Perusahaan minyak dan gas (migas) asal Amerika Serikat ExxonMobil berkomitmen untuk menanamkan investasi pada proyek penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) dan pabrik petrokimia di tanah air. Pemerintah mengatakan investasi ini akan mendukung pengembangan berkelanjutan, namun sejumlah aktivis menilai investasi ini sebagai solusi palsu dan melanggengkan penggunaan energi kotor.
JAKARTA - Komitmen investasi ExxonMobil pada proyek penyimpanan karbon dan pabrik petrokimia di Indonesia, pada tahap awal mencapai US$10 miliar, atau sekitar Rp162 triliun. Komitmen itu disepakati dengan penandatanganan nota kesepahaman oleh Kemenko Perekonomian dan ExxonMobil di Jakarta, Rabu (22/1).
“Jadi hari ini, adalah signing daripada MoU di mana MoU salah satu project-nya adalah carbon capture and storage (CCS) dan juga terkait industri di petrochemical yang fokus pada plastik dan sintesis fiber. Investasinya sekitar USD10 miliar,” ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto kepada wartawan.
Airlangga menjelaskan investasi ini sejalan dan turut mendukung kebijakan hilirisasi Presiden Prabowo Subianto, dan diharapkan akan menciptakan Pembangunan berkelanjutan. Proyek penyimpanan karbon (carbon capture and storage CCS) yang baru pertama kali dilakukan di Indonesia, diproyeksikan akan mengurangi emisi karbon sebesar 90 persen.
Lebih jauh, Airlangga berharap investasi ini juga dapat memberi manfaat pada masyarakat, seperti penciptaan lapangan kerja, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) tanah air. ExxonMobil menegaskan komitmennya untuk melatih pekerja-pekerja Indonesia.
Infrastruktur CSS
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan komitmen investasi ExxonMobil ini akan berkembang hingga US$15 miliar. “Kalau di catatan kami, ini dua-duanya kira-kira (sampai) US$15 miliar,” ungkapnya.
Menurut rencana infrastruktur CSS akan dibangun di dasar laut. Tetapi hingga saat ini otoritas berwenang di Indonesia masih mencari lokasi yang tepat untuk dijadikan tempat penyimpanan karbon, yang diperkirakan mampu menyimpan hingga 3 juta ton karbon.
“Rencananya di Sunda Asri, sedang mencari lokasi tepatnya, antara Selat Sunda dan di Laut Jawa. Karena CCS itu ada yang bisa dimasukkan di dasar laut, dan ada yang bisa masuk ke bebatuan atau langsung ke bumi. Mereka sedang mempertimbangkan untuk membuat fasilitas storage (penyimpanan) yang besar untuk CCS. Potensi CCS ini ke depan akan sangat besar sekali untuk Indonesia,” tambah Susiwijono.
Sementara untuk lokasi pabrik petrokimia rencananya juga akan dibangun di Pulau Jawa. “Kita sedang membantu mencarikan lokasi untuk investasi industri petrochemical yang cukup besar, kalau tidak salah mereka perlu sekitar 500 hektar. Pilihannya ada di beberapa kawasan sekitar Jawa, karena mereka minta jaraknya kurang lebih paling jauh sekitar 100 kilometer dari lokasi storage dia,” paparnya.
Greenpeace Indonesia: Solusi Palsu Dekarbonisasi
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik mengatakan proyek CCS merupakan solusi palsu untuk menurunkan emisi karbon. Ini dikarenakan emisi yang kelak akan ditangkap atau disimpan oleh CCS itu merupakan emisi yang dikeluarkan oleh pembakaran batu bara dalam PLTU atau emisi yang dihasilkan ketika mengebor sumur minyak dan gas.
“Jadi emisi itu mereka capture, kemudian mereka simpan. Persoalannya ketika mereka meng-capture atau menyimpan emisi ini, dia akan penuh suatu saat. Jadi dia tidak akan hilang, tetap ada disitu,” ungkap Iqbal.
Ketika ruang penyimpanan itu penuh, tambah Iqbal, maka emisi karbon yang disimpan itu akan kembali disuntikan kepada sumur-sumur minyak dan gas (migas) yang sebelumnya sudah dianggap tidak menghasilkan sumber daya alam dengan baik, namun masih ada sejumlah potensi migas di dalamnya.
“Ketika dia disuntikan, kemudian mereka berharap oil and gas itu akan naik. Ini sebenarnya di satu sisi dia seakan-akan menurunkan emisi karena dia ditangkap, tetapi suatu saat dia akan dilepaskan kembali ke bumi, dan ketika dilepaskan untuk menaikkan produksi oil and gas, dia akan (menimbulkan) emisi lagi. Ini makanya kita sebut solusi palsu,” jelasnya.
Lebih jauh Iqbal menekankan, teknologi CCS ini merupakan sebuah teknologi yang mahal, yang jika diterapkan di sebuah PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) maka akan melipatgandakan biaya operasional. Bukan tidak mungkin biaya itu akan dibebankan kepada konsumen. “Jadi ini bukan bagian dari transisi energi. Hanya menyimpan tapi tidak me-remove emisi from the atmosfer,” tegasnya.
Iqbal menyarankan kepada pemerintah untuk lebih menggalakkan transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan, dan bukan teknologi penangkapan atau penyimpanan karbon “yang hanya menumpuk sampah dan tidak menyelesaikan masalah.”
“Sebenarnya kalau pemerintah benar-benar berkomitmen untuk melakukan transisi energi, itu juga bisa dilakukan karena secara teknologi lebih advance daripada CCS, di mana dari sisi keamanan lebih aman, dan lebih pasti dari sisi penurunan emisi, dan berjangka panjang. Selain itu, sumber energi dari renewable energy kan tidak habis. Sedangkan CCS adalah sesuatu yang memang akan penuh. Dan pada suatu waktu ketika dia disuntikan ke sumur migas, maka oil and gas-nya akan habis. Jadi sebenarnya untuk long term investment akan lebih menguntungkan di renewable energy,” tuturnya.
CELIOS: CSS adalah Upaya Melanggengkan Penggunaan Energi Fosil
Senada dengan Iqbal, Ekonom dari CELIOS Galau D Muhammad melihat investasi pada proyek penyimpanan karbon atau CCS ini merupakan upaya untuk melanggengkan penggunaan energi fosil atau energi kotor.
“Kami melihat dengan adanya CCS , ini upaya lain untuk meremajakan atau memanjangkan usia PLTU. Jadi ini hanya sebatas upaya untuk memodernisasi teknologi batubara, yang pada prinsipnya posisi CELIOS selama ini selalu konsisten bahwa upaya untuk mempertahankan PLTU itu tidak akan berkontribusi apapun untuk merubah alternatif kita ke arah transisi energi,” ungkap Galau.
Multiplier effect yang digadang-gadang pemerintah dalam investasi ExxonMobil ini dinilai tidak sebanding dengan dampak sosial dan ekologis yang kerap ditimbulkan oleh sebuah industri ekstraktif. Pemerintah, kata Galau, harus mencari upaya agar industri ekstraktif tersebut kelak bisa berkelanjutan tanpa menimbulkan dampak negatif kepada masyarakat dan lingkungan. [gi/em/hj/aa]
Forum