Ibrahim Al Hussein, atlet penyandang disabilitas, memuji olahraga renang yang telah membantunya dalam membangun kembali dan menyatukan hidupnya setelah ia bermigrasi ke Yunani.
Di sebuah kompleks kolam renang yang pernah digunakan untuk Olimpiade dan Paralimpiade di Athena pada tahun 2004, Al Hussein melepaskan kaki palsunya sebelum memasuki kolam untuk berlatih renang selama dua jam di bawah sinar matahari yang terik.
Ketika perang di Suriah berkecamuk di kota asalnya, Deir ez-Zor, dan sekitarnya pada tahun 2012, seorang teman datang berkunjung ke rumahnya. Temannya itu ditembak saat meninggalkan rumah Al Hussein. Ia berlari untuk menolong temannya, namun sebuah bom meledak di dekatnya. Al Hussein mendapat perawatan medis darurat di sebuah klinik darurat sebelum dibawa ke negara tetangganya,Turki.
Ia hidup dalam keadaan terpinggirkan di sana dan memiliki masalah mobilitas sampai akhirnya ia melakukan perjalanan yang berbahaya dengan perahu ke Yunani pada bulan Februari 2014.
Al Hussein yang berusia 32 tahun bertemu dengan seorang dokter yang setuju untuk merawat lukanya dan memberinya sebuah kaki palsu. Ia pun mulai merasa kerasan tinggal di Yunani. Setahun kemudian, ia akhirnya kembali berenang, bergabung dengan sebuah klub yang berbasis di Pusat Renang Olimpiade di Athena.
Upaya Al Hussein untuk kembali ke kolam renang akhirnya membawanya ke kompetisi renang, pertama-tama di tingkat lokal, dan kemudian ke tingkat yang lebih tinggi.
"Saya mulai belajar berenang ketika berusia lima tahun. Ayah saya adalah seorang pelatih renang di negara saya, Suriah. Saya merasa sangat nyaman ketika saya berada di dalam air terlepas dari rasa lelah, latihan dan tenaga yang saya keluarkan. Saya merasa sangat nyaman di air sampai-sampai saya merasa diri saya seekor ikan. Jika saya tidak latihan karena suatu alasan, saya merasa kecewa dan murung," komentarnya.
Kesuksesannya sebagai seorang atlet pengungsi menarik perhatian di Yunani. Ia diundang untuk memjadi anggota tim estafet pembawa obor Olimpiade di di Rio de Janeiro pada tahun 2016.
Sejak itu, Al Hussein didekati untuk bergabung dengan tim pengungsi yang baru di Komite Paralimpiade Internasional.
"Tim atlet pengungsi sangatlah penting. Sangat penting karena tanpanya, saya tidak akan dapat mencapai apapun di sini di Yunani. Saya tidak akan dapat ambil bagian dalam kompetisi internasional karena saya seorang pengungsi. Namun tim pengungsi ini memberi kesempatan bagi kami untuk sama seperti orang lainnya di dunia," jelasnya.
Konflik di Suriah menempatkan migrasi sebagai fokus pada tahun 2016. Panitia penyelenggara Olimpiade dan Paralimpiade ingin memberi wadah bagi atlet pengungsi untuk ikut berkompetisi.
Sebelumnya, sangat sulit untuk ikut bertanding di Olimpiade tanpa dukungan dari otoritas di negara asal mereka. Prakarsa ini semakin sukses.
Al Hussein adalah satu dari dua atlet pengungsi di ajang Paralimpiade di Rio. Ia mengatakan, "Saya punya pesan untuk dunia, Anda pengungsi atau bukan, tidak ada yang mustahil dalam hidup ini. Tak ada yang mustahil. Anda mampu melakukan semuanya. Banyak orang berpikir bahwa kekuatan ada di lengan atau kaki Anda. Tidak. Kekuatan yang sesungguhya adalah apa yang ada di dalam diri. Kekuatan otak. Bukan kekuatan dari luar."
"Jangan berpikir demikian jika Anda orang yang berkebutuhan khusus dan jangan terfokus pada cedera Anda. Pandanglah ke depan dan pikirkan apa yang ingin Anda capai. Bekerja keraslah dan Anda akan mencapainya. Anda akan mencapainya dengan kekuatan tekad Anda apa pun yang terjadi. Tentu saja ada hal-hal yang sulit, namun mencapai tujuan itu bukanlah hal yang mustahil," pesannya.
Untuk tahun ini, ada enam atlet pengungsi Paralimpiade. Ia berharap dapat memasuki babak final, walau pandemi virus corona telah mengganggu rencana latihannya. [lj/uh]