Tautan-tautan Akses

Dunia Internasional Kecam RUU Anti-LGBTQ+ yang Disetujui Parlemen Ghana


Pasangan sesama jenis di Ghana hadir dalam sebuah diskusi mengenai kehidupan komunitas LGBTQ di negara tersebut. Diskusi digelar di Accra, Ghana, pada 23 Januari 2024. (Foto: Reuters/Francis Kokoroko)
Pasangan sesama jenis di Ghana hadir dalam sebuah diskusi mengenai kehidupan komunitas LGBTQ di negara tersebut. Diskusi digelar di Accra, Ghana, pada 23 Januari 2024. (Foto: Reuters/Francis Kokoroko)

Rancangan undang-undang yang mengkriminalisasi kelompok LGBTQ+ di Ghana dan para pendukungnya memicu kecaman internasional pada Kamis (29/2), setelah disetujui parlemen negara itu. PBB menyebut undang-undang itu “sangat meresahkan” dan mendesak agar RUU itu dibatalkan.

Dalam sebuah pernyataan, juru bicara Kantor Komisioner Tinggi PBB Ravina Shamdasani mengatakan bahwa RUU itu memperluas cakupan sanksi kriminal terhadap masyarakat lesbian, gay, biseksual, transgender dan queer karena menjadi diri mereka sendiri. RUU itu juga disebut mengancam pihak-pihak yang dianggap sekutu kelompok tersebut.

RUU, yang disahkan parlemen negara Afrika barat itu pada Rabu (28/2), pertama kali diajukan tiga tahun lalu.

RUU itu mengkirminalisasi hubungan dan aktivitas penyuka sesama jenis.

Legislasi itu juga menyasar para pendukung, kegiatan promosi maupun pendanaan aktivitas yang berhubungan dengan LGBTQ+.

Mereka yang divonis bersalah terancam maksimal sepuluh tahun penjara.

RUU itu telah diserahkan kepada presiden Ghana untuk disahkan menjadi undang-undang.

Ghana secara umum dianggap lebih menghormati hak asasi manusia dibandingkan sebagian besar negara Afrika lain. Akan tetapi, sejak legislasi itu disetujui parlemen, kecaman internasional pun mengemuka.

Audrey Gadzekpo, kepala Pusat Pembangunan Demokratis, menyebut legislasi itu “sama sekali tidak penting.”

“Konstitusi adalah hukum tertinggi di negara ini dan RUU mana pun dari parlemen harus mematuhi konstitusi, dan kami rasa RUU ini tidak demikian,” tambahnya.

Amerika Serikat mengaku sangat terganggu oleh RUU tersebut. Alasannya, RUU itu mengancam kebebasan berpendapat warga Ghana. Untuk itu, AS mendesak keabsahan hukumnya ditinjau kembali, kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller, hari Rabu (28/2).

Dalam sebuah wawancara radio, jaksa agung sekaligus menteri kehakiman Ghana, Godfred Yeboah Dame, mengatakan dirinya tidak akan menyarankan presiden menandatangani RUU yang tidak mematuhi konstitusi.

Masyarakat LGBTQ+ di Ghana mengaku khawatir akan keselamatan orang-orang di sekitar mereka, seperti penyedia layanan kesehatan, dan diri mereka sendiri. [rd/jm]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG