Bayangkan sebuah matakuliah di universitas yang diikuti oleh 160.000 mahasiswa yang duduk di depan komputer di seluruh dunia, semua belajar dari profesor yang sama. Ini bukan cerita fiksi ilmiah. Ini adalah matakuliah di Universitas Stanford, California yang diberikan oleh Sebastian Thrun.
"Kami mengajar matakuliah ini di Stanford dan sekarang kami menyebarkannya lewat internet untuk seluruh dunia. Kami sangat gembira dengan perkembangan ini," papar Thrun.
Matakuliah “artificial intelligence” yang diberikan oleh Sebastian Thrun dan Peter Norvig dapat ditemukan di YouTube. Matakuliah ini gratis, dan para pendukungnya mengatakan hal itu menunjukkan bahwa cendekiawan ternama dapat mengajar beberapa mata pelajaran untuk siapapun, di manapun.
Menurut Profesor Rita McGrath dari Universitas Columbia di New York, selama ini banyak universitas yang lamban mengikuti perubahan.
"Model bisnis dasar pendidikan tinggi kita belum berubah sejak zaman Socrates. Model itu adalah dengan menampilkan seorang dosen berdiri di depan kelas. Versi terbaru dari model ini adalah dengan melibatkan mahasiswa untuk mengajukan pertanyaan,” kata Profesor McGrath.
Profesor McGrath melacak industri yang mengalami perubahan cepat. Ia mengatakan teknologi digital telah meningkat dan akan memicu perubahan besar. Perubahan-perubahan itu termasuk bagaimana guru mengajar, menurut Profesor Spencer Benson dari Universitas Maryland.
Ia memaparkan, "Cara mengajar telah berubah, termasuk peran guru atau profesor yang tadinya menjadi penyampai isi matakuliah menjadi orang yang membantu mahasiswa mencari dan mengevaluasi dan pada akhirnya dapat menggunakan isi matakuliah itu."
Perubahan lain adalah bagaimana tingkat kemajuan mahasiswa diukur. Rob Hughes, pimpinan TopCoder, perusahaan yang memberikan ijazah bagi mahasiswa yang menempuh pelajaran melalui internet, berbicara melalui Skype.
"Tentu saja kode, pengembangan piranti lunak, matematika, algoritma, ilmu komputer; berbagai mata kuliah seperti itu sangat baik untuk sistem pengujian yang obyektif dan dilakukan secara otomatis," ujarnya.
Yang lebih sulit dinilai adalah kemajuan mahasiswa dalam bidang sastra, sejarah, dan bidang non-teknis lainnya. Salah satu solusinya adalah dengan menggunakan kelas online untuk menyajikan materi, tetapi masih menggunakan instruktur untuk menilai pemahaman mahasiswa.
Itulah yang telah dilakukan oleh Profesor George Siemens di Universitas Athabasca di Alberta, Kanada. Ia berbicara kepada VOA melalui Skype.
"Sekarang ini benar-benar merupakan waktu yang sangat menarik dalam bidang pendidikan, tetapi agak sedikit meresahkan karena ada pertanyaan besar tentang apakah universitas akan bertahan, dan jika ya, nantinya seperti apa?" paparnya.
Sementara para pimpinan lembaga pendidikan berpendapat kelak banyak mata kuliah akan diberikan secara online, sebagian mahasiswa di Universitas Maryland khawatir.
Cooper Gilbert, salah seorang mahasiswa, mengatakan, "Tampak akan sedikit asing dan lebih sulit belajar dengan cara demikian.”
Mahasiswa lainnya, Chuma Obinemen, mengatakan, "Belajar sampai larut malam bersama teman-teman di asrama rasanya penting untuk mendapat nilai baik dan memahami mata kuliah.”
Para mahasiswa itu menyukai gagasan bahwa kuliah online bisa lebih murah dari kuliah tradisional dan tersedia untuk orang di luar universitas. Sementara sebagian cendekiawan mengatakan universitas akan menolak perubahan, sebagian yang lain mengatakan dengan tegas bahwa kuliah online besar-besaran hanya merupakan bagian revolusi digital yang akan segera membawa perubahan-perubahan dramatis terhadap bagaimana kita mengumpulkan dan berbagi ilmu pengetahuan.
"Kami mengajar matakuliah ini di Stanford dan sekarang kami menyebarkannya lewat internet untuk seluruh dunia. Kami sangat gembira dengan perkembangan ini," papar Thrun.
Matakuliah “artificial intelligence” yang diberikan oleh Sebastian Thrun dan Peter Norvig dapat ditemukan di YouTube. Matakuliah ini gratis, dan para pendukungnya mengatakan hal itu menunjukkan bahwa cendekiawan ternama dapat mengajar beberapa mata pelajaran untuk siapapun, di manapun.
Menurut Profesor Rita McGrath dari Universitas Columbia di New York, selama ini banyak universitas yang lamban mengikuti perubahan.
"Model bisnis dasar pendidikan tinggi kita belum berubah sejak zaman Socrates. Model itu adalah dengan menampilkan seorang dosen berdiri di depan kelas. Versi terbaru dari model ini adalah dengan melibatkan mahasiswa untuk mengajukan pertanyaan,” kata Profesor McGrath.
Profesor McGrath melacak industri yang mengalami perubahan cepat. Ia mengatakan teknologi digital telah meningkat dan akan memicu perubahan besar. Perubahan-perubahan itu termasuk bagaimana guru mengajar, menurut Profesor Spencer Benson dari Universitas Maryland.
Ia memaparkan, "Cara mengajar telah berubah, termasuk peran guru atau profesor yang tadinya menjadi penyampai isi matakuliah menjadi orang yang membantu mahasiswa mencari dan mengevaluasi dan pada akhirnya dapat menggunakan isi matakuliah itu."
Perubahan lain adalah bagaimana tingkat kemajuan mahasiswa diukur. Rob Hughes, pimpinan TopCoder, perusahaan yang memberikan ijazah bagi mahasiswa yang menempuh pelajaran melalui internet, berbicara melalui Skype.
"Tentu saja kode, pengembangan piranti lunak, matematika, algoritma, ilmu komputer; berbagai mata kuliah seperti itu sangat baik untuk sistem pengujian yang obyektif dan dilakukan secara otomatis," ujarnya.
Yang lebih sulit dinilai adalah kemajuan mahasiswa dalam bidang sastra, sejarah, dan bidang non-teknis lainnya. Salah satu solusinya adalah dengan menggunakan kelas online untuk menyajikan materi, tetapi masih menggunakan instruktur untuk menilai pemahaman mahasiswa.
Itulah yang telah dilakukan oleh Profesor George Siemens di Universitas Athabasca di Alberta, Kanada. Ia berbicara kepada VOA melalui Skype.
"Sekarang ini benar-benar merupakan waktu yang sangat menarik dalam bidang pendidikan, tetapi agak sedikit meresahkan karena ada pertanyaan besar tentang apakah universitas akan bertahan, dan jika ya, nantinya seperti apa?" paparnya.
Sementara para pimpinan lembaga pendidikan berpendapat kelak banyak mata kuliah akan diberikan secara online, sebagian mahasiswa di Universitas Maryland khawatir.
Cooper Gilbert, salah seorang mahasiswa, mengatakan, "Tampak akan sedikit asing dan lebih sulit belajar dengan cara demikian.”
Mahasiswa lainnya, Chuma Obinemen, mengatakan, "Belajar sampai larut malam bersama teman-teman di asrama rasanya penting untuk mendapat nilai baik dan memahami mata kuliah.”
Para mahasiswa itu menyukai gagasan bahwa kuliah online bisa lebih murah dari kuliah tradisional dan tersedia untuk orang di luar universitas. Sementara sebagian cendekiawan mengatakan universitas akan menolak perubahan, sebagian yang lain mengatakan dengan tegas bahwa kuliah online besar-besaran hanya merupakan bagian revolusi digital yang akan segera membawa perubahan-perubahan dramatis terhadap bagaimana kita mengumpulkan dan berbagi ilmu pengetahuan.