Tautan-tautan Akses

Dari Sesajen Sampai Wayang: Mencari Keselarasan Agama dan Tradisi di Nusantara


Pagelaran wayang kulit masih digemari saat ini. (Foto: VOA/Nurhadi)
Pagelaran wayang kulit masih digemari saat ini. (Foto: VOA/Nurhadi)

Polemik terkait wayang dan kasus tendangan sesajen di Semeru beberapa waktu lalu kembali mencuatkan pertanyaan mengenai hubungan agama dan tradisi. Sejumlah pakar berpendapat, Nusantara memiliki ciri khas terkait persoalan ini, yang membutuhkan kearifan seluruh pihak dalam bersikap.

Barangkali, dalang Miko adalah sosok hasil pertemuan yang ideal antara agama dan tradisi. Dia menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja di pesantren. Setelah itu, Miko kuliah pedalangan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, sebelum berpindah ke Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, di program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.

“Saya satu-satunya alumni pesantren di Lamongan dulu, yang berhasil membawa wayang ke dalam pondok pesantren. Pertama adanya wayangan, pertama kali santri mendengar gamelan dan melihat pertunjukan wayang langsung, ya ketika itu,” kata Miko kepada VOA.

Dalang Ki Miko Cakcoy Pathoknegoro alias Miftahul Khoir. (Foto: Dok Pribadi)
Dalang Ki Miko Cakcoy Pathoknegoro alias Miftahul Khoir. (Foto: Dok Pribadi)

Miko atau lengkapnya Miftahul Khoir, waktu kecil adalah santri di pondok pesantren Tarbiyatul Tholabah, Kranji, Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Dia kini mempunyai nama panggung Ki Miko Cakcoy Pathoknegoro. Sebagai dalang, namanya cukup dikenal di Yogyakarta dan sekitarnya. Kemampuannya juga unik, karena bekal ilmu agama yang cukup, dia mampu berdakwah menggunakan media wayang kulit. Dia menyebut pentasnya saat ini sebagai wayang ngaji atau wayang dakwah.

Dia mengaku prihatin dengan anjuran untuk menghapus wayang, tetapi juga sedih melihat respons terhadap ucapan itu, juga telah berlebihan dan bahkan berisi caci maki.

Pentas wayang kulit. (Foto: VOA/Nurhadi)
Pentas wayang kulit. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Dua-duanya bagi saya kurang tepat ketika dihadapkan situasi saat ini. Kita bebas bermedia sosial, tetapi jangan dibenturkan dengan peristiwa semacam itu. Dari sisi pedalangan saya diusik, dari sisi ngaji saya juga terusik,” ujarnya.

Selama belajar pedalangan di ISI, Miko tahu bahwa wayang sudah ada sejak sebelum Islam masuk ke Nusantara. Wali Sanga kemudian memanfaatkan wayang sebagai media dakwah, dengan berbagai penyesuaian agar tidak melanggar hukum Islam. Di antara penyesuaian yang dilakukan adalah mengubah bentuk tubuh, memanjangkan tangan, hanya memasang satu mata, mengubah wajah dan menipiskannya hingga menjadi wayang kulit seperti saat ini. Prinsipnya, wayang kulit dikreasikan secara baru agar tidak menyerupai bentuk manusia.

Sejak awal, kata Miko, budaya asli dan agama punya sisi yang bisa berhadapan.

“Kalau memang mau dibenturkan, sangat bisa sekali. Cuma selama ini kan orang menjaga supaya itu jangan berbenturan. Jangan sampai berkonflik. Kalau misalnya ada orang yang mau mengonflikkan, itu bisa. Dan itu isu yang sangat seksi sekali,” tambah Miko.

Miko mengakui, belajar pedalangan membuat dia lebih toleran dalam beragama. Sewaktu lulus pesantren dan ingin kuliah di ISI Yogyakarta, orang tua, kyai dan guru sempat melarangnya. Namun, tekadnya sudah bulat, dan kini dia buktikan bahwa budaya dan agama bisa selaras. Dia berprinsip, orang harus memilih apakah akan menjadikan agama dan budaya lokal sebagai senjata berkonflik, atau mencari kedamaian.

“Kalau kebutuhan untuk cari pangung di media sosial, biar viral, dan sebagainya, sangat bisa. Tetapi kalau kebutuhan kita, sayuk rukun, ayem tentrem, tata titi kertoraharjo, damai, islah, semuanya kita bisa gunakan untuk kedamaian,” tandasnya.

Sesajen yang dibuat masyarakat di Kebumen sebelum acara sunatan digelar. (Foto: VOA/Nurhadi)
Sesajen yang dibuat masyarakat di Kebumen sebelum acara sunatan digelar. (Foto: VOA/Nurhadi)

Sesajen dan Kearifan Leluhur

Dalam kasus sesajen, antropolog Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Dr Argo Twikromo mengajak semua pihak menempatkan sudut pandang masa lalu untuk mengkajinya. Sesajen tidak bisa dikupas dengan menempatkan diri sebagai manusia modern. Di mata leluhur Nusantara, kehidupan adalah keselarasan.

Antropolog Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Dr Argo Twikromo. (Foto: Dok Pribadi)
Antropolog Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Dr Argo Twikromo. (Foto: Dok Pribadi)

“Kehidupan itu ditata seperti ada relasi yang selaras, antara manusia dengan sesamanya. Dengan alam, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, dan kepada Sang Pencipta,” kata Argo.

Sebelum agama apapun datang ke Nusantara, masyarakat sudah memiliki sejumlah tradisi, dengan sesajen di dalamnya. Sesajen adalah upaya mengelola kehidupan yang harmonis.

“Untuk menjalin hubungan baik dengan alam, supaya hubungannya serasi. Kalau dia memberi kebaikan, pasti ada juga yang memberi kebaikan pada kita,” tambahnya.

Seorang tetua berdoa dengan membawa sesajen di Kebumen, Jawa Tengah. (Foto: VOA/Nurhadi)
Seorang tetua berdoa dengan membawa sesajen di Kebumen, Jawa Tengah. (Foto: VOA/Nurhadi)

Sesajen, dalam pemahaman ini bukan dimaksudkan untuk menyembah. Namun lebih sebagai upaya saling menghargai dan saling melindungi. Dalam konteks masyarakat Jawa misalnya, pihak yang diberi sesajen kadang dinilai begitu dekat dan dikenal baik, sehingga disebut namanya. Penunggu pohon, hutan atau gunung misalnya, dipanggil dengan sebutan Mbah atau Eyang.

Seperti hidup bertetangga, masyarakat menginginkan hubungan baik dengan alam, agar ada kehidupan yang serasi.

Masyarakat modern kemudian memaknai itu dengan berbeda, sehingga kata Argo, ada kecenderungan untuk meninggalkan sesajen.

Sesajen merupakan bagian keseharian masyarakat Bali. (FotoL VOA/Nurhadi)
Sesajen merupakan bagian keseharian masyarakat Bali. (FotoL VOA/Nurhadi)

Namun, tindakan meninggalkan sesajen itu tidak disertai untuk memahami esensinya di masa lalu. Sesajen yang dimaksudkan untuk turut menjaga hutan, agar lestari dan memberi mata air untuk desa, ditinggalkan. Namun, upaya untuk menjaga hutan dengan sadar, tidak dilakukan.

“Ketika itu dinilai tidak rasional, yang hilang bukan hanya sesajinya, tetapi kebijaksanaan dan esensi relasi selaras terkait dengan sesama, alam dan Sang Pencipta. Dan antar ketiganya,” tambah Argo.

Padahal, leluhur menerapkan sesajen antara lain adalah untuk menjaga kelestarian alam agar dapat dinikmati generasi saat ini dan masa depan. Bisa jadi, tanpa sesajen itu, tidak ada banyak yang bisa diwarisi di Nusantara, karena hutan telah rusak sejak lama.

Semua Saling Belajar

Guru Besar Sejarah Budaya Islam UIN Sunan Kalijaga DIY Prof Muhammad Machasin. (Foto: Dok Pribadi)
Guru Besar Sejarah Budaya Islam UIN Sunan Kalijaga DIY Prof Muhammad Machasin. (Foto: Dok Pribadi)

Muhammad Machasin, profesor sejarah budaya Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta mengatakan, Islam sebagaimana agama lain, ketika datang ke berbagai tempat berhadapan dengan tradisi, filosofi, bahkan agama yang sudah ada di masyarakat.

“Sikap Islam terbagi menjadi tiga. Kalau tradisi itu bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam, lalu ditolak. Tetapi ditolak bukan berarti harus dihancurkan, itu dalam pengertian diisi atau dikemas lagi dengan nilai-nilai Islam,” kata Machasin.

Sikap kedua adalah membiarkan saja atau bahkan didorong berkembang, jika tidak bertentangan dengan Islam. Yang ketiga, adalah meramu atau mengembangkannya dengan bentuk baru yang islami.

Dari Sesajen Sampai Wayang: Mencari Keselarasan Agama dan Tradisi di Nusantara
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:02 0:00

Terkait wayang, lanjut Machasin, sebenarnya banyak hal di dalamnya yang awalnya dinilai bertentangan dengan nilai dasar Islam. Namun, ada juga sisi yang sesuai. Wayang adalah sesuatu yang kompleks, dan tidak bisa dilihat dari satu sisi saja.

“Di situ ada unsur pemberian nasihat, itu tidak bertentangan dengan Islam. Tetapi ada pemujaan terhadap roh, misalnya penjaga kampung, itu yang bertentangan. Oleh para wali, hal-hal yang bertentangan dengan prinsip Islam itu dibuang, diganti dengan nilai-nilai Islam,” tambahnya.

Dalam soal sesajen, lanjut Machasin, sudut pandang yang dipakai juga tidak bisa satu sisi saja. Sesajen adalah tradisi yang tidak mudah diselesaikan, karena memang ada nilai yang bertentangan, tetapi ada juga yang bermakna upaya pelestarian alam. Sebagaimana Argo Twikromo di atas, Machasin juga berpendapat pada sisi yang bermanfaat bagi lingkungan semacam ini, sesajen harus dipahami.

Pertunjukkan wayang beber dalam sebuah acara di Maryland, AS, yang juga menampilkan grup musik keroncong Rumput. (Foto: VOA: Puspita Sariwati)
Pertunjukkan wayang beber dalam sebuah acara di Maryland, AS, yang juga menampilkan grup musik keroncong Rumput. (Foto: VOA: Puspita Sariwati)

Machasin meminta semua pihak untuk menahan diri. Jika seseorang mengharamkan wayang, dia menyarankan pihak tersebut memahami lebih dalam lagi.

“Jangan tergesa-gesa memutuskan sesuatu. Wayang itu sesutu yang sudah diterima masyarakat, setidaknya Jawa, Sunda, dan Bali. Sampai hari ini masih melestarikan wayang. Kadang tidak mudah memutuskan, dalam posisi Indonesia yang multikultural,” lanjutnya.

Machasin menempatkan upaya penerimaan itu terhadap prinsip fatwa atau nasihat yang sebetulnya tidak mengikat. Muhammadiyah misalnya mengharamkan rokok, tetapi masih ada anggotanya yang merokok. Demikian pula NU yang mengharamkan infotainment, tetapi tetap ditonton oleh warganya.

Banten, sesajen Hindu Bali (Foto: Gus Santi)
Banten, sesajen Hindu Bali (Foto: Gus Santi)

“Dalam fikih, yang namanya fatwa itu tidak mengikat. Fatwa itu pendapat atau nasihat hukum, tidak harus diikuti, bahkan oleh orang yang meminta fatwa,” tandasnya.

Dalam kasus penceramah dan wayang, posisinya bahkan ada di bawah fatwa, karena itu hanya merupakan jawaban dari sebuah pertanyaan. Machasin menekankan pada soal-soal semacam ini, agama memberi pedoman, yaitu menanyakan pada hati nurani sendiri untuk menentukan sikap karena fatwa itu bersifat tidak mengikat. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG