Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 4 Desember lalu menetapkan kebaya sebagai warisan budaya tak benda. Penetapan ini melalui mekanisme joint nomination atau pengajuan bersama oleh lima negara ASEAN, yaitu Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura dan Thailand.
Penetapan dalam sidang ke-19 Komite untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) UNESCO 2024 di Asuncion, Paraguay itu tidak dimaknai sebagai hak paten atau hak kekeyaan intelektual suatu negara tertentu atas warisan budaya. Sebaliknya, ini adalah upaya mempromosikan keberagaman budaya dan dialog antar komunitas.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan kebaya adalah warisan budaya yang menjadi simbol persatuan di kawasan Asia Tenggara. “Penetapan ini adalah pengakuan dunia atas nilai budaya kita yang mendalam serta upaya kita bersama dalam melestarikan kebudayaan,” ujarnya.
Tonggak Penting Bagi Asia Tenggara
Penetapan kebaya sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO ini menandai tonggak penting bagi Asia Tenggara, karena memperteguh persatuan, tanggung jawab bersama dan komitmen untuk bekerjasama melindungi warisan budaya tak beda yang tidak saja ada di satu negara tertentu – seperti kebaya.
Usulan untuk melakukan pengajuan bersama oleh negara-negara ASEAN muncul dari inisiatif Ketua Delegasi Tetap RI Untuk UNESCO, Mohamad Oemar, pada awal akhir 2021, yang kemudian disepakati pada pertemuan tingkat pimpinan negara oleh Indonesia dan Malaysia. Rencana pengajuan bersama itu kemudian ditindaklanjuti oleh perwakilan lima negara dan terlibat aktif dalam persiapan pengajuan berkas nominasi.
Komunitas kebaya dan perwakilan negara dari lima negara peserta pertama kali bertemu pada November 2022 di Negeri Sembilan, Malaysia di mana mereka berbagi informasi dan strategi, serta mengusulkan langkah-langkah perlindungan, menyusun formulir dan mendukung nominasi. Sebuah lokakarya serupa diadakan oleh Indonesia di Jakarta pada Februari 2023.
Dokumen nominasi diselesaikan melalui pertemuan daring oleh Singapura sebelum diajukan ke UNESCO pada Maret 2023, dengan proposal berjudul “Kebaya: Pengetahuan, Keterampilan, Tradisi dan Praktik.”
Dukungan Gerakan “Kebaya Goes To School, Campus dan Office”
Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) sebagai salah satu organisasi yang mempelopori gerakan berkebaya dalam keseharian perempuan Indonesia sejak tahun 2014, menyambut baik penetapan UNESCO. Diwawancarai melalui telepon, Ketua Umum PBI Rahmi Hidayati mengatakan “dengan penetapan ini maka masyarakat sedianya semakin mempertahankan dan mensosialisasikan keberadaan kebaya.”
Rahmi, yang sehari-hari mengenakan kebaya, termasuk saat ia naik gunung (hiking) atau jalan-jalan yang merupakan salah satu hobby-nya, menambahkan “dengan sering-sering berkebaya, maka kelestariannya akan terjaga.”
Ia juga mendorong untuk mensosialisasikan kebaya pada generasi yang lebih muda.
“Karena jika tidak, maka mereka tidak kenal kebaya, tidak cinta, dan hanya mau mengenakan kebaya di acara khusus, jadi jarang dipakai. Kalau jarang dipakai, bagaimana bisa melestarikannya. Jadi ke depan tugas kita mengajak anak-anak muda mengenal, mengenakan dan membuat mereka jatuh cinta pada kebaya," katanya.
Saat ini Perempuan Berkebaya Indonesia, kata Rahmi, sedang mendorong gerakan “Kebaya Goes to School,” “Kebaya Goes to Campus,” dan “Kebaya Goes to Office.” Yang menarik gerakan “Kebaya Goes to Office” yang langsung disambut baik banyak perempuan pekerja, termasuk mereka yang bekerja di kantoran. Kini bahkan ada gerakan “Selasa Berkebaya,” yang mengajak perempuan mengenakan kebaya saat beraktifitas pada Selasa.
“Memang secara psikologis, sempat banyak yang mengira berkebaya itu ribet dan jadul, seperti orang tua. Ini yang harus kita hilangkan,” ujar Rahmi penuh semangat.
Lewat fashion show dan diskusi yang menghadirkan cara-cara mengenakan kebaya dengan mudah, mulai banyak anak muda yang suka berkebaya.
Yang juga di luar dugaan, kata Rahmi, ketika bicara dengan anak muda yang mulai tertarik berkebaya, mereka tidak saja suka kebaya-kebaya tradisional dan modern, tetapi juga kisah di balik setiap model kebaya, asal usul dan perangkat untuk mempercantiknya.
“Jadi mereka mulai bertanya, kenapa ada kebaya kutubaru, apa yang membedakan kebaya encim (kebaya Betawi) dan kebaya Jawa, kebaya apa yang sebaiknya dikenakan untuk pernikahan, atau acara keluarga sederhana, perhiasan apa yang tepat, kain dan motifnya, dan banyak lagi,” tambah Rahmi.
Perempuan Berkebaya Indonesia juga berharap upaya serupa dilakukan di negara-negara yang ikut mengajukan kebaya sebagai warisan tak benda ke UNESCO. Meskipun, Rahmi menegaskan, “asal usul kebaya tetap dari Indonesia, jadi kita harus melestarikannya, lepas dari negara-negara lain akan tetap melakukannya atau tidak.”
"Ini penting karena “kebaya bukan sekadar busana, kebaya merupakan simbol perempuan Indonesia yang lembut, tetapi juga perempuan yang kuat dan selalu berjuang,” ujarnya. [fw/em]
Forum