Sejumlah mahasiswa yang telah menyandang gelar Sarjana (S1) dari Indonesia menempuh studi di community college di AS. Jenjang pendidikan ini mirip dengan politeknik yang menyelenggarakan program Diploma Dua (D2) di Indonesia. Mereka adalah penerima beasiswa satu tahun di bawah program Community College Initiative (CCI) yang didanai oleh Departemen Luar Negeri AS dan di Indonesia dikelola oleh American Indonesian Exchange Foundation (AMINEF).
Di Amerika Serikat, community college adalah lembaga pendidikan tinggi negeri dua tahun yang menawarkan gelar Associate of Arts (AA) atau Associate of Science (AS). Mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi komunitas ini dapat mengumpulkan kredit akademik yang bisa ditransfer ke perguruan tinggi empat tahun atau universitas untuk meraih gelar Sarjana (S1). Community college juga menawarkan program teknik dan kejuruan untuk berbagai bidang ketrampilan praktis.
Kendati demikian, para mahasiswa penerima beasiswa CCI yang telah menyandang gelar S1 dari Indonesia menyatakan bahwa program itu sangat berguna dan memberi mereka banyak manfaat, terutama pengetahuan akademis dan keterampilan serta pengalaman praktis. Mereka antusias bahwa hasil pembelajaran yang diraih dari program CCI akan dapat mereka aplikasikan dalam profesi masing-masing sekembalinya ke tanah air.
VOA berbicara dengan dua di antara 21 penerima beasiswa CCI tahun akademik 2024. Keduanya kini menempuh studi di Northern Virginia Community College di Alexandria, Virginia. Mereka adalah Veronika Kurnyangsi, yang biasa disapa Veni, yang mendalami pendidikan anak usia dini (PAUD), dan Bhrisco Jordy Dudi Padatu atau Jordy, yang menempuh studi bidang PAUD dengan spesialisasi dalam perawatan anak usia dini dan usia sekolah.
Di Indonesia, Veni mengajar di PAUD Santa Angela di Ruteng, Manggarai setelah meraih gelar Sarjana dalam pendidikan fisika di Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang.
Sementara Jordy adalah pendiri Papua Future Project atau dikenal sebagai Lembaga Masa Depan Papua, sebuah organisasi nirlaba pemuda setempat untuk mendukung pendidikan inklusif dan berkelanjutan di daerah tertinggal di Papua Barat. Pemuda yang juga aktif sebagai guru di Pulau Mansinam, Manokwari ini memperoleh gelar Sarjana dalam hubungan internasional dari President University, Cikarang.
Dengan latar belakang pendidikan fisika, peruntungan Veni berubah saat ia mulai mengajar di PAUD, dengan fokus pada pendidikan anak usia dini. Namun, perbedaan dari pendidikan formalnya ini justru membuatnya memenuhi syarat untuk mengikuti Program CCI, yang menurutnya secara khusus menarget calon dengan pekerjaan yang berbeda dengan latar belakang pendidikan yang mereka miliki. Atas dorongan seorang teman, ia mendaftar untuk beasiswa tersebut dan berhasil memperolehnya.
Kesempatan Emas Menambah Ilmu dan Meningkatkan Ketrampilan
Meskipun telah menyandang gelar sarjana, Veni tidak merasa ragu untuk berkuliah di community college. Ia memandangnya sebagai kesempatan emas untuk menambah ilmu dan meningkatkan keterampilannya. Program ini memungkinkannya untuk memperdalam pengetahuannya di bidang-bidang seperti perkembangan anak – kognitif, sosial, emosional – serta pengasuhan anak, manajemen kelas, dan administrasi sekolah.
“Di sini, ketika saya belajar secara langsung ilmu-ilmu tentang pendidikan anak usia dini, saya merasa pengetahuan saya semakin bertambah. Bahkan saya menemukan hal-hal lain yang baru bagi saya, semisal belajar tentang bagaimana perkembangan anak yang lebih detail, baik dari segi kognitifnya, kemudian sosial, emosional, dan juga hal-hal lainnya,” kata Veni.
Veni menambahkan, “Dengan mengetahui tumbuh kembang anak, orang tua juga memiliki kesadaran penuh untuk membantu anaknya bersekolah di PAUD dan tidak menganggap PAUD itu hanya untuk pergi bermain.”
Ia menggambarkan pengalaman belajar tersebut sebagai pengalaman yang komprehensif, memberikan wawasan baru yang sangat berharga. “Selain itu juga banyak sekali yang berkaitan dengan anak, berkaitan dengan parenting, berkaitan dengan guru, manajemen kelas, dan manajemen sekolah. Jadi ini adalah paket komplit yang saya pelajari di sini, dan itu saya belum dapatkan sebelumnya,” imbuhnya.
Veni mengakui adanya tantangan dalam menerapkan semua pengetahuan yang diperolehnya secara langsung di Indonesia. Namun, ia yakin bahwa penerapan secara bertahap dapat dilakukan dan efektif. Misalnya, ia menegaskan pentingnya mendidik orang tua tentang perkembangan anak untuk menumbuhkan kesadaran dan keterlibatan yang lebih besar dalam pendidikan anak usia dini. Dengan mengubah persepsi PAUD sebagai sekadar waktu bermain menjadi fase dasar pembelajaran, ia berharap dapat menginspirasi penerimaan dan dukungan yang lebih luas untuk pendidikan anak usia dini.
Manfaat Program CCI
Veni mengaku bahwa Program CCI telah memperkaya pengembangan profesional dan pribadinya secara signifikan. Di luar pembelajaran akademis, program ini telah memberinya kesempatan untuk magang, menjadi sukarelawan, dan pertukaran budaya. Pengalaman ini telah memperluas perspektifnya dan membekalinya untuk memberikan dampak yang berarti saat kembali ke Indonesia. Ketika diminta untuk menilai program tersebut, Veni dengan yakin memberikan nilai 10.
Penilaian serupa diberikan oleh Jordy, 24 tahun, dari Manokwari, Papua Barat, dan pendiri Papua Future Project, sebuah LSM lokal yang didirikan pada tahun 2021. Organisasi pemuda akar rumput ini berfokus pada literasi, inklusivitas, keberlanjutan lingkungan, pemberdayaan masyarakat adat, dan partisipasi pemuda dalam pembangunan daerah.
Menemukan Program sesuai Kebutuhan
Semangat dan gairah Jordy pada isu-isu sosial, khususnya di bidang pendidikan, mendorongnya untuk mencari pelatihan formal guna meningkatkan dampaknya. Meskipun gelar sarjana dalam Hubungan Internasional yang dimilikinya memberikan landasan yang baik, hal itu tidak mempersiapkannya untuk menekuni bidang pendidikan yang dilakukannya di Papua Barat. Menyadari adanya kesenjangan dalam latar belakang akademis dan profesionalnya – khususnya dalam membuat kurikulum dan lingkungan kelas yang menarik – Jordy mencari program yang dapat membekalinya dengan keterampilan yang diperlukan.
Ia menemukan Program CCI, sebuah inisiatif Departemen Luar Negeri AS yang dirancang untuk mendukung para profesional yang bekerja di bidang di luar pendidikan formal mereka. Jordy memilih studi bidang PAUD dengan spesialisasi dalam perawatan anak usia dini dan usia sekolah yang sangat sesuai dengan kebutuhannya.
Kesempatan ini, menurutnya, akan memberikan landasan profesional dan akademis yang tidak dimilikinya, sehingga memungkinkannya untuk lebih mendukung inisiatif pendidikan bagi anak-anak di Papua. Ia juga mengakui Program CCI menjadi wadah untuk memperoleh keahlian praktis dan akademis dalam bidang pendidikan yang diperlukan karena adanya sedikit keraguan tentang kualifikasinya dari para pendidik dan orang tua setempat, yang menganggap perlunya validasi formal atas keterampilannya.
Jordy menganggap materi kuliah yang diikutinya di community college memang bersifat dasar tetapi sangat berharga.
“Ketika saya masuk community college, saya rasa ini masih sangat dasar sebenarnya, tapi karena memang saya belum ada pengalaman dalam bidang pendidikan, tapi pengalaman praktisnya sudah banyak di lapangan, jadi itu lebih membantu saya untuk berkomunikasi langsung dengan profesornya. Profesor di sini itu sangat aktif membantu saya dan mereka kadang bilang sebenarnya ilmu yang kamu punya di lapangan itu sudah bagus tapi memang kamu butuh sebuah fondasi yang harus kamu dapatkan di lingkungan sekolah, di lingkungan pendidikan formal dan itu sangat membantu saya,” ungkapnya.
Ia sangat menghargai kesederhanaan dan efektivitas metode perencanaan pelajaran di AS, yang menurutnya berbeda dengan pendekatan yang terlalu rumit yang sering digunakan di Indonesia. “Kalau di Amerika sini yang saya lihat, lesson plan-nya itu lebih simpel. Nggak kayak di Indonesia yang kalau saya lihat teman-teman guru saya itu, aduh, terlalu banyak itu mereka menyusun metode pembelajaran, RPP, segala macam,” tambahnya.
Pendidikan Berpusat pada Anak
Salah satu hal utama yang Jordy dapatkan dari proses pembelajaran di AS adalah pentingnya pendekatan pendidikan yang berpusat pada anak dan tidak diskriminatif. Dengan mengamati penekanan psikologis dan motivasi di ruang kelas AS, ia mencatat perbedaan yang signifikan dari metode yang sering kali bersifat menghukum yang masih lazim di sekolah-sekolah Indonesia, khususnya di Papua.
Di AS, guru menghindari penilaian yang keras, dan sebaliknya berfokus pada pengembangan lingkungan yang positif bagi anak-anak. Dia mencontohkan: “Dan itu yang saya pelajari dari mindset orang-orang di sini. Ketika misalnya mereka membuat karya, kita nggak pernah bisa menilai karya anak ini, oh jelek atau bagus. Kita hanya bisa memberikan pujian kepada anak itu. Nah sedangkan kalau di Indonesia kan, kalau misalnya ada kegiatan menggambar, itu kan dinilai 60, 50, 40, dan itu justru menurunkan motivasi anak. Saya melihat guru-guru di Amerika itu benar-benar sangat memperhatikan mentalitas anak, tidak ada diskriminasi.”
Bagi Jordy, pendekatan ini menggarisbawahi perlunya mereformasi pola pikir pengajaran tradisional di Indonesia, mendorong guru untuk membangun kepercayaan diri dan kreativitas siswa daripada menggunakan tindakan hukuman.
Advokasi Pendidikan Kontekstual
Jordy juga menyoroti nilai pendidikan kontekstual. Di Papua, di mana keragaman budaya dan geografis membentuk kebutuhan dan tantangan siswa, pendidikan harus disesuaikan dengan konteks lokal. Misalnya, mengintegrasikan nilai-nilai adat ke dalam pelajaran, seperti mengajarkan anak-anak tentang signifikansi budaya daratan dan lautan, dapat membantu melestarikan warisan sambil mengatasi masalah khusus masyarakat seperti pengelolaan lingkungan.
Jordy berencana untuk menerapkan keterampilan yang diperolehnya dengan mengadakan sesi pelatihan bagi para pendidik di Papua, dengan fokus pada perencanaan pelajaran, psikologi anak, dan strategi pengajaran yang efektif. Ia juga ingin mengadvokasikan pendidikan kontekstual yang menghormati tradisi lokal dan mengatasi tantangan regional yang unik, seperti sumber daya yang terbatas dan tingginya angka pernikahan dini.
Visi Jordy yang lebih luas mencakup peningkatan kesejahteraan guru dan kualifikasi profesional. Ia percaya bahwa mengakui guru sebagai pilar penting masyarakat – melalui kompensasi yang adil dan sumber daya yang memadai – sangat penting untuk meningkatkan standar pendidikan.
Baik Veni maupun Jordy menegaskan bahwa Program CCI tidak hanya memberikan keterampilan akademis dan profesional, tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan teknis yang dibutuhkan terkait upaya ikut memberikan sumbangsih dalam bidang pendidikan berkualitas dan relevan yang merupakan alat ampuh untuk pemberdayaan dan menjadi dasar bagi masa depan yang lebih cerah. [lt/ns]
Forum