Anggota Staf Ahli Deputi Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Wawan Purwanto kepada VOA, Jumat (8/4) mengatakan, pemerintah telah melibatkan tiga bekas tokoh teroris untuk membantu negosiasi pembebasan 10 warga Indonesia yang disandera kelompok Abu Sayyaf sejak 26 Maret lalu.
Wawan enggan menyebut ketiga nama bekas tokoh teroris yang dilibatkan itu demi keselamatan sandera. Berdasarkan informasi, kata Wawan, para sandera sekarang dalam keadaan dipisah-pisahkan sehingga informasi seperti ini sangat rawan.
Ketiga bekas tokoh teroris sejak seminggu yang lalu diminta membantu negosiasi pembebasan ke-10 WNI yang disandera, ujar Wawan, karena mereka memang memiliki jaringan yang baik dengan kelompok Abu Sayyaf.
Sejauh ini, lanjutnya, komunikasi terus dilakukan dengan kelompok penyandera. Abu Sayyaf pun, kata Wawan, telah memberikan sinyal yang baik dalam komunikasi tersebut.
Meski demikian, ia mengakui masih ada kendala dalam pembebasan kesepuluh WNI tersebut, terkait kesepakatan tempat penyerahan dan pelepasan mereka.
Dalam komunikasi tersebut, Abu Sayyaf juga mengaku uang tebusan yang dimintanya itu untuk membeli obat-obatan dan logistik karena kondisi mereka sangat kekurangan, ujar Wawan.
"Ada tiga yang dilibatkan karena mereka telah tahu medan dan sudah bolak balik ke sana dan banyak tahulah bagaimana situasinya. Iya lebih efektif kan orang saling kenal kan lain dengan orang yang baru kenal," ujarnya.
"Mereka tentunya ada hubungan emosional sebelumnya sehingga ada trust tadi. Meskipun ini tenggat waktunya terakhir tetapi kalau komunikasi intens bisa saja diundur."
Kelompok Abu Sayyaf memang dekat dengan kelompok ekstrem di Indonesia. Sempalan dari Front Pembebasan Islam Moro (MILF) ini sering berkolaborasi dengan Jamaah Islamiyah (JI) di Indonesia. Bahkan banyak anggota JI yang mendapat pelatihan militer di kamp Abu Sayyaf.
Dalam buku Terrorism in South and Southeast Asia in the Coming Decade yang diterbitkan tahun 2009, Tito Karnavian yang sekarang menjadi kepala BNPT menulis bahwa Umar Patek dan Dulmatin pernah menjadi pelatih perakitan bom dalam kelompok Abu Sayyaf.
Dulmatin telah tewas dalam serangan Detasemen Khusus 88 Mabes Polri, sementara Umar Patek menjalani hukuman 20 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Porong, Jawa Timur karena terlibat dalam bom Bali I.
Wawan menjelaskan, sebagai balasan dalam membantu proses perundingan, ketiga bekas tokoh teroris itu meminta amnesti dan remisi atau pengurangan hukuman. Atas permintaan itu, Wawan mengatakan, pemerintah masih mempertimbangkannya.
"Keinginan-keinginan untuk pengurangan, kalau amnesti dibebaskan kalau remisi dikurangi, dan itu semua tergantung pertimbangan-pertimbangan nanti yang sebaik-baiknya," ujarnya.
Wawan menambahkan, uang tebusan yang diminta para penyadera senilai 50 juta peso atau Rp15 milliar tidak akan dibayarkan oleh pemerintah Indonesia tetapi oleh PT Patria Maritim Line, perusahaan yang mempekerjakan kesepuluh WNI itu sebagai anak buah kapal.
Bukan hanya melibatkan bekas tokoh teroris, pemerintah juga meminta bantuan berbagai tokoh lainnya yang memiliki kedekatan dengan kelompok tersebut. Berbagai cara, lanjut Wawan, akan dilakukan pemerintah untuk membebaskan ke-10 WNI tersebut.
Prioritas keselamatan
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan pemerintah akan memprioritaskan keselamatan kesepuluh sandera asal Indonesia itu dan terus berkomunikasi dengan berbagai pihak terkait di Indonesia dan Filipina, termasuk dengan Menteri Luar Negeri Filipina.
"Saya Menteri Luar Negeri Indonesia terus melakukan komunikasi dan koordinasi dengan berbagai pihak terkait di Indonesia dan juga di Filipina termasuk di antaranya langsung berhubungan dengan menteri luar negeri Filipina. Prioritas saat ini adalah keselamatan 10 warga negara Indonesia," ujarnya.
Ada dua kapal yang awalnya disandera Abu Sayyaf, yaitu kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 yang membawa 7.000 ton batu bara dan 10 awak kapal asal Indonesia.
Kapal Brahma 12 sudah dilepaskan dan kini dalam kontrol otorita Filipina. Sementara keberadaan Anand 12 dan kesepuluh warga Indonesia belum diketahui persis. Kapal berbendera Indonesia ini ketika itu tengah dalam pelayaran dari Sungai Puting, Kalimantan Selatan, menuju Batangas, Filipina Selatan. [lt]