Amerika Serikat meminta Myanmar agar menghentikan penindasan militer terhadap warga Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.
Dalam percakapan telepon dengan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing, Kamis (27/10), Menteri Luar Negeri Amerika Rex Tillerson menyatakan prihatin mengenai berlanjutnya krisis kemanusiaan dan kekerasan yang dilaporkan terjadi di Rakhine.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Heather Nauert menyatakan bahwa Tillerson mendesak pasukan keamanan Myanmar agar mendukung pemerintah dalam mengakhiri kekerasan serta mengizinkan kepulangan dengan aman mereka yang mengungsi selama krisis tersebut, sesuai Pernyataan Bersama tahun 1992 dengan Bangladesh dan tanpa persyaratan lebih lanjut.
Tillerson juga mendesak militer agar memfasilitasi bantuan kemanusiaan untuk mereka di daerah-daerah yang terimbas krisis, memberi akses untuk media, dan bekerja sama dengan PBB, “untuk menjamin suatu investigasi menyeluruh dan independen terhadap semua tuduhan mengenai pelanggaran HAM dan kekerasan dan memastikan akuntabilitasnya,” jelas Nauert.
Tillerson juga mengecam serangan maut 25 Agustus oleh militan Rohingya terhadap pasukan keamanan di Rakhine, yang mendorong tindakan pembalasan yang tidak kunjung reda.
Operasi pasukan keamanan pemerintah terhadap Muslim Rohingya, yang disebut pembersihan etnis oleh PBB, telah menyebabkan eksodus besar-besaran lebih dari setengah juta pengungsi Rohingya ke Bangladesh dan tempat lain. Sebagian besar pengungsi adalah perempuan dan anak-anak.
Pengungsi Rohingya telah menyampaikan pernyataan memilukan mengenai bagaimana militer Myanmar membakar desa mereka, serta mengenai pembunuhan, pemerkosaan dan penjarahan. Warga Rohingya juga mengatakan ranjau-ranjau darat telah disebar untuk mencegah mereka kembali.
Muslim Rohingya menyatakan mereka adalah minoritas yang telah lama dianiaya di Myanmar yang mayoritas penduduknya Buddhis dan kerap tidak memperoleh HAM dasar mereka. [uh/lt]