Presiden Amerika Serikat Donald Trump menegaskan rencananya untuk memaksa warga Palestina keluar dari Gaza, saat ia menjamu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada hari Selasa (4/2).
“Saya kira mereka [warga Palestina di Gaza.red] harus mendapatkan sebidang tanah yang bagus, baru, indah, dan kita mendapatkan orang-orang yang dapat mengumpulkan dan untuk membangun Gaza, menjadikannya indah, dapat dihuni dan dapat dinikmati, menjadikannya sebagai rumah,” ujar Trump saat berbicara dengan wartawan menjelang pertemuannya dengan Netanyahu.
Dengan menyebut Gaza sebagai “wilayah yang hancur,” Trump menggambarkan rencananya ini sebagai “alternatif” yang lebih disukai oleh penduduk di wilayah yang dilanda perang itu.
“Saat ini mereka tidak punya pilihan. Apa yang akan mereka lakukan? Mereka ingin kembali ke Gaza. Tapi apa itu Gaza? Tidak ada satu bangunan pun yang masih berdiri di sana,” ujar Trump.
Beberapa hari terakhir ini ratusan ribu warga Palestina di bagian selatan Gaza sudah bergerak ke utara menuju rumah-rumah mereka setelah Israel mengizinkan mereka kembali sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata dengan Hamas.
Perundingan ulang gencatan senjata
Berbicara pada wartawan di Gedung Putih pada Selasa (4/2) pagi, Utusan Khusus AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, mengatakan pemerintah Trump sedang mempertimbangkan untuk merundingkan kembali beberapa bagian perjanjian gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari lalu, sehari sebelum Trump dilantik.
“Sebagian masalahnya adalah karena perjanjian yang ditandatangani saat itu tidak begitu baik. Perjanjian ini bukan diatur oleh pemerintahan Trump. Kami tidak ada hubungannya dengan perjanjian itu. Kini kami sedang mengerjakan dalam kerangka itu dan mencari solusi,” kata Witkoff.
Witkoff menggarisbawahi usulan Trump untuk memindahkan warga Palestina ke negara-negara tetangga, seperti Mesir dan Yordania, dengan mengatakan rencana pembangunan kembali Gaza selama lima tahun sebagaimana diatur dalam perjanjian gencatan senjata bagian ketiga, “benar-benar mustahil.”
“Tidak adil untuk menjelaskan kepada warga Palestina bahwa mereka mungkin bisa kembali ke Gaza lima tahun lagi. Itu tidak masuk akal,” ujarnya seraya membela rencana Trump.
Relokasi warga Palestina dari Gaza
Peneliti di Atlantic Council, Fouad Alkhatib, mengatakan desakan Trump untuk merelokasi warga Palestina itu dapat mengisyaratkan keinginan untuk merundingkan kembali perjanjian gencatan senjata tersebut, khususnya pada tahap kedua.
“Mungkin tujuannya untuk memaksa Hamas memilih antara melepaskan kendali atas Gaza atau meninggalkan wilayah itu jika mereka menginginkan penarikan tentara Israel atau rekonstruksi, atau berhadapan dengan risiko menghadapi pemindahan paksa, meskipun belum jelas bagaimana itu bisa dilakukan,” ujar Alkhatib pada VOA.
Trump pertama kali menyarankan relokasi warga Palestina di Gaza pada bulan Januari lalu, di mana ia menginginkan agar Yordania dan Mesir menampung lebih banyak pengungsi Palestina sebagai bagian dari upaya “membersihkan” Gaza.
Menanggapi hal itu sejumlah negara seperti Mesir, Yordania, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Otoritas Palestina dan Liga Arab, mengeluarkan pernyataan bersama untuk menolak rencana apa pun guna memindahkan warga Palestina dari wilayah mereka di Gaza dan wilayah pendudukan Tepi Barat.
Negara-negara itu memperingatkan bahwa rencana semacam itu “mengganggu stabilitas di kawasan, berisiko memperluas konflik, dan merongrong prospek perdamaian dan hidup bersama di kalangan warganya.”
Sejumlah besar warga Palestina sudah diusir sebanyak dua kali dari wilayah yang sekarang disebut Israel. Pada tahun 1967, perebutan Tepi Barat dan Jalur Gaza oleh Israel membuat 300.000 warga Palestina mengungsi ke Yordania. Pada perang tahun 1948 yang melatarbelakangi berdirinya Israel, sekitar 700.000 warga Palestina meninggalkan rumah mereka – sebuah peristiwa yang diperingati oleh warga Palestina sebagai Al-Nakba, yang berarti “malapetaka”.
Tekanan untuk Netanyahu
Pertemuan Trump dengan Netanyahu berlangsung pada saat yang krusial bagi pemimpin Israel itu, yang sedang menghadapi tekanan dari koalisi sayap kanan untuk mengakhiri gencatan senjata, dan dari publik Israel yang ingin mengakhiri pertempuran dan melihat pembebasan sandera yang masih ditahan oleh Hamas.
Kepala Departemen Studi Politik di Bar Ilan University, Jonathan Rynhold, mengatakan baik Trump maupun Netanyahu memiliki tujuan yang sama untuk mengakhiri kekuasaan Hamas di Gaza dan mengembalikan sandera Israel yang tersisa sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata.
Namun Trump dan Netanyahu menempatkan prioritas yang berbeda pada tujuan-tujuan tersebut.
Bagi Netanyahu, prioritasnya adalah memastikan agar Hamas tidak memiliki masa depan politik, kata Rynhold kepada VOA. Sementara bagi Trump, prioritasnya adalah mempertahankan gencatan senjata “agar ia dapat beralih ke perjanjian normalisasi Israel-Arab Saudi.”
Perjanjian Abraham
Trump pada tahun 2020 menjadi perantara Perjanjian Abraham, yang menormalisasi hubungan antara Israel dan empat negara Arab pada masa jabatan pertamanya. Trump saat ini sedang mengupayakan perjanjian yang lebih luas untuk memasukkan Arab Saudi.
Arab Saudi telah mengatakan bahwa mereka hanya akan menyetujui kesepakatan semacam itu jika perang di Gaza berakhir dan ada jalur yang kredibel menuju negara Palestina di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem timur – wilayah-wilayah yang direbut Israel dalam Perang Arab-Israel tahun 1967.
Pengakuan diplomatik dari Saudi mengharuskan Israel untuk mengambil langkah-langkah menuju kenegaraan Palestina – yang “akan menyebabkan pemerintahan Netanyahu jatuh,” kata Rynhold kepada VOA.
Pemerintahan AS di bawah kepemimpinan Presiden George W. Bush hingga Joe Biden telah menyatakan dukungan mereka terhadap negara Palestina, namun pemerintahan Netanyahu menentangnya. Pada tahun 2020 selama masa jabatan pertamanya, Trump mengumumkan rencana perdamaian Timur Tengah yang sangat menguntungkan Israel dan akan menghalangi Palestina untuk mewujudkan cita-cita mereka sejak lama untuk memiliki negara sendiri.
Witkoff mengatakan pemerintah AS telah memulai negosiasi menuju Tahap 2 dari tiga tahap kesepakatan gencatan senjata untuk pembebasan sandera, yang mencakup pembebasan semua sandera yang masih ditahan di Gaza, penghentian pertempuran secara permanen, dan penarikan Israel dari wilayah tersebut.
Hamas, yang oleh pemerintah AS ditetapkan sebagai kelompok teroris, sejauh ini telah membebaskan 18 sandera, sementara Israel telah membebaskan ratusan tahanan Palestina.
Perang di Gaza berawal pada serangan kelompok militan Hamas ke selatan Israel pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menculik 250an lainnya sebagai sandera.
Sementara Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, wilayah yang dikelola Hamas, mengatakan bahwa serangkaian serangan darat dan udara Israel telah menewaskan lebih dari 47.500 warga Palestina, lebih dari separuhnya adalah perempuan dan anak-anak. [em/aak]
Forum