)
Kelompok Spotlight Academy didirikan oleh Mourien Amalia di Washington, D.C. (dok: Mourien Amalia)

“Dulu waktu di Indonesia saya dikursusin nari sama papa. Tapisaya enggak suka untuk tampil, gitu loh. Untuk tampil, kecuali kalau lagi ada lomba nari, rasanya semangat,” papar Mourien kepada VOA.

“Nah, begitu pindah ke (Amerika), baru jiwa nasionalismenya keluar karena waktu ikut nari, orang-orang Amerika yang melihat kita menari tuh mesmerize (tersepona.red) banget, gitu. Kebudayaan kita itu keren banget,” tambahnya.

Kini, Spotlight Academy memiliki 21 murid berusia antara 10 dan 44 tahun. mereka berlatih setiap minggu. Mourien mengajarkan murid-muridnya berbagai tarian tradisional Indonesia.

Mouriena Amalia (kiri tengah) dan Dya Halma (kanan tengah) bersama anggota Spotlight Academy saat tampil di Kedutaan Besar RI di Washington, D.C. (dok: Mardy Ridha)
Mouriena Amalia (kiri tengah) dan Dya Halma (kanan tengah) bersama anggota Spotlight Academy saat tampil di Kedutaan Besar RI di Washington, D.C. (dok: Mardy Ridha)

“Kita basically (mengajarkan tari-tarian) dari Sabang sampai Merauke ya, karena kita maunya belajar kebudayaan Indonesia itu enggak cuma satu pulau,” kata Mourien.

“Kebetulan kita juga punya background dari berbagai macam daerah. Papa saya yang dari Sumatera, dari Lampung. Mama saya dari Menado. Saya lahir di Jawa,” tambahnya.

Dya Halma (tengah) bersama Audrey Fatima Farid (kiri), dan Alexis (kanan) (dok: Mardy Ridha)
Dya Halma (tengah) bersama Audrey Fatima Farid (kiri), dan Alexis (kanan) (dok: Mardy Ridha)

Mourien pun lantas menggandeng diaspora Indonesia, Dya Halma, yang berpengalaman sebagai penari latar dan kini menetap di negara bagian Maryland.

“Pada saat pindah, (saya) ingin akarnya tetap terjaga dan budayanya tetap ada, dan juga sekalian cari komunitas teman,” kata Dya Halma kepada VOA.

“Sampai di (Amerika) tahun 2013, langsung bergabung dan ketemu Mbak Mourien,” paparnya.

Menampilkan Tradisi dan Keaslian

Setiap minggu, Dya Halma dan Mourien meluangkan waktu untuk berlatih dan mengajar murid-murid yang usianya beragam. Tidak hanya mengajarkan teknik menari, mereka juga memperkenalkan cerita dan sejarah dibalik masing-masing tarian.

“Saya ingin juga anak-anak menjiwai tarian itu karena kita (menari) juga kan ingin (menyampaikan pesan.red) ke penontonnya. Enggak cuma asal hafal,” jelas Mourien.

Spotlight Academy: Memperkenalkan Budaya Indonesia Melalui Tari Nusantara
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:51 0:00

Namun, dalam mengajar tentu saja ada tantangan, khususnya ketika harus menerjemahkan nilai-nilai dari masing-masing tarian dan maknanya kepada anak-anak Indonesia keturunan Amerika. Menurut Dya ada gaya atau aksen Indonesia yang sulit untuk disampaikan dalam bahasa Inggris.

“Kayak model Jaipong. Kita agak susah bilang ke anak-anak ‘yang centil ya,’” ujar Dya.

Mourien menambahkan bahwa ia pun ditantang untuk tetap memperlihatkan keaslian sebuah tarian tradisional, khususnya ketika ditampilkan oleh anak-anak Indonesia yang lahir dan besar di Amerika.

Kacang Tidak Lupa Kulit

Sebagai orang tua yang berasal dari Indonesia dan menetap di Amerika, Diana Dunham merasa sebagian dari pekerjaannya untuk “menetapkan jati diri yang baik untuk anak-anak” sudah selesai.

Nani Afdal (kiri), Joshua (tengah), Diana Dunham (kanan) (dok: Diana Dunham)
Nani Afdal (kiri), Joshua (tengah), Diana Dunham (kanan) (dok: Diana Dunham)

“Mereka tahu mereka itu dari mana dan mereka bangga mengatakannya,” jelas Diana.

Sama seperti Diana, Dya Halma juga ingin anaknya, Arjuna, mengenal Indonesia agar kelak tidak mengalami krisis identitas. Dia ingin Arjuna, yang berdarah Amerika, bisa menerima akar budaya ibunya yang dari Indonesia.

“Pada saat dia ke Indonesia mungkin dia bisa lebih apresiasi. Bagaimana kita bisa mengapresiasi budaya seseorang kalau kita sendiri cuma bisa melihat?” ucap Dya.

Kelompok Spotlight Academy saat menari Saman di Washington, D.C. (dok: Mardy Ridha)
Kelompok Spotlight Academy saat menari Saman di Washington, D.C. (dok: Mardy Ridha)

“Budaya itu harus dirasakan oleh semua panca indera. Dari makanan, Arjuna suka banget makanan Indonesia, dari suara kita ngomong bahasa Indonesia, dia bisa menangkap, dari mulai kita bergerak, menyanyi, dia tahu bagaimana gerak saman, seperti itu,” tambah Dya.

Bagi Mardy Ridha yang sejak 3.5 tahun belakangan ini menetap di negara bagian Maryland, sangatlah penting untuk menanamkan budaya Indonesia kepada putrinya, Audrey Fatima Farid. Menurutnya, anak-anak seperti Audrey yang tinggal di lingkungan dengan budaya yang berbeda “perlu tahu identitas mereka.”

“Jadi seperti pohon tidak akan bisa tumbuh dengan baik tanpa akar yang baik,” jelas perempuan yang juga adalah diplomat RI yang tengah bertugas di Kedutaan Besar RI di Washington, D.C. ini.

Mardy Ridha (kanan) dan putrinya, Audrey Fatima Farid (kiri) (dok: Mardy Ridha)
Mardy Ridha (kanan) dan putrinya, Audrey Fatima Farid (kiri) (dok: Mardy Ridha)

Salah satu upayanya adalah dengan bergabung dengan sanggar-sanggar tari dan budaya di daerah Washington, D.C. Tidak pernah tampil dalam ajang budaya di Indonesia sebelumnya, kini bersama Audrey, Mardy malah kerap tampil di berbagai pementasan budaya Indonesia, festival-festival internasional, dan juga di University of District of Columbia.

Ia pun mengakui bahwa tinggal jauh dari tanah air telah mendorongnya untuk lebih aktif mengikuti kegiatan budaya, sekaligus memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada warga internasional.

“Memang ini adalah saat di mana Anda menjadi wakil dari negara Anda, budaya Anda, orang-orang Anda, nilai dan prinsip Anda,” papar Mardy.

Putri Mardy Ridha, Audrey Fatima Farid saat menari di Amerika (dok: Mardy Ridha)
Putri Mardy Ridha, Audrey Fatima Farid saat menari di Amerika (dok: Mardy Ridha)

Menurut Mardy, dalam hal ini tidak hanya putrinya yang belajar, namun ia juga merasa perlu untuk mempelajari kembali nilai-nilai yang ia percaya sebagai orang Indonesia.

“Jadi dia lihat bahwa ibunya juga melakukan hal yang sama dengan dia,” ujar Mardy.

“Jadi setidaknya saya juga sedikit memberikan teladan bahwa (semua ini berasal dari keluarga),” tambahnya.

Hidup di Amerika, Diaspora Indonesia Makin Giat Promosi Budaya, Tanam Jati Diri Pada Anak
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:09:17 0:00

Bangun Rasa Kekeluargaan

Tidak hanya memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada anak-anak generasi ke-2 diaspora Indonesia, sebagai pengajar tari dan pegiat budaya Indonesia, Mourien juga bercita-cita untuk menciptakan rasa kekeluargaan di dalam sanggarnya. Menurutnya, keluarga tidak akan meninggalkan kita begitu saja.

“Saya ingin mereka merasa di grup kita itu kekeluargaan. Jadi biar kuat. Ini juga ada beberpa mantan-mantan murid menari yang sekarang sudah banyak yang menikah. Begitu melihat kita tampil lagi, mereka mau balik lagi,” ujarnya.

“Mereka masih umur 8-9 tahun waktu pertama kali ikut menari,” tambahnya.

Kelompok Rumah Gadang USA saat tampil di Kedutan Besar RI di Washington, D.C. (dok: Nani Afdal)
Kelompok Rumah Gadang USA saat tampil di Kedutan Besar RI di Washington, D.C. (dok: Nani Afdal)

Nani Afdal pun berharap sanggarnya yang giat memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada publik Amerika, dapat membuka mata anggotanya, khususnya yang anak-anak, mengenai Indonesia yang kaya budaya.

“Alhamdulillah kami merasa bersyukur bahwa enggak pernah terbayangkan juga akan beraktivitas budaya di samping pekerjaan-pekerjaan rutin kita setiap hari,” paparnya.

Anggota Rumah Gadang USA, Yudhi Hendarshin (kanan) dan putrinya, Alya selalu aktif berlatih dan tampil di berbagai acara di Washington, D.C.
Anggota Rumah Gadang USA, Yudhi Hendarshin (kanan) dan putrinya, Alya selalu aktif berlatih dan tampil di berbagai acara di Washington, D.C.

Merupakan suatu hal yang luar biasa bagi Nani ketika melihat para orang tua diaspora Indonesia beserta anak-anaknya aktif, bahkan semangat, dalam berlatih dan tampil. Tak bisa ditutupi, ia bangga bisa ikut mengembangkan budaya negara asalnya di Amerika Serikat. [di/ka]

Forum

XS
SM
MD
LG