Sejak Selasa, Kedutaan Besar Libya di Jakarta tidak lagi mengibarkan bendera warna khas-nya yang berwarna hijau. Mereka mengibarkan bendera milik Dewan Transisi Nasional Republik Libya, yang berwarna merah, hitam, dan hijau, dengan bulan sabit dan bintang berwarna putih di tengahnya.
Jurubicara Kementerian Luar Negeri, Michael Tene, kepada VOA Kamis sore menolak untuk menanggapi pergantian bendera tersebut. Tene mengatakan, pemerintah Indonesia menyerahkan seluruh proses politik di negara itu kepada rakyat Libya sendiri.
Ia mengatakan, “Kita tentunya mengharapkan agar perkembangan terakhir ini bisa menjadi akhir dari berbagai konlik bersenjata yang terjadi di Libya selama ini, dan menjadi awal bagi bergulirnya suatu proses politik dimana rakyat Libya bisa menentukan masa depan mereka secara demokratis. Pemerintah Indonesia senantiasa menghargai dan mendukung pilihan yang diambil oleh rakyat Libya karena mereka lah yang paling mengetahui yang terbaik bagi bangsa dan negaranya.”
Pengamat Timur Tengah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hamdan Basyar, menilai wajar apabila Kementerian Luar Negeri menolak untuk menanggapi pada saat-saat ini, terutama karena belum ada otoritas resmi yang mengeluarkan pernyataan.
“Saya kira sikap Indonesia perlu berhati-hati karena belum ada pernyataan resmi dari Dewan Transisi Nasional, dan itu urusan dalam negeri mereka. Kalau mereka memang mengganti pemerintahan kan Indonesia tinggal mengikuti saja, saya kira ini sikap yang cukup baik,” ujar Hamdan Basyar.
Ia menambahkan, Libya sebagai negara dengan pendapatan domestik brutto (PDB) yang sangat tinggi sekitar 14 ribu Dollar Amerika –dan ini hanya bersandar dari produksi minyaknya saja. Secara ekonomi mereka sejahtera, namun tidak demikian halnya dengan di bidang politik. Menurut Basyar, potensi konflik tidak hanya didorong oleh keadaan internal di Libya, tetapi juga dari luar.
Lebih lanjut Hamdan Basyar mengatakan, “Secara ekonomi mereka relatif sejahtera dengan PDB sekitar 14 ribu Dollar Amerika, tetapi secara politik mereka dibungkam oleh rezim Khadafi. Sehingga ada kelompok yang secara politik ingin berperan, dan ini yang belakangan menjadi oposisi. Tetapi secara eksternal juga ada kepentingan untuk menyingkirkan Khadafi yang sering seenaknya. Maka, rezim (Khadafi) dipandang perlu dibubarkan.”
Sekitar 900 orang lebih WNI telah dievakuasi dari Libya sejak pergolakan politik memanas pada Maret lalu. Namun, pasca evakuasi besar-besaran itu, kata Tene, masih ada beberapa warga Indonesia yang bertahan di Libya. Mayoritas adalah pekerja rumah tangga, berjumlah 19 orang.
“Kedutaan Besar kita di Tunisia sudah menghubungi mereka dan pada umumnya mereka dalam keadaan baik. Bagi yang ingin keluar dari Libya tentu akan difasilitasi oleh KBRI Tunisia, namun karena kondisi keamanan di Tripoli tidak menentu dan juga untuk evakuasi lewat jalur darat sejauh 200 KM dari Libya ke Tunisia, tidak bisa diketahui kondisi keamanannya, dan bahkan masih ditutup. Kami sarankan mereka tetap berada di kediaman (majikan) masing-masing," ujar Michael Tene.