Tautan-tautan Akses

Hasil Studi: Obat HIV Tidak Terkait dengan Depresi


Seorang dokter mengambil darah seorang pria untuk memeriksa HIV/AIDS di unit pengujian lapangan di Ndeeba, pinggiran ibu kota Uganda, Kampala. (Foto: Reuters/Edwar Echwalu)
Seorang dokter mengambil darah seorang pria untuk memeriksa HIV/AIDS di unit pengujian lapangan di Ndeeba, pinggiran ibu kota Uganda, Kampala. (Foto: Reuters/Edwar Echwalu)

Sebuah studi baru terkait dengan sebuah obat HIV populer dapat meredakan kekhawatiran mengenai kaitan antara obat itu dengan depresi. Para peneliti di Uganda menemukan bahwa efavirenz, yang sebelumnya dikhawatirkan dapat menyebabkan depresi dan bunuh diri, ternyata tidak menyebabkan efek samping yang dikhawatirkan tersebut kepada para pasien pengguna obat tersebut.

Efavirenz adalah, pil dengan harga terjangkau yang dikonsumsi sekali sehari yang digunakan di seluruh dunia untuk mengobati dan mencegah HIV/AIDS. Obat ini “disukai” oleh sebagian besar pasien di dunia, menurut Mark Siedner dari Africa Health Research Institute, “khususnya di negara-negara yang bergantung pada bantuan global untuk pengobatan HIV.”

Namun ada yang mengkhawatirkan efek samping dari efavirenz.

Beberapa studi di AS dan Eropa menemukan risiko dari penggunaan obat tersebut yang dapat menyebabkan depresi atau bunuh diri, sementara studi lain yang dilakukan tidak menemukan risiko tersebut.

Hasil temuan yang berbeda tersebut telah mendorong banyak dokter di Amerika Serikat untuk memberikan obat yang lebih mahal namun dianggap lebih aman.

Siedner ingin mengamati sekali lagi tentang risiko dari depresi, kali ini pada populasi di Afrika. Dari tahun 2005 hingga 2015, ia dan sebuah tim yang terdiri dari dokter-dokter Uganda dan AS melacak 694 pasien yang mengkonsumsi efavirens atau pengobatan antiretroviral lainnya. Secara reguler mereka bertanya kepada para pasien itu apakah mereka mengalami depresi atau mempertimbangkan untuk melakukan bunuh diri.

Tidak ada bedanya

Hasil analisis mereka, yang dipublikasikan di the Annals of Internal Medicine, menunjukkan tidak ada bedanya antara dua metode pengobatan tersebut. Siedner mengatakan pada VOA, "Dengan kata lain, efavirenz tidak terkait dengan risiko depresi. Bila ada, tampaknya ada sebuah sinyal yang berpotensi untuk mengaitkan obat itu dengan berkurangnya risiko depresi. Namun sinyal itu tidak cukup kuat untuk dapat kami nyatakan."

Para penyusun studi ini melaporkan dari 17 peserta yang meninggal dalam rentang pelaksanaan studi ini, tak satupun dari kematian yang terjadi disebabkan oleh tindakan bunuh diri.

Siedner memiliki dua kemungkinan penjelasan mengapa hasil temuan mereka berbeda dengan hasil temuan di negara-negara Barat. “Satu potensi penyebabnya adalah setiap kelompok etnis di dunia, sudah barang tentu memiliki perbedaan, dan berbeda dalam banyak hal – berbeda dari segi sosial, dari segi lingkungan, dan dalam hal ini mungkin secara genetik berbeda.” Timnya berusaha untuk mencari tahu apakah gen yang mengendalikan metabolisme dari obat itu berperan dalam hasil temuan studi.

Penjelasan kedua adalah efektivitas dari obat itu. Karena efavirenz begitu manjur, bisa jadi obat itu membuat orang tetap merasa lebih sehat dibandingkan perkiraan mereka, sehingga lebih sedikit pasien yang merasakan emosi negatif.

Studi ini penting, ujar Anthony Fauci, yang mengepalai the National Institute of Allergy and Infectious Diseases, karena temuan ini menampik “hasil pengamatan awal terkait munculnya ide untuk bunuh diri dan timbulnya depresi” yang disebabkan oleh efavirenz. Ia mengatakan pada VOA, “menurut saya dengan adanya hasil temuan yang bertolak belakang dari laporan-laporan ini, akan ada orang yang mengusulkan untuk melakukan studi acak dan mengamati hasilnya. Jadi hasil temuan dalam studi ini tidak akan menjadi akhir dari segalanya.”

Sejalan dengan bertambahnya penelitian terkait keamanan efavirenz, obat-obatan yang baru dengan harga yang lebih terjangkau yang berpotensi untuk menggantikannya akan segera diperkenalkan. Salah satunya, dolutegravir, namun juga tetap mengandung risiko. Sebuah studi yang dilakukan di Botswana menemukan dolutegravir terkait dengan kerusakan pada saluran syaraf dalam embrio, yang menjadikan obat ini mungkin tidak aman untuk wanita hamil. Seperti yang sudah-sudah, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk memastikan apakah ini masalah yang biasa atau bersifat spesifik terhadap populasi dimana penelitian ini dilakukan di Botswana.

“Saya rasa bidang ini sekarang masih belum mengalami perubahan berarti,” ujar Siedner saat ditanyakan tentang dolutegravir dan masa depan pengobatan HIV. [ww/dw]

XS
SM
MD
LG