Di saat agresi Rusia di Ukraina memasuki tahun ketiga, China tampak memantau dengan saksama strategi Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengakhiri perang tersebut. Hal itu terjadi ketika Beijing memperhitungkan langkah-langkahnya untuk memosisikan diri sebagai mitra strategis bagi Ukraina sambil mempertahankan kemitraan tanpa batas dengan Rusia, demikian menurut para ahli dan mantan pejabat pemerintahan AS.
Minggu ini, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer dan Presiden Prancis Emmanuel Macron mengadakan pertemuan langsung di Washington, setelah perundingan langsung pada tanggal 18 Februari antara pejabat senior AS dan Rusia di Riyadh, ibu kota Arab Saudi.
Macron bertemu dengan Trump di Gedung Putih pada Senin (24/2) pagi dalam pertemuan yang berlangsung selama hampir dua jam. Kedua pemimpin berpartisipasi dalam konferensi video dengan para pemimpin G7 lainnya yang membahas soal Ukraina.
Sebelumnya pada hari Senin, Presiden China Xi Jinping berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang memberi tahu Xi tentang pembicaraan di Riyadh dan menegaskan kembali "kemitraan strategis komprehensif" antara Rusia dan China. Pernyataan dari pihak Beijing mengatakan, "China menyambut baik upaya positif yang dilakukan oleh Rusia dan pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan krisis."
'Krisis' bukan perang
Selama tiga tahun, pejabat China mengatakan Beijing akan "memainkan peran konstruktif" dalam "penyelesaian krisis politik," menahan diri untuk tidak menggunakan istilah "perang Ukraina" untuk menggambarkan agresi Rusia yang dimulai sejak 24 Februari 2022.
Beijing juga memuji pembicaraan AS-Rusia baru-baru ini, yang tidak dihadiri Ukraina.
China dan Ukraina "membangun kemitraan strategis pada tahun 2011. ... Dalam beberapa tahun terakhir, China telah menjadi mitra dagang terbesar Ukraina," kata Menteri Luar Negeri China Wang Yi kepada Menteri Luar Negeri Ukraina Andrii Sybiha pada 15 Februari lalu di sela-sela Konferensi Keamanan Munich.
"Mengenai krisis Ukraina ... China selalu mengupayakan perdamaian dan mempromosikan pembicaraan," kata Wang. Sangat jelas pernyataan dari pihak China mengenai pertemuan tersebut tidak menyebutkan kedaulatan atau integritas wilayah Ukraina.
Pada 20 Februari, dua hari setelah perundingan AS-Rusia, Wang mengadakan diskusi langsung dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov pada pertemuan tingkat menteri G20 di Johannesburg, Afrika Selatan, di mana Lavrov memberinya pengarahan tentang perundingan Riyadh. Wang menegaskan kembali "kemitraan strategis komprehensif" China dengan Rusia.
Wang mengatakan China "mendukung" semua upaya untuk perdamaian, termasuk "konsensus baru-baru ini yang dicapai antara Amerika Serikat dan Rusia" di Riyadh.
Pembicaraan, bukan negosiasi
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengatakan pembicaraan Riyadh — yang pertama antara Washington dan Moskow dalam beberapa tahun — bukanlah negosiasi yang bertujuan mencapai kesepakatan apa pun tentang Ukraina, meskipun muncul keprihatinan dari Ukraina dan negara-negara Eropa bahwa mereka dikesampingkan dalam perundingan tersebut.
Ia mengatakan perundingan tersebut dimaksudkan untuk menentukan apakah Rusia serius mengenai mengakhiri perang.
Dengan nada bicara yang tertata, Rubio menyebut pembicaraan yang berlangsung selama lebih dari empat jam itu sebagai langkah-langkah menuju pembentukan "jalur komunikasi" tentang masalah bilateral antara Amerika Serikat dan Rusia. Di antara upaya-upaya ini adalah tujuan untuk mencapai " situasi normal dalam misi-misi AS dan kemampuannya untuk berfungsi."
Beberapa analis mengatakan Beijing khawatir akan pulihnya hubungan AS-Rusia.
"Meskipun pemulihan hubungan yang menyeluruh mungkin tidak akan terjadi, mereka cemas karena jika Trump mencabut sanksi terhadap Rusia, maka ketergantungan Moskow pada China akan berkurang," kata Dennis Wilder, yang merupakan penasihat utama Gedung Putih untuk China bagi mantan Presiden AS George W. Bush, kepada RFE/RL.
Namun, analis lain memperingatkan bahwa AS berisiko meningkatkan kampanye informasi global China, yang menggambarkan Washington sebagai sekutu yang tidak dapat diandalkan.
Laksamana Muda Purnawirawan Mark Montgomery, seorang analis pertahanan di Foundation for Defense of Democracies (FDD) yang berpusat di Washington, mengatakan, "Kita segera menyerahkan pengaruh yang kita miliki" dan " secara keliru menyebut siapa agresornya" sementara terburu-buru melakukan pembicaraan dengan Rusia.
China, yang "kebingungan mendengar berita baik ini,” tentu mendapat manfaat, kata Montgomery dalam webinar baru-baru ini yang diselenggarakan oleh FDD.
“Saya yakin diplomat dari China berbisik-bisik ke seluruh dunia bahwa Amerika tidak dapat diandalkan, dan sayangnya, pemerintahan ini memberi mereka bahan pembicaraan,” kata Bradley Bowman, direktur senior Pusat Kekuatan Militer dan Politik di FDD, dalam webinar itu.
Para ahli skeptis
Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri China menolak berkomentar apakah negaranya akan mempertimbangkan untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Ukraina setelah konflik berakhir.
Xi dan Putin dijadwalkan untuk bertukar kunjungan ke Moskow dan Beijing akhir tahun ini. Keduanya mengadakan pertemuan virtual pada 21 Januari lalu. Selain itu, Xi menerima panggilan telepon dari Putin pada Senin (24/2) sore.
Sebagian mantan pejabat AS ragu mengenai sejauh mana pemerintah China benar-benar bersedia bertindak untuk menghentikan perang Rusia terhadap Ukraina. Mereka yakin China mungkin menggunakan masalah tersebut sebagai hal yang menguntungkan dalam menghadapi Trump.
“Saya kira China akan memperhatikan masalah Ukraina, dan mereka akan menawarkan bantuan kepada Trump. Mereka mungkin tidak akan berbuat banyak, lalu mereka akan mengeklaim berhasil,” kata Evan Medeiros, direktur program Kajian Asia di Georgetown University dalam sebuah episode siniar baru-baru ini dengan program Indo-Pasifik German Marshall Fund. Medeiros pernah bertugas di Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih dari tahun 2009 hingga 2015.
“Apa pun yang menjadi kepentingan langsung material mereka, seperti membantu membangun kembali Ukraina, akan mereka dukung. Namun tentu saja, itu tidak ada hubungannya dengan mendorong Rusia untuk mencapai kesepakatan damai. Itu tentang memastikan bahwa perusahaan infrastruktur China mendapatkan banyak kontrak besar,” tambah Medeiros. [my/ka]
Forum