Tautan-tautan Akses

Atasi Kekurangan Tenaga Kerja, Diaspora Indonesia Rangkap Tugas


Seorang pemilik restoran memasang iklan lowongan pekerjaan di depan restorannya di Chagrin Falls, Ohio, 3 Juni 2021. (AP Photo/Tony Dejak)
Seorang pemilik restoran memasang iklan lowongan pekerjaan di depan restorannya di Chagrin Falls, Ohio, 3 Juni 2021. (AP Photo/Tony Dejak)

Amerika kekurangan pekerja. Diaspora Indonesia yang mengelola bisnis restoran merasakan kekurangan itu. Namun, mereka mampu bertahan dalam bisnis dengan berbagai langkah sederhana, mulai dari memangkas jam operasi, turun tangan langsung melakukan semuanya, hingga meminta bantuan kerabat.

Berjalan-jalan di kawasan pertokoan dan mal di berbagai lokasi, kita akan disuguhi pengumuman kecil di jendela atau pintu restoran dan toko: We’re Hiring atau Help Wanted. (Kami buka lowongan kerja atau kami perlu bantuan). Pemandangan ini menjadi semakin biasa sejak Juni dan menunjukkan bisnis di Amerika menggeliat bangkit walaupun masih berkutat dengan pandemi virus corona dan imbasnya.

“Kami butuh orang yang mau kerja,” cetus Irene Kho, diaspora Indonesia pemilik Hanami, restoran Jepang di College Park, Maryland. Di kawasan pertokoan yang sama, Irene dan rekan bisnisnya membuka warung makan Pho D’light. “Sama saja. Di sana juga kurang orang,” kata Irene yang terus membuka usaha restorannya selama pandemi. Irene juga memasang pengumuman lowongan kerja di berbagai media sosial selain menempuh cara tradisional, menyebar pengumuman itu ke semua orang yang dikenalnya.

Diaspora Indonesia Rangkap Tugas Demi Tutupi Kekurangan Tenaga Kerja
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:04:10 0:00

“Promosi di rekrutmen: dicari orang, itu juga tidak ada yang mau datang. Ditulis di depan pintu, juga tidak ada yang mau datang. Tidak ada orang yang mau kerja,” papar Irene Kho.

Keluhan Irene menjelaskan mengapa pengumuman kecil lowongan kerja ada di hampir setiap toko dan bisnis. Bukan hanya restoran tetapi juga di toko pakaian, pangkas rambut, bahkan mal dan pasar swalayan. “Susah cari orang. Soalnya semua dapat tunjangan. Makanya tidak ada yang mau kerja,” lanjutnya.

Irene Kho (tengah), pemilik Hanami Japanese Restaurant: "Susah cari orang yang mau kerja." (foto: courtesy)
Irene Kho (tengah), pemilik Hanami Japanese Restaurant: "Susah cari orang yang mau kerja." (foto: courtesy)

Consita Owens, assistant general manager untuk Petit Monde Bistro and Café di Washington, DC menyampaikan keluhan serupa. Sita membeberkan peta kebutuhan tenaga di resto kecil yang dikelolanya. “Idealnya dua orang per shift untuk café,” kata Sita.

Sedangkan untuk bistro, “Sebenarnya delapan itu ideal. Tetapi sekarang ini lima dan enam.”

Sita Owens harus merangkap peran mulai dari mengatur jadwal kerja sampai menjadi bartender bahkan mengirim makanan demi menutupi kekurangan tenaga kerja (Foto: dokumen pribadi).
Sita Owens harus merangkap peran mulai dari mengatur jadwal kerja sampai menjadi bartender bahkan mengirim makanan demi menutupi kekurangan tenaga kerja (Foto: dokumen pribadi).

Sita mengungkapkan ia sudah melakukan berbagai cara untuk merekrut karyawan tetapi sampai sekarang belum juga memenuhi kebutuhan minimal. Seperti Irene, ia mengaku, “Sulit untuk mendapatkan karyawan."

Untuk membujuk orang agar mau bekerja di tempat mereka, Sita dan Irene menawarkan gaji minimum dan makan. Mereka tidak bisa membajak tenaga kerja dari tempat lain karena mereka tidak berani menawarkan gaji yang lebih besar atau menjanjikan bonus, seperti yang umum dilakukan perusahaan besar.

Di luar itu, mereka menyediakan tips dan tempat parkir gratis, komponen yang juga menentukan keputusan calon karyawan. Sita memberi uang transportasi. Irene menyediakan pelatihan untuk ketrampilan membuat sushi, yang bisa menjadi modal kerja di mana pun.

Departemen Tenaga Kerja Amerika melaporkan awal bulan ini bahwa pebisnis membuka 194,000 lapangan pekerjaan pada September. Jumlah itu jauh dari 500 ribu yang diperkirakan analis.

Karena tidak juga mendapat karyawan, Irene dan Sita turun tangan langsung. Tetapi setelah berjalan beberapa waktu, Irene mengambil langkah drastis, menutup operasi restorannya setiap Senin, mulai tahun ini.

“Saya capek. Not worth it. Sudah, saya tutup saja. Libur. Capek. Saya tidak pernah libur,” jelas Irene.

Sita Owens 'turun' langsung untuk menutupi kekurangan tenaga kerja di cafenya (Foto: pribadi)
Sita Owens 'turun' langsung untuk menutupi kekurangan tenaga kerja di cafenya (Foto: pribadi)

Sedangkan Sita bertahan. “Kita yang harus kerjakan semuanya. Jadi kadang-kadang kalau tidak ada dishwasher (tukang cuci piring), kita yang nyuci. Ya sudah, jadi busser (pengantar pesanan dan pembersih meja), jadi server (pelayan). Jadi semuanya. Delivery juga,” lanjut Sita.

Langkah lain, pembatasan jam operasi resto. Bistro hanya dibuka Jumat malam untuk makan malam. Sabtu beroperasi sepanjang hari. Dan Minggu hanya menyediakan makan pagi dan makan siang. Hanya café yang beroperasi hampir normal, dari pukul 8 pagi hingga 8 malam.

Dalam kondisi terdesak membutuhkan tambahan tenaga, Sita akan mengerahkan teman dan kerabat. Tetapi, ia mengutamakan orang-orang yang dia tahu pernah berkecimpung dalam pekerjaan di restauran atau kafe. Untuk yang kurang berpengalaman, Sita akan memasangnya sebagai penerima tamu. “Semua orang diajak bantu,” cetusnya.

Keluhan Sita dan Irene tidak dialami pemilik Maccaro BTS (Buble Tea Smoothies) Jufri Sinulingga. Ia mengaku tidak gusar soal tenaga kerja. Kiatnya adalah mempertahankan tenaga yang ada.

“Kita harus memperlakukan mereka layaknya keluarga,” kata Jufri.

Spanduk lowongan pekerjaan di luar restoran McDonald's di Bloomington, Indiana, 14 Mei 2021.
Spanduk lowongan pekerjaan di luar restoran McDonald's di Bloomington, Indiana, 14 Mei 2021.

Jufri, yang juga bermitra dengan rekannya mengelola resto cepat saji Asian Chao, mengatakan karyawannya pernah dibajak orang tetapi kemudian kembali lagi bekerja untuknya walaupun dia hanya mampu membayar tidak jauh dari gaji minimum.

Jufri Sinulingga, pemilik Maccaro BTS: "Perlakukan karyawan seperti keluarga supaya karyawan betah." (foto: courtesy)
Jufri Sinulingga, pemilik Maccaro BTS: "Perlakukan karyawan seperti keluarga supaya karyawan betah." (foto: courtesy)

“Kalau mereka merasa nyaman, pasti mereka tidak bakal mau pindah walaupun ada yang memberi penawaran (gaji) yang lebih besar,” jelasnya.

Selain menyediakan tempat tinggal, Jufri rela mengantar jemput beberapa karyawan yang kesulitan transportasi. Baginya, lebih mudah mempertahankan yang ada, daripada repot melatih dan terus mencari karyawan baru. [ka/ab]

XS
SM
MD
LG