Satu-satunya surat kabar partai oposisi utama Bangladesh berhenti terbit, Senin (20/2) setelah perintah penangguhan pemerintah dilaksanakan. Tindakan pemerintah itu memicu kekhawatiran tentang kebebasan media di negara Asia Selatan itu.
Para aktivis dan negara-negara asing termasuk Amerika Serikat telah lama mengungkapkan kekhawatiran tentang upaya Perdana Menteri Sheikh Hasina untuk membungkam kritik dan apa yang mereka lihat sebagai otoritarianisme yang mulai merayap di negara itu.
Dainik Dinkal, surat kabar berbahasa Bengali, telah menjadi suara penting Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) selama lebih dari tiga dekade. Surat kabar tersebut mempekerjakan ratusan jurnalis dan pekerja pers.
Surat kabar itu meliput berita-berita yang jarang disentuh oleh surat-surat kabar pada umumnya, yang sebagian besar dikendalikan oleh para pengusaha pro-pemerintah.
Dainik Dinkal sering melaporkan berita penangkapan aktivis BNP dan apa yang dikatakan partai itu sebagai ribuan kasus palsu yang menyudutkan para pendukungnya.
Surat kabar itu mengatakan otoritas distrik Dhaka memerintahkan penutupan pada 26 Desember, tetapi terus menerbitkan setelah mengajukan banding di Dewan Pers yang dipimpin oleh hakim terkemuka pengadilan tinggi.
"Dewan menolak banding kami kemarin (Minggu), dan menegakkan perintah hakim distrik untuk menghentikan publikasi kami," kata Shamsur Rahman Shimul Biswas, redaktur pelaksana surat kabar tersebut, kepada AFP.
Perintah tersebut, yang salinannya diperoleh AFP, mengatakan izin pencetakan surat kabar tersebut dibatalkan setelah surat kabar tersebut melanggar undang-undang percetakan dan penerbitan.
Dewan itu mengatakan penerbit surat kabar itu, Tarique Rahman, penjabat kepala BNP adalah seorang penjahat yang dihukum dan tinggal di luar negeri tanpa menyerahkan pekerjaannya kepada orang lain.
Biswas mengatakan Rahman, yang sekarang menetap di London, mengajukan pengunduran dirinya dan menunjuk penerbit baru, tetapi pihak berwenang tidak menerima perubahan tersebut. "Penutupan ini adalah bagian dari tindakan keras pemerintah terhadap perbedaan pendapat dan kebebasan berbicara," kata Biswas.
Pemerintah pada hari Senin tidak mengomentari penutupan tersebut. Dua serikat jurnalis yang berbasis di Dhaka mengatakan dalam pernyataan bersama bahwa keputusan itu merupakan "cerminan dari represi terhadap suara-suara oposisi".
Serikat-serikat pekerja dan jurnalis menggelar protes jalanan kecil atas penutupan pada hari Senin. Bulan lalu, pemerintah Hasina memerintahkan penutupan 191 situs web yang dituduh menerbitkan "berita anti-negara", dengan menyebut laporan intelijen sebagai alasannya.
Pemerintah Bangladesh sebelumnya telah beberapa kali memblokir situs web, terutama pada Desember 2018 menjelang pemilu nasional. Indeks Kebebasan Pers Dunia 2022 yang disusun oleh Reporters Without Borders menempatkan Bangladesh di peringkat 162, lebih buruk dari Rusia (155) dan Afghanistan (156).
Undang-Undang Keamanan Digital yang tidak kenal belas kasihan di Bangladesh, di mana ratusan orang telah ditangkap sejak 2018, telah menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. [ab/lt]
Forum